Mataram (NTBSatu) – Alokasi anggaran kesehatan Provinsi NTB pada 2025, mencapai Rp 1,27 triliun atau 22,3 persen dari total belanja daerah.
Meski masuk dalam urusan belanja terbesar kedua, realisasi penggunaannya dinilai masih jauh dari harapan publik.
Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) NTB, Ramli Ernanda menyoroti mayoritas anggaran kesehatan ini justru terserap untuk belanja rutin dan operasional. Belanja tersebut isinya kebanyakan biaya perjalanan dinas pejabat kesehatan dan rapat koordinasi.
Sebanyak 83 persen atau sekitar Rp 1,05 triliun untuk kebutuhan administratif, bukan peningkatan layanan. Sementara, hanya 27 persen atau Rp 216,28 miliar yang benar-benar untuk akses dan peningkatan layanan kesehatan.
“Anggaran besar ini seharusnya diarahkan untuk benar-benar meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat, bukan hanya untuk belanja operasional yang rutin,” tegas Ramli.
Lebih ironis lagi, anggaran untuk peningkatan mutu layanan kesehatan hanya menyentuh angka Rp2,6 miliar. Anggaran tersebut setara 1 persen dari belanja program layanan kesehatan, atau hanya 0,2 persen dari total anggaran kesehatan.
“Ini menunjukkan bahwa peningkatan kualitas layanan belum menjadi prioritas serius pemerintah daerah,” tambahnya.
Pelayanan Buruk, Infrastruktur Masih Jauh dari Standar
Meski pemerintah mengklaim prioritas anggaran tertuju pada peningkatan infrastruktur dan akses layanan, kenyataan di lapangan berbicara lain.
Rasio tempat tidur rumah sakit di NTB hanya 0,71 per 1.000 penduduk, terendah di Indonesia. Sarana dan prasarana kesehatan masih jauh dari standar minimal pelayanan yang layak.
“Banyak fasilitas kesehatan yang belum memenuhi standar. Masyarakat sering mengeluhkan kurangnya tempat tidur di rumah sakit, alat medis yang terbatas, hingga layanan yang lambat,” ungkapnya.
Di sisi lain, angka kesakitan penduduk NTB pada 2024 tercatat 38,88 persen.
Meski mengalami penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, angka ini tetap tinggi dan menunjukkan bahwa intervensi kesehatan belum maksimal.
FITRA menilai, kondisi ini menunjukkan potret anggaran kesehatan NTB yang paradoksal. Alokasi besar, tetapi dampaknya minim terhadap peningkatan kualitas layanan kesehatan.
Pemerintah daerah perlu lebih berani mengalokasikan anggaran, untuk perbaikan mutu layanan dan memastikan infrastruktur benar-benar memenuhi standar.
Jika tidak, keluhan masyarakat atas buruknya layanan kesehatan di NTB akan terus menggema tanpa solusi yang nyata.
“Kami berharap ada perubahan signifikan dalam kebijakan ini. Jangan sampai masyarakat terus menderita akibat layanan kesehatan yang buruk, sementara anggaran triliunan rupiah hanya habis untuk operasional,” pungkas Ramli. (*)