Mataram (NTBSatu) – Situasi pekerja migran, khususnya perempuan di Nusa Tenggara Barat (NTB), masih menghadapi berbagai persoalan serius. Mulai dari ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan, hingga menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Ketua Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, Siti Nurhidayati, mengungkapkan bahwa sebagian besar calon pekerja migran asal NTB yang bekerja di sektor domestik di negara-negara Timur Tengah rentan berangkat secara unprosedural. Hal ini dikarenakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 260 Tahun 2015 masih belum dicabut.
“Para calon pekerja migran perempuan ini sangat rentan menjadi korban penipuan dan perdagangan orang. Mereka hampir semuanya memiliki paspor, namun dikirim secara unprosedural. Hal ini menunjukkan betapa carut-marutnya mekanisme migrasi saat ini,” jelas Siti Nurhidayati.
Menurut hasil analisis dan investigasi yang dilakukan oleh Solidaritas Perempuan Mataram bersama komunitas perempuan pekerja migran, berbagai pelanggaran dalam proses migrasi sering terjadi.
Hal ini diperkuat dengan temuan Ombudsman RI (ORI) Perwakilan NTB pada 2 Agustus 2022 yang menemukan dugaan praktik buruk dalam pelayanan paspor di Unit Layanan Paspor (ULP) Lombok Timur.
Dalam temuannya, ORI menduga telah terjadi berbagai bentuk maladministrasi, antara lain diskriminasi, penyalahgunaan wewenang, pengabaian kewajiban hukum, penyimpangan prosedur, perbuatan tidak patut, penundaan berlarut.
Sayangnya, meskipun telah ada press release dari Ombudsman RI Perwakilan NTB terkait hal ini, belum ada tindak lanjut maupun langkah nyata dari pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola migrasi sampai detik ini.
“Kami menilai pemerintah daerah belum menunjukkan itikad baik untuk memperbaiki tata kelola migrasi di NTB. Langkah-langkah nyata yang dilakukan pun tidak terpublikasi dengan baik, sehingga masyarakat berhak untuk mengetahui upaya apa yang telah dan akan dilakukan,” tegas Siti.
Solidaritas Perempuan Mataram pun mendesak pemerintah daerah segera mengambil tindakan konkret untuk memperbaiki sistem migrasi, meningkatkan pengawasan, serta memberikan perlindungan yang lebih baik bagi calon pekerja migran perempuan di NTB.
Selain itu, transparansi dan publikasi langkah-langkah tersebut juga dinilai penting agar masyarakat bisa ikut mengawasi dan memahami kebijakan yang diambil.
4 Tuntutan Solidaritas Perempuan Mataram
Adapun beberapa tuntutan Solidaritas Perempuan Mataram untuk membantu menuntaskan persoalan ini, diantaranya:
- Mendorong revisi Perda No 1 Tahun 2016** dan melahirkan Perda Perlindungan PMI NTB yang lebih adil, khususnya untuk perempuan.
- NTB darurat Perlindungan PMI, mengingat setiap saat ada kasus TPPO dan kekerasan terhadap PMI perempuan NTB yang menjadi korban perdagangan manusia dan penyelundupan.
- Pemerintah NTB terpilih, baik Bupati maupun Gubernur, harus menjadikan perlindungan terhadap warga yang bermigrasi sebagai prioritas utama, karena persoalan ini berkaitan dengan nyawa manusia yang dieksploitasi dan diperdagangkan.
- Pemerintah Desa diminta segera membentuk Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur perlindungan PMI di tingkat desa.
7 Rekomendasi Untuk meningkatkan perlindungan pekerja migran
Pihaknya juga memberikan 7 rekomendasi untuk meningkatkan perlindungan pekerja migran, antara lain:
- Penyusunan Perda Provinsi NTB tentang perlindungan TKI yang dapat mengisi kekosongan kebijakan nasional dan mengoptimalkan kewenangan daerah untuk menjawab permasalahan perlindungan TKI dan keluarganya, terutama buruh migran perempuan.
- Pemda NTB perlu mengembangkan program kerjasama dengan pemerintah pusat, terutama dalam hal perlindungan TKI yang tidak dapat diakomodasi dalam kebijakan daerah.
- Mengingat dampak positif dari Layanan Terpadu Satu Pintu (LTSP) atau LTSA, pemda NTB perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk mengoptimalkan peran instansi vertikal seperti BP3MI dan Kantor Imigrasi dalam mendukung LTSA.
- Sosialisasi lebih intensif terkait penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia di sektor informal ke negara-negara tujuan Timur Tengah, jika Kepmenaker No 260 Tahun 2015 belum dicabut.
- Pemerintah NTB diminta segera mengeluarkan Peraturan Gubernur terkait hal-hal yang disebutkan dalam Perda No 1 Tahun 2016.
- Imigrasi NTB diharapkan untuk melakukan sosialisasi mengenai proses pembuatan paspor sesuai dengan SOP, guna menghindari pengiriman calon pekerja migran secara ilegal.
- Stop percaloan dalam proses pembuatan paspor yang merugikan masyarakat dan calon pekerja migran asal NTB.
Terakhir, Sitti menekankan untuk pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, harus lebih responsif terhadap persoalan ini, karena setiap hari ada warga NTB yang berisiko menjadi korban TPPO atau mengalami kekerasan di luar negeri.
Perlindungan pekerja migran perempuan harus menjadi prioritas utama dalam program pemerintah ke depan.
“Kami berharap langkah-langkah yang diusulkan ini segera diterapkan untuk memastikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja migran perempuan di NTB,” pungkasnya. (*)