Pastikan Dwifungsi Tidak Terulang
Atas dasar itu, Rachmat tak pernah lupa, bagaimana PDI, cikal bakal PDI-P saat ini, menjadi korban langsung gaya pemerintahan militeristik Orde Baru tersebut.
Ia mengalami sendiri, bagaimana ketika mengikuti acara Rakernas PDI di Condet, Jakarta Timur, aparat keamanan mengejarnya. Padahal, Rakernas tersebut hanyalah agenda tahunan rutin sebuah organisasi partai politik.
Rachmat menekankan, mengungkapkan kembali hal pahit yang pernah ia alami sebagai pribadi maupun secara kelembagaan tersebut bukanlah untuk mengungkit luka lama. Namun, semata demi pembelajaran bagi bangsa dan juga generasi penerusnya.
Karena itu, kata Rachmat, gaya pemerintahan militeristik ala Orde Baru tersebut cukuplah menjadi sejarah bagi Bangsa Indonesia, dan tak akan terulang kembali.
”Revisi UU TNI itu memastikan bahwa era militeristik Orde Baru tak akan kembali. Tidak ada celah Dwifungsi ABRI. Reformasi terus berjalan dan supremasi sipil tetap menjadi prinsip utama dalam demokrasi kita,” kata Rachmat.
Tiga Koridor Revisi UU TNI
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa revisi UU TNI ini hanya mencakup tiga koridor. Pertama, menjadikan bagaimana TNI bisa memperkuat kerja sama TNI dengan masyarakat.
Lalu kedua, TNI memiliki kepastian terkait tugas prajurit di ranah sipil atau di luar tugas militer. Ketiga, terkait perubahan batas usia pensiun TNI, yang akan membantu prajurit dan keluarga mereka dalam memaksimalkan sumber daya.
”Tidak perlu ada kekhawatiran Dwifungsi ABRI setelah revisi UU TNI ini disahkan. Militerisme dalam politik telah menjadi bagian dari sejarah. Dengan revisi UU TNI, kita justru menegaskan bahwa pemerintahan tetap berada di tangan sipil, sesuai prinsip demokrasi,” tutup Rachmat Hidayat. (*)