Mataram (NTBSatu) – Kasus dugaan pelecehan seksual oleh inisial IWAS (21 tahun), seorang penyandang disabilitas tanpa lengan asal Mataram, NTB, kini menjadi perbincangan hangat nasional.
Bahkan, Pengacara kondang tanah air, Hotman Paris Hutapea, pun ikut berkomentar. Ia turut menyoroti kasus ini hingga menawarkan bantuan hukum untuk IWAS.
“Makanya, aneh banget ini. Aku lagi coba telusuri. Kasihan. Dia makan, mandi, buang air besar pun perlu bantuan. Bagaimana dia mau memperkosa mahasiswa? Gak masuk akal!,” tulis Hotman di akun Instagram pribadinya @hotmanparisofficial, Sabtu, 30 November 2024.
IWAS, tercatat sebagai seorang mahasiswa di salah satu institut agama di Kota Mataram. Juga, memiliki pekerjaan sampingan sebagai petugas parkir di Taman Sangkareang.
Tak heran, kasus ini menuai pro dan kontra publik. Banyak pihak menilai kondisi fisik IWAS yang lahir tanpa lengan tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan asusila tersebut.
Di sisi lain, Tim Pendamping Korban Pelecehan, Andre Safutra mengungkapkan, beberapa fakta baru terkait kasus ini.
“Tim sudah menerima laporan masuk dari tujuh korban. Ada empat yang sudah lengkap kami kumpulkan,” ujarnya pada NTBSatu, Minggu, 1 Desember 2024.
Tim pendamping yang terdiri dari LBH dan Komunitas Perempuan, kemudian mendalami empat laporan yang masuk itu. Diketahui, IWAS terkuak telah melakukan aksi bejatnya dengan rincian, pada tanggal 28 September (1 korban) , 1 Oktober (2 korban), dan tanggal 7 (1 korban).
“Para korban adalah pelajar yang rata-rata baru masuk kuliah. Mereka semua adalah orang asing yang pelaku temui secara acak di tempat-tempat terbuka. Seperti di Taman Budaya dan Teras Udayana,” ungkap Andre.
Diduga Lakukan Hipnotis
Berdasarkan keterangan seluruh korban, ketika melancarkan aksinya, IWAS melakukan motif manipulasi hingga ancaman agar korban tunduk dan merasa tak berdaya.
“Meski memiliki kekurangan secara fisik, pelaku ini cukup lihai dalam melakukan tipu daya untuk memperalat para korbannya. Awalnya, untuk membangun kedekatan emosional, pelaku sengaja banyak membahas tentang kondisi fisiknya yang cacat,” beber Andre.
Lambat laun ketika korban sudah dirasa cukup simpatik, barulah ia mengarahkan ke hal-hal yang sifatnya lebih pribadi. Selain itu, dugaannya IWAS menghipnotis korban agar bersedia melakukan hubungan seksual.
“Akibatnya, para korban yang awalnya menolak, jadi mengikuti kemauan pelaku. Pelaku biasanya mengumamkan sesuatu dan mensugestikan korban untuk mengambil benda (bunga) yang ada di sekitarnya,” ujar Andre.
Saat ini upaya yang tengah dilakukan oleh Tim Pendampingan adalah memberikan penguatan dan perlindungan penuh kepada para korban. Kemudian, kasus ini juga dilaporkan ke Komnas Perempuan dan sedang menunggu untuk proses tindaklanjutnya.
“Kami harap masyarakat bisa lebih bijak melihat kasus ini dari dua sisi. Memang secara logis kondisi korban tidak mungkin sekali untuk melakukan hal itu. Tapi, korbannya sekarang saja sudah ada tujuh orang. Dan tidak menutup kemungkinan akan bertambah, ” pungkas Andre. (*)