Pemprov NTB Perkuat Ketahanan Iklim dan Kebencanaan

Mataram (NTBSatu) – Pemprov NTB terus memperkuat arah pembangunan berketahanan iklim melalui penyusunan dokumen kebencanaan dan perubahan iklim secara komprehensif.
Kepala Bappeda NTB, Dr. Iswandi menyebut, agenda resiliensi bencana dan penurunan risiko iklim kini menjadi salah satu fondasi utama penyusunan RPJMD Provinsi NTB 2025–2029.
Menurutnya, NTB telah memiliki tiga dokumen strategis yang menjadi landasan kebijakan, yaitu Kajian Risiko Bencana (KRB) 2022–2026, Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) 2024–2028, serta Rencana Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim (PRKBI) 2024–2045.
Seluruh dokumen ini disusun untuk menjawab tantangan meningkatnya suhu udara, kenaikan muka air laut, serta ancaman cuaca ekstrem yang terus menekan wilayah NTB.
“Kerentanan NTB terhadap perubahan iklim harus dijawab dengan perencanaan yang terukur. Semua kebijakan kebencanaan dan rendah karbon akan kami integrasikan secara kuat dalam RPJMD 2025–2029,” ujar Dr. Iswandi, Sabtu, 22 November 2025.
Penurunan Emisi dan IRB Meningkatkan Resiliensi Daerah
Upaya mitigasi NTB tercermin dari tren penurunan intensitas emisi gas rumah kaca (GRK).
Berdasarkan Aksara Bappenas 2025 yang diolah Bappeda NTB, intensitas emisi mengalami fluktuasi namun menunjukkan capaian penurunan hingga 97 persen pada tahun 2023, sebelum kembali stabil pada 2024.
Di sisi lain, Indeks Risiko Bencana (IRB) NTB juga menunjukkan perbaikan signifikan. Dari angka 172,24 pada 2015, IRB menurun hingga 115,37 pada 2023, dan diproyeksikan mencapai 113,64 pada 2024. Tren ini menjadi indikator bahwa upaya mitigasi, perencanaan, serta kesadaran masyarakat terhadap risiko bencana terus meningkat.
Berdasarkan data BNPB 2025, capaian Indeks Ketahanan Daerah (IKD) kabupaten/kota di NTB masih menunjukkan variasi. Sejumlah daerah seperti Lombok Barat dan Lombok Utara mencatat capaian yang relatif tinggi pada beberapa prioritas, sementara beberapa daerah lainnya masih perlu memperkuat kapasitas kelembagaan, mitigasi, serta kesiapsiagaan bencana.
Dr. Iswandi menekankan, peta capaian IKD ini menjadi masukan penting dalam penyusunan RPJMD.
“Kami tidak ingin perencanaan hanya bersifat administratif. Data IKD memberi arah jelas daerah mana yang harus mendapat intervensi lebih kuat, terutama pada peningkatan kesiapsiagaan dan mitigasi,” ujarnya.
Alih Fungsi Lahan Tingkatkan Risiko Bencana
Menengok masifnya pembangunan dan pertumbuhan pusat ekonomi baru mendorong pembukaan serta alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman dan fasilitas pendukung lainnya. Kondisi ini meningkatkan potensi terjadinya banjir, banjir bandang, longsor, hingga kebakaran hutan dan lahan.
Bappeda NTB menekankan perlunya upaya mitigasi struktural dan non-struktural, serta penyebarluasan informasi kebencanaan dan sistem peringatan dini untuk meminimalkan kerugian ekonomi dan korban jiwa.
Di sisi lain, dampak perubahan iklim makin terasa, terutama di wilayah selatan Pulau Lombok, Pulau Sumbawa, dan kawasan Barat Lombok yang rentan terhadap banjir rob.
Kemunculan cuaca ekstrem, penurunan kualitas ekosistem pesisir, serta potensi krisis air menjadi tantangan nyata bagi NTB.
Menurut Dr. Iswandi, fokus pembangunan dalam RPJMD mendatang termasuk penguatan manajemen sumber daya air, ketahanan pangan, perlindungan ekosistem, serta mitigasi risiko iklim berbasis teknologi dan partisipasi masyarakat.
“NTB harus siap menghadapi iklim yang semakin tidak menentu. Ketahanan iklim bukan pilihan, tetapi keharusan untuk memproteksi masa depan daerah,” tutupnya. (*)



