OpiniWARGA

Keseimbangan Anggaran di Tengah Ancaman Bencana: Menakar Dana Tak Terduga NTB yang Ideal

Oleh: Farid Tolomundu – Sekretaris Partai Gelora NTB

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah sebuah mahakarya alam yang indah sekaligus rapuh. Di balik panorama megah Gunung Rinjani, pesona garis pantai yang memikat wisatawan, dan gugusan pulau eksotis seperti Gili Trawangan, tersimpan potensi bencana yang tak bisa diremehkan. Gempa bumi, letusan gunung api, banjir bandang, hingga kekeringan panjang bisa datang kapan saja, sering kali tanpa peringatan.

Dalam situasi seperti inilah, pos Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) NTB memegang peranan krusial. Filosofinya sederhana namun mendalam: pemerintah daerah harus selalu siaga secara fiskal untuk menghadapi keadaan darurat. BTT berfungsi ibarat payung keuangan yang wajib tersedia sebelum badai datang, menjadi jaminan bahwa negara hadir saat warganya paling membutuhkan. Tanpa dana siaga yang memadai, setiap kali bencana melanda, pemerintah akan kelabakan mencari sumber pembiayaan, sementara masyarakat di lapangan menunggu dengan cemas. Kecepatan respons menjadi taruhannya; apakah bantuan logistik tiba dalam 24 jam atau tertunda hingga berminggu-minggu sering kali ditentukan oleh kesiapan dana BTT.

Lalu, berapa besaran dana BTT yang ideal untuk daerah dengan risiko tinggi seperti NTB?. Para pakar keuangan daerah dan lembaga seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyarankan alokasi sekitar 1,5% hingga 2% dari total APBD. Dengan asumsi APBD NTB berada di kisaran Rp5 hingga Rp6 triliun, angka ideal untuk dana siaga darurat ini adalah sekitar Rp75 miliar hingga Rp120 miliar. Alokasi sebesar ini tidak akan mengganggu belanja pembangunan lainnya karena didasari oleh prinsip no-regret spending: lebih baik menyiapkan dana cadangan yang mungkin tidak terpakai daripada kalang kabut mencari dana saat bencana benar-benar terjadi.

Untuk memahami pentingnya keseimbangan, mari kita lihat dua skenario ekstrem. Bayangkan jika BTT hanya dialokasikan sebesar Rp16 miliar. Angka ini hanya setara 0,26%–0,32% dari total APBD, jauh di bawah standar minimum untuk daerah rawan bencana. Risikonya sangat nyata: respons darurat akan melambat drastis karena dana yang terbatas cepat habis hanya untuk menangani satu atau dua kejadian berskala sedang. Akibatnya, kerugian ekonomi dan sosial di masyarakat akan membengkak karena proses pemulihan tertunda, yang pada gilirannya dapat menggerus kepercayaan publik terhadap kesiapan pemerintah.

Di sisi lain, alokasi yang terlalu besar juga menimbulkan masalahnya sendiri. Misalnya, jika BTT ditetapkan sebesar Rp500 miliar atau sekitar 8%–10% dari APBD, proporsinya menjadi tidak wajar. Dampak negatifnya adalah terjadinya crowding-out effect, di mana dana untuk sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur terpaksa dipangkas. Selain itu, alokasi sebesar ini berisiko memiliki daya serap yang rendah jika skala bencana yang terjadi tidak besar, sehingga dana hanya akan mengendap. Hal ini juga dapat memicu pertanyaan terkait tata kelola dan prioritas anggaran di mata publik.

Dari dua ekstrem tersebut, titik keseimbangan untuk NTB yang siaga dan tangguh berada di rentang 1,5% hingga 2% dari APBD. Jika memang diperlukan tingkat kesiapsiagaan ekstra, batas maksimal 3% masih dapat dianggap rasional. Di atas angka itu, akan lebih bijaksana jika pemerintah memanfaatkan mekanisme lain seperti dana cadangan, memperkuat kerja sama dengan BNPB, atau menjajaki skema asuransi bencana.

Pada akhirnya, yang dinanti masyarakat saat tertimpa musibah bukanlah sekadar bantuan, melainkan kepastian bahwa pemerintah hadir tepat waktu pada saat-saat paling sulit—dengan dukungan anggaran yang cukup, terukur, dan tidak berlebihan. (*)

Berita Terkait

Back to top button