Opini

Peluang Idiosinkrasi Pilkada 2024

Oleh: Mujaddid Muhas, M.A.

Sejenak penulis artikel ini mengajak pembaca, mengingat pameo lawas yang populer pada masanya, bahkan hingga kini. Kurang lebih narasinya: “pagi tempe sore kedelai”. Pameo ini ingin penulis jadikan padu padanan terhadap dinamika berdemokrasi kita, seolah menuju mengarah ke sana. Perubahan dukung mendukung, usung mengusung yang fluktuatif dan dinamis, terjadi pada pilkada 2024. Begitulah tarik menarik politik mengitarinya. Setelah usainya perhelatan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres).

Hasil pilpres 2024 telah menisbi unggul kepemimpinan nasional pada diri Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pemilu yang sarat dengan dinamika turbulensi serta hiruk-pikuk elektoral politik. Semua energi dan konsentrasi tak terlepas dari dominasi pilpres yang pada akhirnya selesai. Pilpres 2024 merupakan pilpres yang pada saat berlangsungnya, angka generasi milenial dan generasi Z paling tinggi dari genre lainnya. Ceruk pemilih yang cukup mendapatkan fokus atensi dari nyaris semua paslon. Semacam terobosan juvenil demokratik: muda berjaya dan berpolitik. Kaum muda dari semula sebagai obyek ke subyek politik.

Dalam pada itu, dari kehirukpikukan itu terdapat pula idiosinkrasi tuah demokrasi yang terjadi sebagai ornamen proses elektoral di Indonesia yang dari waktu ke waktu diharapkan kian matang, kompatibel dengan kehendak zaman dan lebih baik. Pertama, pemenang pada pilpres, parpolnya kalah. Presiden terpilih Prabowo Subianto melenggang dengan meyakinkan. Menang telak satu putaran: melampaui 50 persen suara pilihan rakyat sekaligus melampaui kemenangan lebih dari 20 provinsi. Kedua, kalah pilpres tetapi parpolnya pemenang pileg 2024. Fenomena PDI Perjuangan. Parpol tersebut telah mengulangi kemenangannya pada pileg 2019, kendati kandas pada pilpres 2024.

Ketiga, kemeriahan kampanye di lapangan dan dunia maya berkelindan dengan kuantitas suara di TPS. Partisipasi pemilih pada pileg 2024 sebesar 81,42 persen, terpaut turun tipis dari pileg 2019 sebesar 81.69 persen (Sumber: KPU). Adapun gaung atau echo chamber pada pileg dan pilpres 2024 dipastikan lebih gemuruh dari pileg dan pilpres 2019. Dengan segala eskalasi serta konstelasinya. Terpenting, ruang gaung tersebut tidak disesaki hoaks yang blur juntrungannya. Pada pemilu 2024 (pileg dan pilpres) terdapat 203 konten hoaks. Sedangkan rentang Agustus 2018 – Desember 2023, total terdapat 12.547 konten hoaks. (Sumber: Kominfo).

Keempat, penyampaian programatik riil yang dibutuhkan masyarakat lebih berdampak dari penyampaian visi misi dan gagasan. Setidaknya tergambar pada pilpres 2024. Program Makan Gratis bagi usia sekolah dan Peningkatan Layanan Kesehatan di seluruh provinsi, memberikan efek elektoral yang ampuh memikat pemilih. Isu kampanye makan siang gratis bahkan mencapai trending kampanye yang menyodok popularitas kandidat hingga memenangkan pilpres. Belakangan berganti menjadi program makanan bergizi. Pemerintah pun menggodok serius klausula program terapan tersebut, untuk masuk di APBN 2025 dengan postur anggaran ideal terhadap program lainnya.

Kini, teresidu pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari agenda besar bangsa secara serentak: pileg dan pilpres. Keserentakan pilkada ini kali kedua dilakukan, setelah pada tahun 2020. Sebanyak 545 daerah menyelenggarakan pada 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Pilkada serentak terbesar dari yang pernah ada. Analoginya, apabila rerata ada tiga kandidat saja pada tiap daerah, maka ada 1.635 tim paslon yang mengurus dukungan resmi kepada masing-masing DPP parpol di ibukota. Terbayang betapa sibuk padatnya parpol sebelum pendaftaran, masa kampanye dan hari pemilihan.

Adanya keserentakan pilkada, sedikit banyak memengaruhi stabilitas politik di daerah-daerah, tetapi jangka panjang terjadi keteraturan periodik kepemimpinan kabupaten/kota dan provinsi. Stabilitas politik tercipta ditunjang dari minimnya pelanggaran sekaligus komplain yang diajukan peserta pilkada. Kendati komplain sepanjang dilakukan konstitusional sesuai regulasi diperbolehkan dan mesti ditindaklanjuti. Lantaran lancar dan suksesnya penyelenggaraan, memberikan andil bagi tingkat indeks demokrasi di Indonesia.

Apabila kembali memutar realita pendulum pileg dan pilpres, relatif masih banyak potensi pelanggaran terhadap proses dan hasil penyelenggaraan. Setidaknya enam langkah antisipatif yang kiranya bisa dilakukan peserta pileg, sebagai upaya formal-yuridis yaitu: pertama, menyusun pelaporan secara holistik dan komprehensif disertai bukti-bukti empirik lapangan serta mengonfirmasi kepada lembaga-lembaga kepemiluan sehingga bisa diatensi. Sepanjang yang disampaikan mengandung realita peristiwa autentik. Kedua, melaporkan secara resmi ke Bawaslu setempat terkait dugaan tindakan yang mengarah pada pelanggaran terhadap regulasi kepemiluan. Ketiga, mengikuti aktif secara cermat dan saksama pleno pada berbagai jenjang, sesuai tingkatan serta sesuai relevansi kepentingan.

Keempat, menyampaikan surat kepada Komisi Pemilihan Umum, terkait adanya kejanggalan-kejanggalan untuk ditindaklanjuti penyelenggara pemilu. Kelima, melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu), terkait dugaan pidana kepemiluan serta ke MK, terkait perselisihan hasil Pemilu. Keenam, mengadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, terkait pelanggaran etik terhadap penyelenggara pemilu, apabila dirasa sungguh urgen dan sungguh relevan. 

Lepas dari itu semua, tampaknya politik di Indonesia terutama menggejala di daerah, dewasa ini dipengaruhi “politik para tuan”. Politik efek elit yang memengaruhi keadaan dan bergantung pada pendulum para tuan tanah (juragan cuan), tuan guru (kaum spritualis), tuan paduka (filosofi monarki). Pengendalinya tuan para tuan (oligarki). Pengaruh-pengaruh dari analisa tersebut saya letakkan pada dimensi tengah (netral). “Politik Para Tuan” sebagai peluang idiosinkrasi yang bisa positif atau pergerakannya yang berlawanan etis-prosedural bisa berdampak negatif. Tergantung pada realita lokus setempat, dimana kuasa itu dipengaruhinya. Kita pasti tidak ingin ada peristiwa lagi seperti Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra yang menjabat hanya berkisar 15 menit (bupati tercepat), kemudian dinonaktifkan sementara setelah pelantikan, lantaran OTT. Dicokok KPK. “Sunjaya merupakan terdakwa kasus dugaan suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar 66 miliar.” (Kompas.com, 18 Agustus 2018).

Suatu antiklimaks yang tidak menarik, tetapi pernah terjadi pada satu periodik. Kita ingin pemimpin politik yang melegakan, pemimpin politik yang mengemban pemerintahan untuk semua kalangan. Secara konstitusional, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pilkada setelah pileg dan pilpres menjadi penentu arah demokrasi di Indonesia. Ketika pendulum politik berayun, seiring seritme menuju Indonesia Emas 2045. Pilkada serentak 2024, pilkada yang tak sontak.

——-

* Penulis Buku Nalar Pemilu dan Demokrasi (2011)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button