Tangan Hangat untuk Ayah: Kisah Iqa Menyelesaikan Kuliah di Tengah Derita dan Doa
Di balik senyum tenangnya, tersimpan kisah tentang cinta, kehilangan, dan keteguhan. Ia adalah Al Iqamahul Islam, atau akrab disapa Iqa, pemuda kelahiran Dompu, 10 Maret 2003, yang tahun ini dinobatkan sebagai wisudawan terbaik Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris STKIP Taman Siswa Bima, dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,75.
Perjalanan Iqa menuju toga sarjana bukan kisah yang mudah. Ia tumbuh dari keluarga sederhana di mana ayahnya, almarhum Al Bukhari, pernah menjadi guru sebelum akhirnya mencari nafkah dari barang-barang rongsokan. Namun, sejak 2021, sang ayah terserang stroke dan hanya bisa duduk atau berbaring di rumah—hingga berpulang pada 19 Mei 2025.
“Dulu ayah suka bercerita tentang masa mudanya sebagai guru. Itu yang membuat saya ingin kuliah di bidang pendidikan,” tutur Iqa lirih.
Selama empat tahun terakhir, rumah mereka menjadi ruang perawatan dan pengharapan. Iqa adalah anak keenam dari tujuh bersaudara, sementara sang ibu, Maemunah, hanya ibu rumah tangga. Ketika kuliah dimulai, tanggung jawabnya sebagai mahasiswa berpadu dengan tanggung jawab seorang anak laki-laki yang harus membantu menjaga ayahnya.
“Setiap pulang kuliah saya langsung ke rumah, kasih makan, mandikan, cuci baju, dan bantu mama,” kenangnya.
Babak Terberat Saat Kuliah
Ia masih ingat masa-masa di semester satu dan dua yang menjadi babak terberat. Saat teman-temannya sibuk menyesuaikan diri dengan dunia kampus, Iqa justru belajar menyeimbangkan waktu antara kelas, tugas, dan merawat ayah yang terbaring. “Mama juga sempat sakit, jadi saya harus gantian menjaga,” ujarnya.
Namun, di tengah kelelahan dan keterbatasan, semangat untuk terus belajar tak pernah padam. Biaya kuliahnya diperoleh dari hasil patungan kakak kedua dan keempatnya. Sementara kebutuhan tambahan ia tanggung sendiri.
Kampus Mengajar Ajang Menabung Pengalaman
Dari keikutsertaannya dalam program Kampus Mengajar Angkatan 7 Tahun 2024, Iqa berhasil menabung cukup uang untuk membantu biaya hidup dan kuliah. Ia ditempatkan di SDN Nggembe Kecamatan Bolo, di mana ia belajar banyak hal—tentang dunia pendidikan, penyusunan program kerja, dan arti menjadi guru yang sabar.
“Saya senang bisa membantu anak-anak di sekolah itu. Mereka juga banyak membantu saya memahami arti mengajar,” kata Iqa tersenyum.
Selain itu, Iqa juga sempat bekerja sebagai desainer PDH lepas dan menjalani magang delapan bulan di Inge Ndai Konveksi. Ia terbiasa tidur larut karena harus menyelesaikan desain pesanan sambil mengejar tugas kuliah. “Capek, tapi ada kepuasan tersendiri karena semua dari hasil kerja sendiri,” ucapnya.
Perlahan, dunia organisasi juga membentuk kepribadiannya. Sejak semester tiga, Iqa aktif di Himpunan Mahasiswa Bahasa Inggris (HIMABI). Awalnya, ia hanya terinspirasi oleh keakraban para senior, namun kemudian justru menemukan panggilan baru. Ia dipercaya menjadi Sekretaris HIMABI periode 2023–2024, setelah sebelumnya aktif di berbagai kegiatan seperti English Camp dan LC Inauguration.
“Di HIMABI saya belajar tanggung jawab dan kerja tim. Rasanya seperti keluarga kedua,” ungkapnya.
Momen Emosional Menjelang Kelulusan
Momen paling emosional datang di semester delapan, saat ayahnya semakin lemah. Di sela kesibukan menyusun skripsi, Iqa memilih lebih banyak berada di rumah. “Saya ingin menemani ayah di hari-hari terakhirnya,” ujarnya pelan.
Hari itu, seperti biasa, ia memijat kaki ayahnya yang mulai membiru. Sang ayah menatapnya dan berkata pelan, “Tanganmu hangat sekali, Nak.” Iqa tersenyum, tanpa tahu bahwa itu adalah kalimat terakhir dari sosok yang paling ia cintai. “Ternyata itu hari terakhirnya,” kenangnya dengan mata berkaca.
Kini, ketika toga sarjana akan dikenakan di kepalanya, Iqa tahu perjuangan itu bukan hanya tentang meraih gelar, melainkan tentang menepati janji kepada ayahnya: menyelesaikan pendidikan dengan cara yang bermartabat.
“Kalau ditanya apa yang paling saya syukuri, saya akan bilang: punya keluarga yang meskipun sederhana, tapi saling menopang dalam doa,” tutupnya.
Ke depan, Iqa berencana langsung bekerja. Ia berharap generasi muda bisa menekuni pekerjaan sesuai minat dan hobi, karena di sanalah letak kebahagiaan yang sejati.
“Kalau kita melakukan sesuatu yang kita sukai, lelahnya akan terasa ringan,” ucapnya dengan senyum yang kini penuh arti. (*)



