Mataram (NTBSatu) – Sore itu, sorakan membahana di GOR Panda. Suara tiupan peluit penanda kemenangan terdengar nyaring, diikuti tepuk tangan yang menggema.
Di tengah keramaian, seorang gadis muda melangkah mantap ke podium, mengenakan sabuk kebesaran pesilat, menggenggam medali emas.
Namanya Fhenny Syurisma, anak Desa Roi, mahasiswi Prodi PJKR STKIP Taman Siswa (Tamsis) Bima yang baru saja mempersembahkan kemenangan untuk kampus, keluarga, dan dirinya sendiri.
Namun tak banyak yang tahu, di balik senyum kemenangannya, tersimpan kisah tentang jatuh-bangun, rasa lelah, dan pilihan-pilihan sulit yang harus ia buat sebagai mahasiswa dan atlet.
Kisah yang bukan hanya tentang olahraga, tetapi tentang mimpi, tanggung jawab, dan tekad untuk membuktikan bahwa dari desa kecil pun, seseorang bisa menorehkan prestasi besar.
Fhenny mengenal silat bukan dari ring atau pelatih ternama. Ia mengenalnya dari kisah seorang teman SMP yang sering pulang membawa medali.
“Teman saya bisa ke mana-mana karena silat, dan selalu juara. Saya jadi kepikiran. Kalau dia bisa, kenapa saya tidak,” katanya mengenang masa SMP kelas dua, titik awal perjalanannya.
Silat adalah Panggilan Hidup
Sejak saat itu, silat bukan hanya kegiatan sore hari. Ia menjelma jadi panggilan hidup. Dari Bali sampai Makassar, ia mengikuti berbagai turnamen dan hampir selalu pulang membawa medali.
“Turnamen Bali Championship 1, Kejurnas Makassar, Gubernur Cup Mataram, saya simpan semua medalinya. Tapi yang paling berkesan tetap Bima Championship 1. Karena di situ ada keluarga saya yang menonton langsung. Rasanya seperti pulang dengan kemenangan yang utuh,” ungkapnya sambil tersenyum.
Namun, jalan menuju podium tidaklah mulus. “Pernah rasanya ingin berhenti,” aku Fhenny.
“Apalagi ketika teman-teman seangkatan mulai berhenti latihan satu per satu. Saya mulai bertanya: saya masih mau lanjut enggak, ya,” tuturnya.
Tapi setiap kali lelah menyapa, ia ingat satu hal, yakni pendidikan dan prestasi telah membebaskan keluarganya dari beban biaya sekolah. Bahkan, ia bisa membantu adiknya berkuliah dari beasiswa prestasi yang ia raih.
Raih IPK 3,76
Fhenny tak hanya juara di arena. Ia juga mahasiswa dengan IPK 3,76. Baginya, juara di silat tidak berarti apa-apa kalau nilainya anjlok.
“Tantangannya bukan hanya di atas matras. Tapi juga mempertahankan nilai akademik. Saya tidak mau dikenal hanya karena medali,” ujarnya.
Rutinitasnya padat. Kuliah dari pagi hingga jam 2.30, lanjut ke latihan silat jam 3 sore. “Kadang capek luar biasa. Tapi kalau sudah pakai seragam latihan dan dengar aba-aba pelatih, semangatnya muncul lagi,” jelasnya.
Dan memang, pelatihnya, Agus Supriadi, menjadi sosok penting dalam hidupnya. Bersama dosen dan kampus yang selalu memberi dukungan moral dan fasilitas, Fhenny merasa tidak berjalan sendirian.
“Saya merasa dilihat dan dipercaya. Itu yang membuat saya kuat,” tambahnya.
Baginya, silat bukan sekadar olahraga. Ia adalah warisan budaya, panggung untuk anak-anak muda membuktikan diri.
“Kalau kamu tidak menonjol di akademik, bukan berarti kamu gagal. Bisa jadi potensi kamu ada di tempat lain. Silat adalah tempat saya,” ungkapnya.
Kini, Fhenny menatap ajang selanjutnya, Pekan Olahraga Mahasisw Daerah (POMDA) dan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov). Dengan harapan meraih tiket beasiswa ke jenjang S2.
“Saya ingin terus bawa nama STKIP Taman Siswa Bima ke podium. Bukan untuk pamer, tapi untuk menunjukkan bahwa mahasiswa daerah pun bisa berprestasi,” ujarnya.
Ia menutup percakapan dengan satu pesan untuk anak muda. “Bulatkan tekad. Jadikan hobi kalian bukan cuma pelarian, tapi jalan menuju masa depan,” pungkasnya.
Dan sore itu, ketika bendera kampus berkibar di pundaknya, Fhenny tahu perjuangannya tak sia-sia. (*)