HukrimLombok Barat

Bahan Kimia hingga Alat Berat di Tambang Ilegal Sekotong Berasal dari China

Mataram (NTBSatu) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Pemprov NTB menutup aktivitas tambang emas ilegal di wilayah Sekotong, Lombok Barat, Jumat, 4 Oktober 2024.

Ketua Satuan Tugas Koordinator Supervisi (Satgas Korsup) Wilayah V KPK, Dian Patria menjelaskan,
di sana, ia bukan hanya melihat ada potensi kerusakan lingkungan. Namun, juga menemukan sejumlah peralatan dan bahan kimia seperti merkuri, berasal dari China.

“Alat berat dan terpal khusus yang mereka gunakan untuk proses penyiraman sianida juga berasal dari China. Yang menambah kompleksitas permasalahan ini,” jelasnya.

Limbah merkuri dan sianida hasil proses pengolahan emas di Dusun Lendek Bare, Desa persiapan Belongas, Kecamatan Sekotong itu, berpotensi mencemari lingkungan sekitarnya. Termasuk sumber air dan pantai yang berada di bawah kawasan tambang.

Jika tidak melakukan tindakan serius, aktivitas pertambangan ilegal akan mengancam potensi wisata yang ada di daerah setempat. Ujungnya, yang merugi adalah masyarakat.

“Daerah di sekitar tambang ini sangat indah, memiliki potensi wisata yang besar. Namun, tambang ilegal ini merusaknya dengan merkuri dan sianida yang mereka buang sembarangan,” tegas Dian.

Ketua Satgas mengungkap, penerbitan tambang emas ilegal di Sekotong ini untuk mendorong optimalisasi pajak atau Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesuai salah satu fokus dari Monitoring Center for Prevention (MCP). Tujuannya, untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pendapatan daerah.

“Aktivitas tambang illegal yang berlokasi di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) ini telah mulai sejak 2021. Perkiraannya, menghasilkan omzet hingga Rp90 miliar per bulan, atau sekitar Rp1,08 triliun per tahun,” jelasnya.

Angka tersebut berasal dari tiga stockpile (tempat penyimpanan) di satu titik tambang emas wilayah Sekotong, seluas lapangan bola.

“Ini baru satu lokasi, dengan tiga stockpile. Dan kita tahu, mungkin di sebelahnya ada lagi. Belum lagi yang di Lantung, yang di Dompu, yang di Sumbawa Barat, berapa itu perbulannya? Bisa jadi sampai triliunan kerugian untuk negara,” jelasnya. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button