Devisa Terancam
Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) NTB per Februari 2025, nilai ekspor NTB ke Amerika Serikat mencapai US$3,89 juta dari total ekspor sebesar US$7,28 juta.
Komoditas utama ekspor ke Amerika Serikat meliputi ikan dan udang, dengan nilai ekspor sebesar US$2,81 juta. Mencakup sekitar 38,59 persen dari total ekspor NTB pada bulan tersebu.
NTB yang dikenal sebagai produsen udang terbesar di Indonesia, memiliki produktivitas rata-rata 80 ton per hektare per tahun.
βKalau NTB saja terpukul seperti ini, mimpi dua juta ton dari KKP itu bisa tidak tercapai. Padahal devisa dari sektor ini besar,β ucap Dedi.
Ia berharap pemerintah pusat memberikan intervensi nyata, seperti saat pandemi Covid-19. Menurutnya, pelaku usaha membutuhkan keringanan pajak, pengurangan retribusi PNBP, hingga penyederhanaan dokumen ekspor.
βKami butuh relaksasi, seperti saat pandemi dulu. Jangan hanya sekadar imbauan, tapi bentuk konkret seperti keringanan pajak dan dokumen yang tidak ribet. Sekarang saja kami bayar pajak 22 persen dari keuntungan setiap tahunnya, itu berat di tengah kondisi seperti ini,β keluhnya.
Tanggapan Pemerintah
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Muslim menyatakan, telah mendorong upaya dari sisi hulu untuk menjaga keberlangsungan budidaya udang.
Menurutnya, penting bagi Pemerintah Pusat untuk menyadari bahwa ini bukan sekadar persoalan ekspor. Tetapi menyangkut stabilitas ekonomi sektor kelautan.
βPemerintah Pusat harus membaca persoalan ini dengan jeli. Ini menyangkut keberlanjutan produksi dan kualitas ekspor. Harus ada langkah mitigasi risiko terhadap rantai pasok industri ini,β kata Muslim, terpisah.
Situasi yang terjadi di NTB menunjukkan bahwa dampak dari kebijakan luar negeri terhadap sektor ekspor sangat nyata.
NTB sebagai kontributor utama produksi udang nasional, tekanan ini dapat memengaruhi devisa negara dan keberlanjutan program strategis pemerintahan Prabowo-Gibran di sektor kelautan.
Ia menegaska, jika harga jual terus berada di bawah biaya produksi, maka tidak mungkin pembudidaya mampu bertahan. Apalagi biaya seperti pakan, bahan bakar, dan gaji karyawan tetap berjalan tanpa henti.
βKami akann sampaikan ke pusat, kalau harga terus anjlok, produksi akan berhenti. Tapi biaya tetap jalan. Kalau ini tidak ditangani, program strategis nasional seperti Blue Economy juga akan terganggu,β tutup Muslim. (*)