Lombok TimurPendidikan

Meski BPP Dihapus, Orang Tua Siswa SMKN 1 Selong Mau Pindahkan Sekolah Anaknya

Lombok Timur (NTBSatu) – Sejumlah orang tua siswa SMKN 1 Selong mengeluhkan biaya pendidikan yang masih tinggi, meskipun pemerintah telah melarang pungutan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan (BPP).

Salah satu wali murid menyebut, ia tetap harus membayar sebesar Rp200 ribu per bulan untuk pendidikan anaknya di SMKN 1 Selong.

“Tagihannya itu Rp200 ribu per bulan,” ujarnya, Selasa, 28 Oktober 2025.

Ia bahkan berencana memindahkan anaknya ke sekolah lain yang lebih murah, karena tidak sanggup membayar.

Padahal, Pemerintah Provinsi NTB telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 100.3.4/7795/2025 tertanggal 17 September 2025 tentang Moratorium Pemungutan BPP di seluruh SMA, SMK, dan SLBN.

Aturan tersebut menunda sementara Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 44 Tahun 2018 tentang BPP, yang berarti sekolah tidak lagi boleh menarik biaya wajib dari siswa.

Menanggapi keluhan tersebut, Kepala SMKN 1 Selong, Abdul Wahid menegaskan, sekolah sudah meniadakan pungutan BPP wajib sejak SE tersebut terbit.

“BPP itu sudah kami tiadakan, sekarang diganti dengan sumbangan sukarela. Kami sudah sosialisasikan dengan wali murid dan banyak dari mereka tetap menyumbang Rp200 ribu,” jelasnya.

Sekolah: Sumbangan Bersifat Sukarela Bukan Wajib

Ia menegaskan, sumbangan bersifat sepenuhnya sukarela dan tidak memengaruhi hak belajar siswa. “Kalau ada yang ingin menyumbang setengahnya atau tidak sama sekali juga tidak masalah. Siswa tetap bisa belajar, praktik, dan ikut ujian,” lanjut Wahid.

Namun, ia mengakui kebijakan moratorium BPP menimbulkan dampak serius terhadap keuangan sekolah.

“Kami mengalami defisit sekitar Rp4 miliar. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tidak cukup membiayai kegiatan mulai dari ekstrakurikuler hingga lomba setiap minggu. Belum lagi tidak boleh untuk membiayai tenaga honorer sebanyak 80 orang dari total 60 kelas yang kami miliki,” terangnya.

Untuk itu, ia berharap adanya tambahan dana BOS Daerah (BOSDa) agar operasional sekolah tetap berjalan tanpa membebani wali murid.

“Kalau tidak ada BPP, kami berharap ada BOSDa agar tidak ada lagi komplain soal biaya,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Perwakilan Ombudsman NTB, Dwi Sudarsono menegaskan, pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab negara, bukan wali murid. Ia juga menjelaskan perbedaan mendasar antara BPP dan sumbangan.

“BPP bersifat wajib dan kini dimoratorium, sedangkan sumbangan bersifat sukarela untuk semua orang tua. Sekolah atau komite tidak boleh menetapkan nominal tertentu dalam penggalangan sumbangan,” tegasnya.

Dwi mengingatkan, sekolah hanya boleh meminta sumbangan jika dana BOS benar-benar tidak mencukupi kebutuhan operasional.

“Penting diluruskan, pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan masyarakat yang sudah membayar pajak,” tutupnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button