Opini

Tata Krama Politik Ala Megawati

Oleh : Zakiy M. Mohamad
Fungsionaris MW KAHMI NTB

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, menyatakan, koalisi partainya dengan PPP, Hanura, dan Perindo akan tetap berjalan pasca pilpres 2024.

Hal itu dikatakan Megawati saat pidato pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke V partai berlambang banteng moncong putih itu di Ancol Jakarta Utara 24 Mei 2024.

Bahkan Megawati mengungkapkan, setelah pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres) sudah dinyatakan selesai, Ia bertanya kepada pimpinan partai politik dimaksud, apakah ketiga pimpinan parpol itu masih ingin bersama dirinya? Menurut Megawati, ketiga parpol masih ingin bersamanya. Mendengar jawaban itu Megawati mengaku senang dan berbesar hati. Ditambahkannya, hal itu (kesediaan ketiga parpol untuk bersama dirinya) merupakan tatakrama (politik) yang baik.

Apa maknanya?

Begini. Agenda politik kolosal setelah Pilpres dan Pileg kan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia. Itu artinya, dalam Pilkada November 2024 yang akan datang, bukan hanya tentang popularitas dan elektabilitas bakal calon, tetapi juga tentang strategi koalisi dan kompetisi gabungan partai politik dalam menghadapi Pilkada. Karena merebut kemenangan politik (pilkada) tidak bisa dilakukan sendiri tanpa bergabung/berkoalisi antar parpol.

Gambaran tentang koalisi atau gabungan parpol bisa kita ingat saat Pilpres 2024 lalu. Gambaran tentang hadirnya instrumen politik pemenangan Ganjar Pranowo – Mahfud MD yang diusung oleh gabungan parpol yang kita kenal dengan Tim Pemenangan Nasional (TPN) yang terdiri dari PDIP, Perindo, dan PPP. Begitupun Koalisi Indonesia Baru (KIB) yang mengusung Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar terdiri dari Partai Nasdem, PKS dan PKB. Dan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mendukung Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka ada Partai Golkar, Gerindra Demokrat, PAN, PBB, dan PSI.

Keberlanjutan tata krama politik sepertinya juga akan terjadi di DKI Jakarta. Daerah khusus ini memang bukan satu satunya daerah yang akan menggelar Pilkada tahun ini. Namun, Jakarta -meskipun rencana pindahnya Ibukota Indonesia telah resmi- masih menarik perhatian secara nasional. Bahkan, tidak sedikit yang berani memastikan, konstelasi dan konfigurasi politik di DKI Jakarta akan menjadi sentrum pergerakan politik di daerah lain. Tidak terkecuali turut mempengaruhi cuaca dan iklim politik di NTB.

Terlebih di NTB hampir tidak ada satu pun parpol yang memenuhi syarat untuk bisa mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanpa berkoalisi atau membentuk gabungan parpol. Apakah “tata krama politik” ala Megawati juga akan terjadi di Pilkada NTB?

Baru-baru ini, ada berita di sebuah media online yang menyebut ‘Anies Baswedan, Ahmad Sahroni dan Zulkieflimansyah Jadi Kompromi Memperkukuh Koalisi Indonesia Baru di Pilkada 2024’. Berita lainnya melansir ‘Kirim Ahok di Pilgub Sumut, Koalisi PDIP, Perindo dan PPP, Juga Solid di Pilkada Sulsel dan NTB’.

Jika membaca Anies Baswedan yang akan diusung menjadi calon Gubernur DKI Jakarta oleh PKB, maka melirik arah politik rekan se-koalisinya saat Pilpres 2024 lalu, yaitu PKS dan Nasdem, menjadi menarik. Kabar sayup-sayup berhembus kedua parpol ini (PKS dan Nasdem) juga akan mengambil arah yang sama dalam Pilkada DKI Jakarta 2024 dengan PKB. Sama-sama memiliki kecenderungan politik untuk mengusung Anies Baswedan.

Berita Terkini:

Beberapa Catatan
Katakanlah, asumsi yang kita gunakan, bahwa ketiga partai tersebut final mengusung Anies Baswedan, maka bisa dipastikan ketiga partai tersebut tidak memiliki bakal calon gubernur DKI Jakarta. Meskipun secara eksplisit Nasdem menyodorkan nama Bendahara DPP Nasdem, Ahmad Syahroni. Kemudian PKS menyebut nama Mardani Ali Sera dan Khotibul Umam. Karena PKB, melalui Ketua Desk Pilkada DPP PKB, secara tegas sudah menyatakan dukungannya kepada Anies Baswedan sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Namun dengan alasan hasil survei dari sejumlah lembaga yang menempatkan nama Anies Baswedan selalu tertinggi hasilnya, besar kemungkinan sulit bagi ketiga parpol itu untuk memaksakan kadernya sebagai calon gubernur DKI Jakarta.

Seandainya Anies kemudian berpasangan dengan Ahmad Syahroni dari Nasdem, itu berarti di Pilkada Pilkada yang lain PKB dan PKS harus melakukan kompromi dengan Nasdem.

Misalnya untuk kasus NTB, bisa dipastikan PKS akan mendukung Zulkieflimansyah (Gubernur NTB 2018-2024). Jika Zulkieflimansyah jadi berpasangan dengan Lalu Suhaili, apakah PKB akan memberikan KTA PKB kepada mantan Bupati Lombok Tengah itu? Dan Nasdem akan memberikan dukungannya kepada pasangan Zulkieflimansyah – Lalu Suhaili. Apalagi kita masih ingat saat kakak Suhaili yakni TGH Fadli Fadil Tohir menyatakan dukungannya kepada Capres Nasdem Anies Baswedan sebagai Presiden RI.

Apakah koalisi TPN pendukung Ganjar Pranowo – Mahfud MD juga akan menjaga tata krama politik? Jika mendasarkan diri pada pidato Megawati, maka hampir bisa dipastikan koalisi partai politik ini (PDIP, Perindo dan PPP) akan mendukung pasangan Rohmi Djalillah (Wakil Gubernur NTB 2018/2024) – Musyafirin (Bupati Sumbawa Barat) dalam menghadapi Pilkada 2024.

Bagaimana dengan KIM? Kita masih menunggu koalisi Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat dan PSI. Sebab nama-nama yang telah masuk dalam radar partai politik dimaksud hingga hari ini belum tegas memilih siapa pendampingnya dalam Pilkada di NTB. Memang nama Lalu Gita Ariadi (Pj. Gubernur NTB) kerap disebut akan berpasangan dengan Sukiman Azmy (mantan Bupati Lombok Timur). Kemudian ada nama Lalu Moh. Iqbal yang kerap disebut-sebut siap menjadi Calon Gubernur NTB namun hingga hari ini, siapa yang bakal mendampinginya masih tanda tanya di ruang publik.

Apakah -meminjam istilah Megawati- “tata krama politik” juga akan menjadi pertimbangan bagi KIM, KIB, dan TPN dalam menghadapi Pilkada 2024 di NTB? Kita ikuti episode selanjutnya. []

Wallahu’alam Bishawab

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button