Mataram (NTBSatu) – Oknum Pimpinan pondok pesantren (Ponpes) di wilayah Sekotong, Lombok Barat inisial MA akhirnya ditangkap setelah melarikan diri selama satu bulan.
Informasi diterima NTBSatu, pimpinan Ponpes cabul itu diamankan di salah satu warung makan wilayah Rembiga, Kecamatan Selaparang, Kota Mataram, pada Kamis, 6 Juni 2024 malam.
Tertangkapnya MA diketahui oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi. “Betul, yang bersangkutan sudah diamankan,” kata Joko yang juga pendamping hukum korban kepada NTBSatu, Jumat, 7 Juni 2024.
Kini MA telah diserahkan ke kepolisian. Pihak Polres Lombok Barat membawa dan mengamankan MA untuk proses lebih lanjut.
“Saya mengapresiasi kepolisian yang bergerak cepat mengamankan pelaku setalah satu bulan melarikan diri,” jelas Direktur Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Mataram (Unram) ini. Joko dalam kasus ini mendampingi para santri yang jadi korban.
MA melarikan diri setelah insiden perusakan ponpes Kamis, 9 Mei 2024. Perusakan dilakukan warga usai mengetahui oknum pimpinan Ponpes mencabuli sejumlah santrinya.
Sementara Kapolres Lombok Barat AKBP, Bagus Nyoman Gede Junaedi yang dikonfirmasi, tidak menepis, tetapi juga tidak membenarkan.
“Nanti saya hubungi lagi,” katanya.
Sebelumnya, Kasat Reskrim Polres Lombok Barat, Iptu Abisatya Darma Wiryatmaja menyebut, Santri yang menjadi korban kegiatan bejat MA sebanyak empat orang.
“Korbannya empat orang. Satu disetubuhi, tiga dicabuli,” katanya.
Setelah mendapat laporan, polisi melakukan serangkaian pemeriksaan saksi dan visum. Hasilnya pun telah dikantongi penyidik kepolisian.
“Hasil visum, sudah ada, sudah kami dapatkan,” akunya.
Sebagian besar korban berusia di bawah umur. Kejadian dialami korban pada tahun 2023.
Modusnya, dia menyuruh para korban membuatkan kopi, mereka diminta mengantar kopi ke ruangan pribadinya atau rumah pelaku. Saat rumah dalam keadaan sepi dan istrinya tidak ada, saat itu juga MA melancarkan aksi bejatnya.
“Usia korban belasan tahun,” jelas Joko.
Tak sampai di situ. Di antara korban ada yang diancam akan dikeluarkan dari pondok pesantren jika menceritakan dirinya telah dilecehkan. Selain itu, santri juga diiming-imingi mendapatkan mendapatkan ilmu.
Tindakan bejat pelaku terungkap setelah salah satu korban tidak mau kembali ke pondok. Dia menceritakan bagaimana perbuatan MA kepada orang tuanya.
Setelah mendengar itu, keluarga korban tersebut berinisiatif mengumpulkan orang tua lain santriwati yang juga menjadi sasaran nafsu pelaku. Setelah itu mereka bersama-sama menemui MA didampingi salah satu tokoh masyarakat setempat.
Namun bukannya mengaku, pelaku justru mengelak dan mengatakan bahwa yang melakukan pelecehan adalah makhluk gaib atau jin.
“Kalau dia ngaku, minta maaf, kasus ini tidak berlanjut,” ungkapnya.
Selang beberapa waktu, salah satu keluarga korban bertemu pihak pelaku. Namun, istri pelaku mencetus dan mengelak perbuatan suaminya.
“Tapi dijawab ketus oleh istri pelaku, ‘emang anak kamu hamil. Ngapain ribut-ribut kalau ndak hamil’,” kata Joko mengikuti celetukan istri MA.
Itulah yang menyulut emosi warga hingga berujung pada perusakan gedung pondok pesantren. (KHN)