Mataram (NTBSatu) – Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, Amry Nuryadin, dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap pemberian izin pengelolaan tambang oleh Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Keagamaan.
Sebagai organisasi yang fokus menjaga dan menyebarluaskan ajaran agama yang membawa keselamatan bagi semesta.
“Yang perlu dilakukan oleh Ormas Keagamaan adalah menawarkan solusi terhadap persoalan yang dihadapi umat,” tegas Amri kepada NTBSatu, Selasa 11 Juni 2024 .
Data Walhi, Provinsi NTB terdiri dari 403 pulau-pulau kecil baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Luas kawasan hutan mencapai 1.071.722 juta hektare.
Kawasan berhutan, baik hutan daratan maupun mangrove adalah benteng yang menjaga kelangsungan ekologis pulau pulau kecil. Namun situasi terbalik. Benteng itu, kata Amri, terus mengalami kerusakan, baik oleh tambang maupun pembangunan infrastruktur untuk mendukung pariwisata.
Walhi NTB mencatat laju kerusakan hutan telah mencapai 60 persen dari luas kawasan hutan yang ada atau sekitar 650,000 Hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan di NTB.
Secara umum jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 Ha, belum lagi maraknya pertambangan ilegal di Pulau Lombok dan Sumbawa.
Adapun sektor Pariwisata di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 Ha, rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Kabupaten Lombok Utara seluas 7.030 Hektar.
Proyek proyek ini menurut Amri, juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir Lombok Utara dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan hutan Rinjani seluas 500 Ha.
Hasil investigasi Walhi NTB menemukan beberapa pembangunan yang berdampak penting bagi lingkungan hidup sehingga terjadinya kerusakan ekologi dan kehancuran ekosistem.
Antara lain Pertambangan PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 Ha, pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Hu’u Dompu dengan luas 19.260 hektar yang merupakan wilayah Kawasan hutan di Hu’u Dompu (masuk dalam KPHL-Toffo Pajo), pertambangan PT AMG di pesisir Dedalpak Lombok Timur seluas 1.348 Ha.
Operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar adalah ancaman nyata kelangsungan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil di NTB.
“Seharusnya ormas keagamaan menitikberatkan perhatiannya pada ancaman hidup umat, bukan menjadi bagian dari praktek pengelolaan sumber daya alam yang merusak dan mengancam kehidupan, seperti tambang,” tegas Amri.
Bukan Tugas Utama Ormas Keagamaan
Walhi NTB menegaskan bahwa Ormas Keagamaan seharusnya memfokuskan peran mereka menjaga hubungan dan harmoni dalam masyarakat serta melindungi harta bersama seperti hutan, kawasan esensial, dan sumber daya laut.
Pertambangan, dengan segala dampak negatifnya terhadap lingkungan dan ekosistem, jelas tidak sejalan dengan tugas dan tanggung jawab yang diamanahkan semua agama sebagai pembawa pesan kebaikan untuk umat manusia.
Pandangan ini berdasarkan pada kenyataan yang dijelaskan di atas, bahwa pertambangan telah menyebabkan kerusakan yang signifikan pada lingkungan dan ekosistem.
“Misalnya, aktivitas pertambangan dapat mengakibatkan deforestasi, polusi air, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kerusakan seperti ini bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh Ormas Keagamaan, yang menekankan pentingnya menjaga dan merawat ciptaan Tuhan, termasuk alam dan lingkungan,” papar Amri.
Oleh karena itu, ia berpandangan, memberikan izin pengelolaan tambang kepada Ormas Keagamaan dianggap tidak tepat.
Tindakan ini keluar dari konteks peran yang seharusnya diemban oleh Ormas Keagamaan dalam masyarakat.
Sebaliknya, Amry menekankan perlunya mempertahankan fokus Ormas Keagamaan pada pelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam, sesuai dengan nilai-nilai agama yang mereka anut.
Walhi NTB juga menggarisbawahi bahwa memberikan tanggung jawab pengelolaan tambang kepada Ormas Keagamaan.
“Sebab bisa mengarah pada konflik kepentingan dan mengaburkan garis tanggung jawab mereka yang sebenarnya,” pungkasnya. (HAK)