Daerah NTB

FJPI Kawal Kasus Dugaan Persekusi Jurnalis Perempuan di NTB

Mataram (NTBSatu) – Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menegaskan, akan terus mengawal kasus dugaan persekusi dan kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Lombok Barat. Di mana dugaannya, Polresta Mataram melakukan pemberhentian sepihak atas kasus ini.

Ketua FJPI, Khairiah Lubis menyebut, ini bukan sekadar perkara pribadi melainkan soal keberanian membela profesi dan prinsip dasar demokrasi.

“Tidak boleh ada ruang bagi kekerasan terhadap jurnalis. Apalagi perempuan yang tengah menjalankan tugasnya. Kita akan kawal terus sampai keadilan ditegakkan,” tegas Khairiah, Jumat, 18 April 2025.

Korban berinisial YNQ, jurnalis media Inside Lombok, mengalami persekusi dan kekerasan fisik saat meliput banjir di komplek perumahan milik PT MA, Kecamatan Labuapi, pada 11 Februari 2025.

Ironisnya, saat kejadian, ia sedang hamil dua bulan. Dalam upaya konfirmasi, korban justru mendapat intimidasi dan tudingan tidak kredibel. Hingga akhirnya seorang pria inisial AG dari pihak pengembang menarik dan meremas wajah YNQ.

IKLAN

Korban melapor ke Polresta Mataram, namun pihak kepolisian menghentikan penyelidikan per 29 Maret 2025. Alasannya, tidak terpenuhinya unsur pidana dalam Pasal 335 KUHP.

UU Pers Diabaikan, Trauma Tak Dianggap

Penasehat hukum korban, Yan Mangandar, menilai penyidikan kasus ini mengabaikan Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

“Kami ingin laporan menggunakan UU Pers, tapi diarahkan ke KUHP. Padahal Pasal 18 ayat (1) sangat jelas, perbuatan menghalangi tugas jurnalis adalah pidana,” ujar Yan.

IKLAN

Tes psikologis menunjukkan, korban mengalami trauma berat. Ia tidak lagi produktif berkarya dan mengalami tekanan hebat pasca-kejadian, yang seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam penanganan kasus ini.

Dukungan Mengalir dari Dewan Pers hingga Aktivis Pers Nasional

Diskusi daring yang digelar FJPI melibatkan banyak tokoh, dari Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu hingga Kasubdit Dittipid PPA-PPO Bareskrim Polri, serta perwakilan LBH Pers dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ).

Ninik menegaskan pentingnya dukungan menyeluruh untuk korban.

“Kasus ini harus dikawal, korban sudah berani bersuara, maka negara wajib hadir melindungi,” ujarnya.

Chikita Marpaung dari LBH Pers menambahkan, kekerasan ini bukan kasus biasa.

“Jurnalis sedang bekerja meliput isu penting yang berdampak publik. UU Pers adalah mandat konstitusi. Harus kita hormati,” tuturnya.

Koordinator KKJ Indonesia, Erick Tanjung menyebut kasus ini sebagai bagian dari pola impunitas kekerasan terhadap jurnalis yang makin mengkhawatirkan.

“Korbannya jelas jurnalis, sedang bekerja, mengalami kekerasan fisik tapi polisi menghentikan kasusnya begitu saja. Ini tidak bisa kita biarkan,” tukasnya.

Sepanjang 2023 tercatat 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dan 73 kasus sepanjang 2024.

“Angka bisa menurun, tapi kualitas kekerasannya makin membahayakan, ada yang mendapat teror, bahkan berujung pada pembunuhan,” ungkap Erick.

Sementara itu, AKBP Endang Sri Lestari dari Bareskrim Polri menjelaskan, korban bisa mengajukan gelar perkara khusus untuk membuka kembali kasus ini. Alternatif lainnya, laporan baru menggunakan UU Pers dapat korban ajukan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTB.

“Kami siap bantu fasilitasi, jika ada fakta baru atau prosedur keliru dalam penghentian sebelumnya, kasus ini bisa lanjut lagi,” jelasnya.

Awal Perlawanan

FJPI dan para pendamping hukum korban menegaskan, penghentian penyidikan bukan akhir.

Khairiah menegaskan, ini awal dari upaya lebih besar dalam membongkar tumpulnya perlindungan hukum bagi jurnalis, terutama perempuan.

“Jika jurnalis perempuan mereka bungkam, mendapat perlakuan teror saat bekerja tanpa ada sanksi, maka hari ini kita semua yang sedang diam adalah target berikutnya,” pungkas Ketua FJPI itu. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button