ADVERTORIALPendidikan

Mutiara dari Baralau: Menyala di Tengah Keterbatasan, Menembus Batas untuk Menginspirasi

Dari sebuah dusun kecil di Desa Baralau, Kecamatan Monta, lahir seorang gadis yang menjadikan kesederhanaan sebagai bahan bakar untuk bermimpi. Namanya Mutiara Zulyanti, kelahiran 17 Juli 2003, baru saja dinobatkan sebagai wisudawati terbaik Program Studi Pendidikan Sejarah STKIP Taman Siswa Bima dengan IPK 3,88.


Pada 1 November 2025, ia resmi menyandang gelar sarjana. Sebuah pencapaian yang lahir dari perjalanan panjang penuh air mata, tekad, dan doa seorang anak petani.

Mutiara adalah putri sulung dari pasangan Abdul Hamid dan Evi Nurmala. Sang ayah bekerja sebagai petani, sementara ibunya seorang ibu rumah tangga. Hidup mereka sederhana, sering kali harus berhadapan dengan ketidakpastian hasil panen dan kondisi ayah yang kerap sakit-sakitan. Namun di tengah keterbatasan itu, semangat belajar tak pernah padam.

“Saya bersyukur, di tengah kondisi ekonomi keluarga yang terbelakang, saya mendapatkan beasiswa KIP Kuliah. Tanpa itu, saya mungkin tidak akan bisa menuntaskan kuliah,” ujarnya dengan suara bergetar.

Bertahan dengan Rp. 50.000 di Perantauan

Perjalanan menuju toga sarjana bukanlah jalan lurus bagi Mutiara. Salah satu bab paling berat dalam kisahnya terjadi saat ia mengikuti Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM) Batch 4 di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.

Jauh dari rumah, dana PMM dan beasiswa belum cair. Uang sisa di dompetnya tinggal Rp50.000, dan harus bertahan selama dua bulan.

“Saya tidak berani menelpon orang tua, karena tahu mereka tidak punya uang untuk dikirim. Saya tidak mau menyusahkan siapapun,” kenangnya lirih.

Ia sempat menahan sakit karena gejala radang usus, hingga akhirnya tumbang dan dirawat di rumah sakit.

Namun, di titik paling rapuh itu, ia menemukan arti sesungguhnya dari keteguhan. “Saya beruntung punya teman-teman seperjuangan yang tidak hanya membantu, tapi juga menguatkan,” tuturnya.

Dari Aktivis hingga Penulis

Bagi Mutiara, dunia kampus bukan sekadar ruang akademik. Ia tumbuh menjadi aktivis, pendidik, dan penulis muda.

Selama kuliah, ia mengikuti program Kampus Mengajar Batch 6 di SDN Monta, aktif di himpunan mahasiswa intra kampus, dan juga tergabung dalam Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI). Organisasi yang memperjuangkan pendidikan gratis, ilmiah, dan kerakyatan.

“Organisasi mengubah saya. Dulu saya pemalu dan antisosial, tapi kini saya berani berbicara dan berjuang,” ucapnya.

Selain berorganisasi, Mutiara menulis puisi, cerpen, hingga novel di berbagai platform digital. Ia juga menulis artikel ilmiah dan esai sosial, menjadikan pena sebagai alat perjuangan. “Menulis adalah cara saya bertahan dan bersuara,” katanya.

Cinta yang Tumbuh dari Sejarah

Sejak kecil, Mutiara telah jatuh cinta pada kisah masa lalu. Ia mengenang sosok almarhum kakeknya, H Abdullah bin Idris, yang kerap menuturkan cerita-cerita sejarah di malam hari.

“Lewat sejarah, saya belajar memahami hidup. Dari Tan Malaka saya belajar bahwa anak miskin pun bisa mengguncang dunia,” ujarnya.

Kecintaan itu mengantarnya menjadi mahasiswa berprestasi. Ia bahkan lulus tanpa skripsi, melainkan melalui publikasi jurnal penelitian di Sinta 3—prestasi yang jarang diraih mahasiswa S1.

Kini, setelah meraih gelar sarjana, Mutiara tak hanya membawa prestasi, tapi juga suara kritis untuk daerahnya.

Sebagai putri petani, ia menyoroti minimnya perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian.
“Petani menghadapi harga pestisida yang mahal, pupuk subsidi yang langka, dan harga jual hasil panen yang tak sebanding. Pemerintah harus turun tangan,” tegasnya.

Ia juga mengkritisi aktivitas tambang dan pembalakan liar di Kabupaten Bima yang merusak alam dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat. “Bima butuh pembangunan yang adil dan berkelanjutan, bukan eksploitasi yang meninggalkan luka,” katanya.

Mutiara berharap, pemerintah membuka lebih banyak lapangan kerja untuk sarjana muda agar potensi generasi baru tidak terbuang percuma. “Kami tidak minta kemewahan, hanya kesempatan untuk berkarya,” ujarnya.

Mimpi yang Masih Menyala

Setelah wisuda, Mutiara tak ingin berhenti belajar. Ia bertekad melanjutkan studi ke jenjang S2 melalui jalur beasiswa.

“Saya sadar ekonomi keluarga terbatas. Tapi saya akan terus mencoba, karena pendidikan adalah jalan saya mengubah nasib,” katanya.

Kisah Mutiara Zulyanti adalah refleksi tentang daya juang seorang anak desa yang tak mau tunduk pada keadaan. Dari rumah sederhana di Baralau, ia membuktikan bahwa mimpi bisa tumbuh bahkan di tanah yang keras, asal dirawat dengan keberanian dan cinta yang tulus. (*)

Berita Terkait

Back to top button