Oleh: Jannus TH Siahaan – Sosiolog dan Pengamat Kebijakan Publik
Pertemuan antara Gubernur Nusa Tenggara Barat, Lalu Muhamad Iqbal, dengan perwakilan Warner Bros Discovery di Jakarta beberapa waktu lalu menjadi penanda arah baru bagi masa depan pengembangan pariwisata di Bumi Gora.
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur Iqbal mengusulkan kerja sama untuk memproduksi dan mempromosikan berbagai kegiatan sport tourism berskala global yang akan digelar di Lombok dan Sumbawa.
Langkah ini tidak hanya bertujuan menarik wisatawan mancanegara, tetapi juga memperkenalkan konsep baru yang ia sebut sebagai pariwisata MISE, yakni singkatan dari “Meetings, Incentives, Sport, and Events”.
Konsep MISE ini merupakan versi lokal dari gagasan global MICE yang selama ini menjadi salah satu pilar pariwisata dunia. Secara tradisional, MICE atau Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions merupakan konsep strategis pariwisata yang berfokus pada kegiatan konvensi, pertemuan bisnis, perjalanan perusahaan (insentif), dan pameran dagang. Jenis pariwisata ini banyak diaplikasikan oleh negara-negara maju karena terbukti berkontribusi besar terhadap pendapatan daerah dan pembangunan citra internasional.
Namun, Gubernur Iqbal menilai bahwa model MICE perlu diadaptasi dengan karakter khas NTB yang memiliki kekuatan pada wisata olahraga. Karena itu, ia nampaknya menggantikan huruf terakhir dari Convention menjadi Sport, melahirkan konsep MISE yang menempatkan olahraga sebagai inti dan penggerak pariwisata baru di provinsinya.
Dalam hemat saya, perubahan ini tidak hanya semantik, tetapi mencerminkan transformasi strategi pembangunan pariwisata daerah. NTB telah lama dikenal sebagai salah satu destinasi yang menawarkan keindahan alam luar biasa dengan kombinasi gunung, pantai, dan budaya. Namun sejak berdirinya Sirkuit Mandalika dan terselenggaranya MotoGP serta MXGP, arah pariwisata NTB perlahan bergeser ke pariwisata berbasis event, khususnya olahraga internasional.
Pemerintah daerah tampaknya melihat peluang besar untuk menjadikan event seperti MotoGP bukan hanya sebagai tontonan sesaat, tetapi sebagai batu loncatan bagi pembentukan ekosistem ekonomi baru di sekitar industri sport tourism.
Secara global, industri MICE cukup terbukti sebagai salah satu sektor paling dinamis. Singapura, misalnya, menjadikan pariwisata MICE sebagai salah satu tulang punggung ekonominya dengan fasilitas kelas dunia seperti Suntec Convention Centre dan Marina Bay Sands yang setiap tahun menyelenggarakan ratusan konferensi dan pameran berskala internasional.
Kontribusi sektor ini terhadap PDB Singapura mencapai miliaran dolar dan dampaknya terasa langsung pada sektor perhotelan, transportasi, serta usaha kecil menengah.
Contoh lain datang dari Korea Selatan yang menjadikan Seoul dan Busan sebagai kota konvensi global, menggabungkan teknologi, budaya, dan keramahan lokal untuk menciptakan pengalaman konferensi yang berbeda.
Sementara itu, Uni Emirat Arab melalui Dubai berhasil memadukan MICE dengan pariwisata mewah dan pameran global seperti Dubai Expo, menjadikan sektor ini bukan hanya sumber pendapatan tetapi juga alat diplomasi ekonomi.
Melihat keberhasilan tersebut, adaptasi konsep MICE menjadi MISE di NTB tampak sebagai langkah yang tepat. NTB memiliki karakter geografis dan sosial yang berbeda dari Jakarta atau Bali, dua pusat utama kegiatan MICE di Indonesia. Karena itu, pariwisata NTB memerlukan pendekatan yang lebih kreatif dan kontekstual.
Dengan mengganti elemen Convention/Exhibition menjadi Sport, Gubernur Iqbal sebenarnya ingin menempatkan NTB sebagai laboratorium sport tourism dunia, memadukan kegiatan olahraga, pertemuan bisnis, dan acara budaya dalam satu paket destinasi yang terpadu.
Lombok dan Sumbawa memiliki semua syarat untuk itu. Sirkuit Mandalika di Lombok Tengah telah menjadi magnet wisata olahraga yang diakui dunia. Di Sumbawa, event MXGP Samota telah menunjukkan kemampuan daerah ini menyelenggarakan ajang internasional dengan dukungan masyarakat yang antusias.
Di sisi lain, potensi wisata bahari, ekowisata, dan wisata petualangan seperti mendaki Gunung Rinjani, selancar di Pantai Lakey, hingga ironman triathlon di Senggigi, bisa dipadukan dengan agenda konferensi atau insentif korporasi.
Dalam kerangka MISE, kegiatan seperti rapat pimpinan perusahaan dapat dilanjutkan dengan charity run di Mandalika atau cycling challenge di Rinjani. Konsep semacam ini tidak hanya menawarkan pengalaman, tetapi juga menggerakkan ekonomi lokal.
Potensi MICE yang lebih konvensional pun tidak kalah besar di NTB. Dengan keindahan lanskap yang memadukan alam dan budaya, NTB bisa menjadi tuan rumah executive retreat bagi lembaga internasional, konferensi pariwisata berkelanjutan, atau pertemuan lembaga keuangan syariah internasional mengingat citra NTB sebagai daerah wisata halal.
Kegiatan semacam ini dapat diselenggarakan di resort tepi pantai atau di kawasan wisata Mandalika dan Senggigi dengan konsep ramah lingkungan yang sejalan dengan visi green tourism.
Namun, jalan menuju keberhasilan pariwisata MISE tidak akan mudah. Tantangan terbesar yang dihadapi NTB adalah konsistensi perencanaan dan kesiapan ekosistem pendukungnya.
Event besar seperti MotoGP telah memperlihatkan dua sisi yang berbeda, di satu sisi mendatangkan ribuan wisatawan dan meningkatkan perhatian internasional, tetapi di sisi lain juga menimbulkan masalah klasik seperti kemacetan, sampah, dan ketidaksiapan sebagian pelaku lokal dalam menyerap peluang ekonomi.
Artinya, pembangunan infrastruktur fisik harus dibarengi dengan pembangunan kapasitas manusia dan tata kelola yang efisien.
Kesiapan sumber daya manusia menjadi faktor krusial. Pariwisata MICE dan MISE menuntut standar pelayanan internasional yang mengutamakan profesionalitas, ketepatan waktu, dan kemampuan berkomunikasi lintas budaya.
Pemerintah provinsi bersama lembaga pendidikan dan pelaku industri perlu menyiapkan program pelatihan berkelanjutan di bidang event management, hospitality, dan marketing tourism.
Perguruan tinggi di NTB bisa diarahkan menjadi pusat keunggulan riset dan pelatihan untuk pariwisata olahraga, bekerja sama dengan lembaga internasional agar mahasiswa NTB siap menjadi tenaga kerja di industri global.
Tantangan berikutnya adalah koordinasi antarinstansi dan promosi yang konsisten. Tanpa promosi yang tepat, event sebesar apa pun akan kehilangan daya gaungnya. Pemerintah daerah perlu membentuk NTB Convention and Sport Bureau, semacam lembaga semi-otonom yang bertugas mengelola dan memasarkan kegiatan MICE dan MISE secara profesional. Lembaga ini dapat menjadi jembatan antara pemerintah, swasta, dan investor asing dalam merancang kalender kegiatan tahunan yang terintegrasi antara sport, meeting, dan event budaya.
Di sisi lain, strategi kebijakan juga harus memastikan bahwa manfaat ekonomi dari kegiatan MISE benar-benar dirasakan masyarakat. Pemerintah daerah dapat mendorong keterlibatan UMKM lokal dalam setiap penyelenggaraan event, mulai dari penyediaan kuliner, suvenir, hingga jasa transportasi. Kolaborasi dengan desa wisata perlu diperkuat agar wisatawan tidak hanya datang menonton, tetapi juga tinggal lebih lama dan menikmati pengalaman lokal yang autentik.
Dengan begitu, efek ekonomi berantai akan lebih luas dan berkelanjutan.
Dalam jangka menengah, pengembangan MISE akan membawa efek domino positif bagi perekonomian NTB. Peningkatan kunjungan wisatawan akan mendorong investasi pada sektor perhotelan, transportasi, dan fasilitas umum. Infrastruktur jalan, pelabuhan, dan bandara akan mendapat prioritas perbaikan karena kebutuhan mobilitas yang dipastikan akan meningkat.
Sementara itu, sektor properti dan jasa pendukung seperti event organizer, penyewaan alat olahraga, dan layanan digital pariwisata akan tumbuh pesat. Semua ini pada akhirnya akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat NTB, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Dari sisi ekonomi makro, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB NTB berpotensi meningkat signifikan jika MISE dijalankan dengan serius. Saat ini, sebagian besar ekonomi NTB masih bertumpu pada pertanian dan pertambangan, dua sektor yang fluktuatif dan tidak selalu inklusif.
Penguatan sektor pariwisata melalui MISE bisa menjadi jalan diversifikasi ekonomi yang berkelanjutan, karena mengandalkan jasa, kreativitas, dan pengalaman, bukan eksploitasi sumber daya alam.
Agar strategi ini berjalan efektif, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten kota perlu menyusun peta jalan bersama yang jelas dan terukur. Rencana induk pariwisata NTB perlu diperbarui dengan menempatkan MISE sebagai pilar utama pengembangan, disertai target tahunan, indikator capaian, dan mekanisme evaluasi.
Kebijakan insentif bagi investor perlu diperkuat, terutama untuk pembangunan venue konvensi, pusat pelatihan olahraga, dan hotel ramah lingkungan.
Selain itu, keberlanjutan lingkungan harus dijaga dengan menetapkan standar hijau bagi setiap kegiatan MISE agar pertumbuhan ekonomi tidak merusak daya tarik utama NTB yaitu alamnya yang masih alami.
Visi Gubernur Iqbal untuk menjadikan NTB sebagai destinasi MISE dunia merupakan visi yang berani dan relevan. Namun, visi sebesar ini menuntut konsistensi, kolaborasi, dan komitmen jangka panjang.
Tanpa perencanaan matang, konsep MISE berisiko berhenti pada slogan promosi. Sebaliknya, jika dilaksanakan dengan keseriusan dan manajemen profesional, MISE dapat menjadi katalis pembangunan ekonomi daerah, memperkuat citra NTB di mata dunia, serta menjadikan pariwisata sebagai alat pemberdayaan masyarakat dan diplomasi ekonomi Indonesia di tingkat global.
NTB memiliki semua yang dibutuhkan untuk mencapai itu, mulai dari keindahan alam yang tak tertandingi, masyarakat yang ramah, hingga semangat baru dari kepemimpinan daerah.
Kini tinggal bagaimana seluruh potensi itu diorganisir dengan visi dan keberanian untuk bergerak melampaui kebiasaan lama. Jika MISE dijalankan bukan hanya sebagai proyek, tetapi sebagai gerakan ekonomi dan budaya yang menyatu dengan masyarakat, maka NTB tidak hanya akan dikenal sebagai tuan rumah MotoGP, tetapi juga sebagai laboratorium sukses pembangunan pariwisata berkelas dunia yang berakar pada identitas lokal dan berorientasi pada masa depan.
Agar arah baru ini mencapai hasil yang nyata, ada beberapa langkah kebijakan yang dapat menjadi pegangan. Pertama, pemerintah provinsi perlu membangun lembaga khusus pengelola MISE yang profesional dan terbuka terhadap kemitraan global untuk memastikan perencanaan dan pelaksanaan event berjalan berkesinambungan.
Kedua, penguatan kapasitas sumber daya manusia harus menjadi prioritas melalui pendidikan vokasi, pelatihan industri, dan sertifikasi tenaga kerja pariwisata berbasis kompetensi internasional.
Ketiga, seluruh kebijakan pariwisata harus berorientasi pada keberlanjutan, baik dalam aspek lingkungan maupun kesejahteraan masyarakat lokal.
Jika ketiga langkah ini dilaksanakan secara konsisten, NTB akan memiliki fondasi kokoh untuk tumbuh sebagai destinasi MISE berkelas dunia.
Bukan hanya menjadi lokasi penyelenggaraan event internasional, tetapi juga menjadi pusat ekonomi baru yang menyeimbangkan antara kemajuan dan kelestarian alam, antara globalisasi dan kearifan lokal. (*)



