Mataram (NTBSatu) – IWAS alias Agus, penyandang disabilitas wilayah Kota Mataram menjadi tersangka dugaan kekerasan seksual.
Subdit IV Dit Reskrimum Polda NTB menetapkan pria usia 21 tahun sebagai tersangka setelah mengantongi alat bukti yang cukup. Polisi menjerat Agus dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Dalam pasal 6 UU TPKS tidak hanya berbicara menuntut unsur paksaan dan kekerasan. Melainkan juga berkaitan dengan unsur tindakan yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan kekerasan seksual.
“Jadi, sekali lagi UU TPKS itu tidak murni menyarankan adanya unsur paksaan,” kata Kasubdit IV Dit Reskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati, Jumat, 22 November 2024.
Meski tak menyebut secara rinci, Pujawati hanya memastikan bahwa penetapan tersangka berdasarkan proses hukum yang berlaku. Polisi juga memeriksa sejumlah saksi dan memeriksa ahli psikolog dari Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi).
Informasi NTBSatu di lapangan, korbannya merupakan mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Mataram. Tersangka melakukan aksinya di sebuah penginapan di wilayah Mataram.
“Dalam perkara itu satu orang korban,” kata Puja.
Sebelum melancarkan aksinya, pelaku dan korban bertemu di Teras Udayana. Keduanya tak saling kenal.
“(Kejadian) di salah satu homestay. Bukan (Teras Udayana), tapi dia (korban) digerakkan untuk menuju suatu lokasi (penginapan). Satu rangkaian,” sebutnya.
Kasus ini menuai pro kontra di masyarakat umum. Sisi lain terduga pelaku yang kini menjadi tersangka merupakan penyandang disabilitas. Apalagi dalam beberapa video beredar, Agus mengaku pelaporan terhadapnya merupakan fitnah. Ia berdalih tak mungkin hal pemerkosaan di tengah kondisi fisiknya seperti itu.
“Bukan saya apa, rasa sakit saya dituduh dengan memperkosa orang. Sedangkan saya buka celana nggak bisa, buka baju nggak bisa. Logikanya di mana dengan komentar yang tidak-tidak,” sebutnya dalam video itu.
Di samping itu, laporan perempuan yang menjadi korban tak bisa diabaikan. Apalagi jumlah korban disinyalir lebih dari satu.
Serahkan kepada APH
Menanggapi itu, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi mengatakan, untuk proses hukum ia menyerahkan sepenuhnya kepada APH.
“Biarlah pengadilan yang memutuskan dan mengujinya,” ujarnya kepada NTBSatu Jumat, 29 November 2024.
Akademisi Universitas Mataram (Unram) itu juga menyoroti pro kontra kasus dugaan kekerasan seksual tersebut. Menurut Joko semua tersangka sama di mata hukum, kendati yang bersangkutan merupakan penyandang disabilitas.
Dalam kasus Agus, Joko menilai bahwa proses hukum yang polisi jalankan sesuai dengan aturan. Alat bukti yang dikumpulkan sudah mengarah pada benarnya ada dugaan kekerasan seksual.
Hanya saja yang perlu APH perhatikan, sambung Joko, hambatan-hambatan ketika menangani kasus yang melibatkan penyandang disabilitas. Contohnya, ketika tersangka merupakan tuna rungu wicara, maka kepolisian harus menggandeng pihak yang bisa menggunakan bahasa isyarat.
Salah satu langkah LPA Mataram lakukan adalah dengan memberi rekomendasi kepada Polda NTB agar Agus tak menjalani penahanan di Rutan. Namun menjadi tahanan rumah. Itu bagian dari langkah tim Joko memberikan bantuan terhadap pria asal Monjok Griya, Kelurahan Monjok, Kecamatan Selaparang tersebut.
“Saya meminta tim memberikan pendampingan. Artinya ini kan pada posisi ada disabilitas sebagai pelaku dan perempuan sebagai korban,” sebutnya.
Karena itu, Joko mengaku pihaknya siap memberikan pertolongan yang diperlukan Agus. Begitu juga kepada korban, LPA Mataram juga akan memberikan bantuan hukum jika dibutuhkan.
“Dalam posisi sekarang, saya bagaimana memastikan hak hak dari korban maupun tersangka itu terpenuhi dalam proses hukum ini,” jelasnya.
Joko kembali menegaskan kasus berkaitan dengan UU TPKS statusnya sama di mata hukum. Sekalipun pelakunya merupakan penyandang disabilitas. Yang penting APH harus memastikan bahwa hambatan bisa terselesaikan.
“Terkait adanya dugaan kriminalisasi (terhadap Agus), kemudian kekerasan seksual, biarlah pengadilan yang memutuskan dan mengujinya,” tandasnya. (*)