HEADLINE NEWSLiputan Khusus

LGBT di Sekitar Kita

Fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Nusa Tenggara Barat (NTB) bak gunung es. Belakangan, kelompok ini semakin berani megumbar aktivitas peyimpangan seksualnya. Patut jadi sumber kekhawatiran, karena fenomena ini sudah merambah kawasan wisata hingga lembaga pendidikan agama.

———————–

Cuaca di kawasan wisata Mandalika, Lombok Tengah pada Juni 2024 panas. Meski terik, namun pengunjung cukup banyak. Baik pengunjung lokal maupun warga negara asing (WNA) dari berbagai negara. Mereka duduk ngadem di coffe shop.

Pantauan NTBSatu di salah satu kafe kawasan Mandalika, dua perempuan WNA menggunakan baju putih duduk bersama. Mereka secara terang-terangan melakukan tindakan tak terpuji di depan publik. Tak hanya secara personal, kaum LGBT juga bahkan membentuk kelompok dan melakukan kegiatan.

Hal itu terbukti dengan Polsek Mandalika Lombok Tengah membubarkan kegiatan Gender Bender Party pada Jumat, 12 Juli 2024 malam. Yang menyelenggarakannya adalah warga negara asing. Acara tersebut ditengarai mengarah ke LGBT.

Yang memperkuat fenomena menjamurnya LGBT ketika Subdit IV Dit Reskrimum Polda NTB mengamankan seseorang inisial SA pada Juni 2024 lalu. Dugaanya, pria usia 20 tahun itu melakukan tindak pidana sodomi dengan korban anak di bawah umur.

Kasubdit IV Dit Reskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati menyebut, pelaku melancarkan aksinya di SPBU Gerung, Lombok Barat pada Selasa, 25 Juni 2024 malam. Korbannya anak usia 12 tahun. Kronologisnya, pelaku meminta korban agar mengantarkannya ke Sakra, Lombok Timur dengan iming-iming memberikan uang Rp50 ribu.

Pelaku selanjutnya meminta korban mengantarnya lagi ke kecimol Berlian di Pemenang Lombok Utara. Keduaanya berkeliling hingga di Pertamina Gerung sekitar pukul 23.00. Alasannya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Pemenang. Karena merasa lelah, korban akhirnya tertidur. Saat itu pula ia mendapatkan perlakuan sodomi dari pelaku. SA melancarkan aksi bejatnya selama dua kali.

Korban berevolusi jadi pelaku

Pujawati mengungkap, sebagian besar mereka yang melakukan sodomi sebelummnya pernah menjadi korban. Mereka selanjutnya berevolusi menjadi pelaku dan mencari mangsa lain sebagai pelampiasan.

Hal itu senada dengan pengakuan SA. Ia mengaku menjadi korban sodomi oleh seseorang bernama Rendi asal Sakra, Lombok Timur. Kejadiannya, SA yang saat masih duduk di bangku kelas 6 SD ingin pulang ke rumahnya. Di tengah jalan, Rendi menahannya dan meminta SA kecil mengikutinya ke suatu tempat. Setibanya di lokasi, Rendi memaksanya membuka pakaian dan melakukan tindakan tak terpuji kepada SA.

“Sampai di sana, dia sodomi saya,” ujarnya.

Setelah kejadian itu, kelainan seksual pada diri SA muncul. Begitu melihat anak laki-laki di bawah umur, birahinya muncul. Berdasarkan pemeriksaan kepolisian, pelaku sudah menyodomi sedikitnya 10 korban.

Kasus LGBT tak hanya sampai di situ. Beberapa waktu lalu masyarakat NTB, khususnya Pulau Lombok dihebohkan dengan video syur yang beredar di Facebook dengan akun Fan Tan. Dua laki-laki asal Lombok Timur nampak memamerkan adegan ciuman. Mereka adalah SR (15) asal Kecamatan Suralaga, dan MK (19) asal Kecamatan Wanasaba.

Keterangan kedua terduga pelaku di kepolisian, video penyimpangan perilaku seksual tersebut secara sadar mereka buat pada 20 September 2024. Keduanya juga mengaku memiliki hubungan ketertarikan selayaknya laki-laki dan perempuan. Mereka bertemu setelah berkenalan melalui aplikasi Walla. Kini SR dan MK harus mengikhlaskan dirinya setelah diamankan Polres Lombok Timur.

Penyakit LGBT tak hanya muncul di masyarakat biasa dan tempat pariwisata. Namun juga menjalar ke wilayah pendidikan agama. Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi menuturkan, hingga Juli 2024 pihaknya menangani dua aduan kasus LGBT di lingkungan pondok pesantren (Ponpes).

Dua korban LGBT tersebut mengadu agar mendapatkan rehabilitasi setelah menjadi ‘mangsa’ oleh rekan dan kakak tingkatnya. “Jadi korban ini tidak melaporkan tindak pidananya. Hanya permintaan rehabilitasi,” kata Joko kepada NTBSatu, Senin, 15 Juli 2024.

Dua korban LGBT yang mengadu ke LPA tersebut berada di ponpes wilayah Kota Mataram dan Lombok Barat. Pelaku pertama memakan tiga korban. Kedua, satu orang.

Permintaan rehabilitasi itu setelah korban mengetahui bahwa LPA Kota Mataram menerima layanan rehabilitasi psikologi. Saat ini, sambung Joko, mendapatkan rehabilitasi psikologi oleh sikolog di Lembaga Perlindungan Anak.

LGBT dapat atensi kepolisian

Fenomena Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender di NTB kian mengkhawatirkan. Sejumlah pihak pun menyorotinya. Salah satunya datang dari instansi kepolisian. Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Rio Indra Lesmana menegaskan, LGBT jelas tidak sesuai atau melanggar hukum. Juga norma, adat dan, budaya masyarakat.

“Khawatirnya, pelaksanaan itu lebih banyak mudaratnya dari pada manfaatnya. Jadi (LGBT) kita atensi,” kata Rio kepada NTBSatu.

Kabid Humas Polda menyebut, siapapun bisa menjadi pelaku atau korban LGBT. Temasuk di instansinya. Karenanya, Rio menegaskan jika ada personel yang terbukti terlibat dalam kelainan seksual, maka terancam terkena pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH. Hal itu sesuai Undang-undang Perpol tahun 2022.

“Bahwa kalau terjadi penyimpangan seksual bisa PTDH,” tegasnya.

Tanggapan praktisi psikologi soal LGBT

LGBT jelas merupakan gangguan jiwa. Penyakit ini bisa menjalar ke siapapun dan di manapun. Praktisi Psikologi Klinis, Pujiarohman menjelaskan, istilah homoseksual dalam  psikologi adalah kondisi di mana seseorang tertarik kepada sesama jenis. Dalam konteks perilaku seksual, artinya sudah ada relasi fisik dan emosi yang intensif.

“Dalam konteks diagnosis di Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) 3, homoseksual  di Indonesia merupakan konteks diagnosis dalam bentuk gangguan,” terang Puji kepada NTBSatu.

Jika melihat penyebabnya dari konteks psikoanalisis, homoseksual terjadi karena ada tahapan-tahapan yang tidak berkembang dengan baik dalam tahapan psikoseksual kehidupannya. Khususnya di tahap oral, anal, dan phalic.

Secara umum, ini terkait dengan kedekatan fisik dan emosi dengan figur ayah dan ibu, rumah semasa kecilnya. Pendampingan orang terdekat lebih-lebih orang tua mempengaruhinya mereka yang memiliki gejala kelainan seksual. Jika tidak mendapat perhatian, kondisi ini nantinya berkembang menjadi kebutuhan akan kelekatan dengan figur laki-laki atau perempuan (sesama jenis) pada rentang usia selanjutnya.

“Pada awalnya seseorang memiliki orientasi seksual sesama jenis tapi belum tentu menjadi perilaku seksual. Tahapan ini naik menjadi perilaku seksual ketika mendapatkan lingkungan yang mengakomodir kebutuhan orientasi tersebut,” ungkapnya.

Karena itu, sambung Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Mataram ini, faktor lingkungan mempengaruhi berkembangnya homoseksual di kalangan masyarakat. Jika seseorang memang memiliki orientasi seksual sesama jenis, namun ingin kembali normal maka ia perlu menjaga lingkungannya. Salah satunya, menghindari pihak yang terpapar penyakit LGBT.

“Bantuan profesional kesehatan mental (juga) akan sangat membantu pasien tersebut untuk keluar dari situasi yang dimiliki sehingga menjadi normal,” ucapnya.

LGBT dan pariwisata NTB

NTB saat ini menjadi primadona daerah lain dan berbagai negara. Selain pemandangan dan pariwisatanya, Provinsi dengan delapan kabupaten ini juga tempat terlaksananya ajang internasional MotoGP, yakni di Lombok Tengah. Artinya, akan banyak pengunjung yang datang. Dan tidak menutupi kemungkinan kaum LGBT mendatangi NTB.

Bisa saja, kedatangan dan perilaku LGBT menjadi contoh bagi masyarakat lokal. Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata NTB, Chandra Aprinova menyebut, setiap kawasan wisata mesti mengedepankan aspek budaya. Tidak berbenturan apalagi melanggar hukum maupun adat.

Seperti halnya di Mandalika. Salah satu destinasi di Lombok Tengah tersebut merupakan kawasan strategis wisata NTB. Ia mendorong semua pihak, baik masyarakat maupun pengunjung internasional sama-sama berpartisipasi menjaga kondusifitas dan kenyamanan.

Dinas Pariwisata telah berkoordinasi dengan pihak kepolisian. Termasuk untuk melakukan patroli kegiatan dan aktivitas LGBT. “Segala sesuatu yang melanggar hukum, akan mendapat penindakan kepolisian,” ujarnya kepada NTBSatu.

Tak hanya itu, Chandra menyebut pihaknya telah menjalin koordinasi dengan Majelis Adat Sasak untuk memastikan bahwa LGBT tak mengganggu kenyamanan di kawasan wisata. Karena dia mengkhawatirkan jika fenomena ini terus berlanjut, maka akan berujung pada keruhnya keamanan masyarakat.

“Kalau memang melanggar adat hukum kita akan tertibkan. Jangan sampai masyarakat turun tangan menertibkan mereka. Tidak elok,” tegasnya mengingatkan.

Chandra tak ingin pihak tertentu termasuk penyelenggara Gender Bender Party secara sembrono mengadakan kegiatan yang bisa merusak norma masyarakat. Ia menyarankan panitia mengajukan izin terlebih dahulu. Bisa ke pihak desa atau kepolisian.

LGBT penyumbang HIV terbanyak

Tak hanya menjadi penyakit sosial, LGBT juga berdampak buruk bagi kesehatan fisik. Dinas Kesehatan (Dikes) NTB mencatat, jumlah kasus HIV di NTB mengalami kenaikan sejak empat tahun terakhir. Sejak 2020 hingga 2023. 

Pada tahun 2020, jumlah kasus HIV di NTB mencapai 125 orang. Rinciannya, 81 orang merupakan laki-laki dan 44 lainnya perempuan. Jumlah tersebut mengalami kenaikan pada tahun 2021, yakni mencapai 136 kasus. 90 orangnya adalah laki-laki dan 46 merupakan perempuan.

Kemudian tahun 2022, kasus HIV mencapai 252 kasus. Terbagi dari laki-laki sebanyak 179 orang dan perempuan 73 orang. Begitu juga tahun 2023, Dikes mencatat kasus mencapai 393. Antara lain, laki-laki terdapat 289 kasus dan perempuan 104 kasus.

Kepala Dikes NTB, Lalu Hamzi Fikri menyampaikan, yang mendominasi adalah laki-laki berumur 25-29 tahun. Secara keseluruhan, kasus HIV di NTB kebanyakan berasal dari kalangan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Kalangan ini memang memiliki risiko tinggi.

“Kebanyakan kasus HIV itu dari hubungan LSL (Laki-laki seks dengan laki-laki),” ujar kepada NTBSatu.

Selain LSL, kasus HIV juga rentan terjadi pada Wanita Pekerja Seks (WPS), waria, dan sejenisnya. Ada juga dari pengguna napza suntik, serta pasangan serodiskordan.  “Kalangan tersebut memiliki risiko tinggi terhadap penularan HIV,” ungkapnya.

Upaya mengentaskan LGBT di NTB

Sejumlah pihak berusaha berupaya mengentaskan LGBT di NTB. Seperti yang Dinas Kesehatan lakukan. Mereka gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan melakukan pemeriksaan kepada kelompok rentan. Hal ini sebagai upaya penanggulangan dan pencegahan penularan kasus HIV.

“Berkolaborasi dengan Yayasan Inisiatif Sehat (Inset) yang berkiprah memberikan pelayanan dan dukungan bagi penderita HIV,” jelas bHamzi Fikri.

Bagi warga yang sudah terlanjur melakukan penyimpangan seks berisiko, ia menyarankan segera melakukan pemeriksaan kesehatan. Jika hasilnya positif, warga diminta melakukan konseling, memerika secara rutin, berobat.

Selain itu, Dinas Kesehatan juga melakukan pendampingan. “Saran kami agar tidak melakukan lagi perilaku seksual berisiko ke orang lain supaya tidak menularkan ke yang lainnya,” ujarnya.

Sementara agar fenomena kasus LGBT tak kembali terjadi lingkungan pondok pesantren, Joko Jumadi menyarankan Kementerian Agama (Kemenag) NTB melakukan upaya sistemik. Tidak bisa selesai hanya dalam internal pondok pesantren. Karena kasus ini berbeda dengan pelecehan seksual, pemerkosaan maupun kekerasan fisik.

“Tidak cukup hanya mengeluarkan pelaku, yang harus dilakukan yaitu tracing (menemukan) korban dan pelaku,” tegasnya.

Bahkan, dengan menangkap pelaku pun tidak akan memutus mata rantai persoalan LGBT. Karena pelajar atau siswa yang menjadi korban LGBT harus mendapat pengobatan dan pendampingan rehabilitasi.

Selama menerima kasus LGBT, pihak lembaga pendidikan termasuk ponpes relatif tidak berani melakukan tracing hingga merehabilitasi baik pelaku dan korban. Karenanya, dia berharap adanya satugan tugas atau Satgas bisa mencari tahu siapa saja yang menjadi korban. Sehingga para korban segera mendapatkan bantuan rehabilitasi.

Sejak tahun 2023 hingga 2024, pihak LPA sudah  menerima enam aduan kasus LGBT. Dari keenamnya, tiga di antaranya kasus gay. Sisanya terkena kasus lesbian.

Rinciannya, tahun 2023, laporan ada di pondok pesantren wilayah Lombok Barat sebanyak tiga kasus dan wilayah Mataram satu kasus. “Uniknya satu kasus di Lombok Barat tahun 2023 lalu, pelaku melakukan aksinya di dua lokasi,” tutup Ketua Satgas PPKS Unram ini. (*)

Editor & Korlip: Haris Al Kindi

Tim Liputan:

  • Sita Saraswati
  • Zulhaq Armansyah
  • Muhammad Yamin
  • Muhammad Khairurrizki

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button