Oleh: Iwan Harsono – Associate Professor Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram dan Alumni University of New England
Keputusan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk beralih menggunakan mobil listrik melalui skema sewa bagi pejabat eselon II telah menimbulkan beragam respons di publik. Ada yang melihatnya sebagai langkah modern dan visioner, namun ada pula suara kritis—terutama dari anggota legislatif—yang mempertanyakan urgensi kebijakan ini dan menyarankan penataan aset sebagai prioritas. Kritik tentu penting dalam sistem demokrasi, tetapi kebijakan publik tidak selayaknya dinilai hanya dari sisi kekhawatiran. Ia harus dianalisis secara menyeluruh dengan melihat data fiskal, manfaat jangka panjang, serta arah pembangunan daerah.
Sebagai akademisi dan pengamat ekonomi, saya menilai kebijakan ini sangat rasional dan memiliki dasar ekonomi yang kuat. Kebijakan mobil listrik bukan hanya pergantian moda transportasi, melainkan bagian dari reformasi struktural birokrasi, upaya penghematan fiskal, dan pemenuhan janji politik gubernur untuk mendorong NTB ke arah ekonomi hijau. Inilah konteks besar yang sering terlupakan ketika perdebatan publik terfokus pada hal-hal teknis.
Efisiensi Fiskal: Alasan Ekonomi yang Paling Mendasar
Selama bertahun-tahun, kendaraan dinas konvensional menyedot anggaran daerah dalam jumlah besar dan tidak stabil. Pemeliharaan tahunan mencapai sekitar Rp19 miliar, sementara pembelian kendaraan baru setiap tahun berada pada kisaran Rp9–14 miliar, sehingga total beban APBD berkisar Rp28–33 miliar. Angka ini menegaskan bahwa pola lama pengelolaan kendaraan sangat boros dan menyulitkan perencanaan anggaran jangka panjang.
Sebaliknya, hasil kajian pemerintah selama enam bulan menunjukkan bahwa kebutuhan mobil listrik untuk seluruh perangkat daerah melalui skema sewa memerlukan sekitar Rp24 miliar. Ini bukan hanya lebih murah, tetapi jauh lebih stabil. Pengeluaran rutin menjadi dapat diprediksi, risiko pembengkakan biaya hilang, dan pemerintah tidak lagi menanggung biaya perawatan serta depresiasi.
Dalam logika ekonomi publik, pengeluaran pemerintah harus bergerak dari biaya yang tidak pasti menuju biaya yang dapat dikontrol. Skema sewa adalah bentuk nyata dari transformasi itu. Karena itu, kritik bahwa skema ini “membebani APBD” sebenarnya tidak berdasar. Justru mempertahankan pola lama—yang lebih mahal—itulah yang membebani APBD selama ini.
Solusi atas Buruknya Tata Kelola Aset Bertahun-tahun
Sebagian kritik menilai pemerintah belum layak mengambil kebijakan baru sebelum menyelesaikan penataan aset. Argumen ini tampak rasional, tetapi sesungguhnya tidak mempertimbangkan kenyataan lapangan. Selama bertahun-tahun, kendaraan dinas adalah salah satu sumber utama temuan audit: kesenjangan antara nilai buku dan kondisi riil, kendaraan yang tidak ditemukan saat pemeriksaan, hingga lemahnya pengawasan karena banyaknya aset bergerak yang harus dikelola.
Dalam kerangka manajemen aset publik, cara paling efektif untuk mengurangi masalah bukan sekadar memperketat pengawasan, melainkan mengurangi objek yang diawasi. Dalam konteks ini, skema sewa adalah solusi tepat karena kendaraan yang digunakan pemerintah tidak lagi menjadi aset daerah.
Konsekuensinya sangat signifikan: pemerintah tidak perlu mencatat penyusutan, tidak menanggung risiko kehilangan, tidak bergulat dengan selisih nilai buku, dan tidak perlu melakukan inventarisasi rumit yang selama ini menyita waktu dan energi. Pemerintah dapat menghapus sebagian besar kendaraan konvensional lama, sehingga pembenahan aset dapat dilakukan dengan lebih bersih dan terarah.
Dengan kata lain, kebijakan ini bukan mengabaikan penataan aset—tetapi mempercepatnya.
Janji Politik dan Transformasi Jangka Panjang NTB
Kebijakan mobil listrik juga berkaitan langsung dengan visi pembangunan daerah. Sejak masa kampanye, Gubernur NTB telah menegaskan komitmennya untuk mendorong pembangunan berwawasan lingkungan dan transisi menuju ekonomi hijau. Komitmen ini kemudian tertuang dalam Sapta Cita dan RPJMD 2025–2029.
Dalam kerangka itu, adopsi mobil listrik adalah implementasi langsung dari janji politik yang realistis dan terukur. Kebijakan ini membantu mengurangi emisi gas rumah kaca, memperbaiki kualitas udara, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan memanfaatkan perkembangan teknologi yang semakin efisien. Pemerintah pusat juga memberikan insentif untuk kendaraan listrik, memperkuat rasionalitas ekonominya.
Kebijakan mobil listrik bukan keputusan teknis semata, tetapi bagian dari strategi pembangunan jangka panjang yang konsisten dengan arah kebijakan nasional maupun global.
Beban Administrasi Turun, Birokrasi Dapat Fokus Pelayanan
Salah satu manfaat besar yang belum banyak dibahas adalah pengurangan beban administratif birokrasi. Selama ini, energi aparatur tersedot untuk mengurus kerusakan kendaraan, pembelian suku cadang, serta administrasi pengelolaan kendaraan dinas. Dengan skema sewa, seluruh beban tersebut berpindah ke penyedia layanan.
Jika terjadi kerusakan, kendaraan cukup dikembalikan dan diganti dengan unit yang layak. Hal ini menciptakan pola kerja birokrasi yang lebih efisien dan memungkinkan aparatur memusatkan energi pada pelayanan publik. Dalam perspektif tata kelola modern, inilah bentuk penyederhanaan birokrasi yang langsung berdampak pada efektivitas kerja pemerintah.
Manfaat lingkungan pun tidak kalah penting. Dengan mobil listrik, emisi lokal menurun, kualitas udara membaik, dan kesehatan masyarakat terbantu. Dalam jangka menengah, manfaat sosial seperti ini bernilai jauh lebih besar daripada biaya sewa itu sendiri.
Infrastruktur Mengikuti Permintaan, Bukan Sebaliknya
Kritik lain adalah kekhawatiran bahwa infrastruktur pengisian daya belum memadai. Kritik ini wajar, namun tidak sepenuhnya tepat. Dalam sejarah perkembangan teknologi, ekosistem tidak pernah muncul sebelum ada permintaan. Justru permintaanlah yang menciptakan insentif bagi hadirnya infrastruktur dan industri pendukung.
Ketika pemerintah menjadi pengguna awal mobil listrik, sektor swasta melihat peluang ekonomi yang jelas. Hal ini mendorong pembangunan stasiun pengisian daya, bengkel kendaraan listrik, dan layanan teknis lainnya. Dengan demikian, mobil listrik akan menciptakan rangkaian efek ekonomi berantai yang memperkuat fondasi industri baru di NTB.
Karena itu, infrastruktur bukan alasan untuk menunda kebijakan—melainkan bagian dari proses transisi itu sendiri.
Penutup: Kebijakan Rasional dan Layak Didukung
Sebagai pengamat ekonomi, saya melihat kebijakan mobil listrik melalui skema sewa sebagai langkah rasional yang berdiri di atas analisis yang komprehensif. Kebijakan ini menjawab tiga kebutuhan mendesak sekaligus: efisiensi fiskal, perbaikan tata kelola aset, dan transformasi menuju ekonomi hijau. Ia juga telah melalui kajian panjang selama enam bulan dan selaras dengan visi pembangunan NTB.
Kritik tetap perlu dihargai, tetapi kritik harus didasarkan pada pemahaman yang utuh. Dalam hal ini, kebijakan Gubernur NTB telah sesuai dengan logika ekonomi, kebutuhan fiskal, dan arah pembangunan jangka panjang daerah.
Dalam perspektif ekonomi yang objektif, kebijakan ini sudah berada pada jalur yang tepat dan tidak memiliki alasan rasional untuk ditunda. Data fiskal menunjukkan efisiensi yang signifikan, tata kelola aset menjadi lebih bersih, dan arah pembangunan NTB semakin selaras dengan tuntutan modernisasi dan keberlanjutan.
Karena itu, langkah ini seharusnya tidak lagi diperdebatkan dalam kerangka keraguan, tetapi dijalankan dengan konsistensi dan keberanian sebagai bagian dari transformasi besar yang sedang dibangun. NTB tidak akan maju jika terus terjebak pada pola lama yang mahal dan tidak efisien; justru kemajuan hanya dapat dicapai bila pemerintah berani melanjutkan kebijakan yang secara ekonomi terbukti lebih sehat dan lebih menjanjikan bagi masa depan daerah. (*)



