Mataram (NTBSatu) – Dit Reskrimum Polda NTB belum menerima pelimpahan pungli di kawasan lahan PT Gili Trawangan Indah (GTI) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.
“Sampai saat ini belum ada pelimpahan ke Polda,” kata Dir Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat kepada NTBSatu, Rabu, 9 Oktober 2024.
Syarif mengakui, pihaknya menerima surat akan ada pelimpahan di era Kapolda NTB Irjen Pol Djoko Poerwanto. Namun hingga saat ini, kepolisian belum menerima pemaparan dari kejaksaan terkait kasus di lahan seluas 65 hektare tersebut.
“Tapi Pak Kapolda Pak Djoko, minta dipaparkan dulu. Sampai saat ini belum ada paparan dan pelimpahan,” jelasnya.
Sebelumnya Kepala Kejati NTB, Enen Saribanon menyebut, pihaknya telah menyerahkan kasus yang berjalan sejak tahun 1995 hingga 2021 itu ke kepolisian. Pelimpahan itu berdasarkan rapat internal kejaksaan, bahwa kasus ini masuk ke ranah pidana umum (pidum).
“Sudah kami limpahkan ke Polda. Berdasarkan kesimpulan rapat, ini ranah pidum. Sampai sekarang, jangankan berkas, SPDP kami belum terima,” jelasnya, Selasa, 8 Oktober 2024.
Senada dengan itu, Aspidsus Kejati NTB Elly Rahmawati alasan kasus pungli diserahkan ke kepolisian karena melihat hasil koordinasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) NTB.
“Jadi, bersama BPKP kami punya pendapat yang sama bahwa korupsi itu terjadi kalau lahannya beralih nama. Sedangkan, kepemilikan lahan ini masih di pemprov, jadi di sini kerugian negaranya tidak ada,” ujarnya.
Penyidik menyimpulkan kasus dugaan pungli sewa menyewa dan jual beli lahan selama kontrak kerja sama pengelolaan dengan PT GTI berjalan, tak masuk dalam perbuatan korupsi.
“Itu makanya GTI tidak masuk ke ranah tindak pidana korupsi, karena asetnya tetap nama pemprov (pemerintah provinsi),” ucapnya.
Transaksi sewa menyewa dan jual beli lahan tanpa ada persetujuan dari pemilik lahan, Pemprov NTB, bagian dari perbuatan melawan hukum.
“Itu potensi (pelanggaran hukum), penyerobotan lahan itu namanya, dan itu tindak pidana umum,” kata Ely.
Putus Kontrak dengan PT GTI
Persoalan penempatan lahan eks pengelolaan GTI ini terjadi pasca-Pemprov NTB memutus kontrak kerja sama pemanfaatan lahan dengan perusahaan pada September 2021.
Sejak putus kontrak, lahan seluas 65 hektare kembali menjadi milik Pemprov NTB. Statusnya hak pengelolaan (HPL).
Pemprov selanjutnya membuka ruang kepada masyarakat maupun investor untuk mendapatkan legalitas berupa hak guna bangunan (HGB) dalam berusaha.
Ada sejumlah syarat yang ditetapkan pemerintah agar masyarakat maupun investor bisa mendapat HGB. Salah satunya, bersedia menyetorkan iuran pajak ke pemerintah dengan nominal Rp15 juta per tahun.
Seiring berjalannya kebijakan, timbul gejolak di tengah lahan 65 hektare eks PT GTI. Antara masyarakat yang sebelumnya membuat kesepakatan kerja sama dengan para investor.
Gejolak itu berkaitan dengan kesadaran investor yang kini telah beralih membangun kerja sama pengelolaan lahan dengan pemprov. Mereka mendapatkan HGB untuk membangun usaha di lahan eks PT GTI.
Namun di lapangan, banyak investor tidak berusaha dengan mulus meskipun mengantongi HGB dari pemprov. Mereka berhadapan dengan masyarakat setempat yang berpatokan dengan kesepakatan kerja sama sebelum pemutusan kontrak Pemprov NTB dengan PT GTI.
Menurut hasil kajian dengan BPKP Perwakilan NTB, ada kesepakatan dengan objek berupa lahan yang kini telah kembali menjadi HPL Pemprov NTB, masuk ke ranah pidana. (*)