Daerah NTB

Walhi NTB Peringati Hari Bumi, Ungkap 136.642 UIP Berkontribusi Merusak Hutan     

Mataram (NTBSatu) – Walhi NTB menggelar diskusi dalam rangka memperingati hari bumi 2024.

Kegiatan yang digelar di Basecamp Lombok, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram itu untuk merefleksi lingkungan, khususnya di wilayah NTB.

Direktur Walhi, Amry Nuryadin menyebut, kegiatan ini sebagai bentuk ajakan kepada masyarakat agar terlibat dalam solusi penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi NTB saat ini memiliki pekerjaan rumah (PR) terkait sampah dan lingkungan.

“Setiap tahunnya, jutaan ton sampah plastik mencemari lautan kita. Ini  hanya mengancam kehidupan laut, tetapi juga menyebabkan berbagai masalah lingkungan, termasuk pencemaran air, kerusakan ekosistem, dan bahkan masuknya plastik ke dalam rantai makanan manusia,” jelasnya.

Untuk di NTB, persoalan yang disorot Walhi tidak hanya berkaitan dengan plastik. Tapi persoalan lingkungan hidup secara komprehensif.

Amry menyebut, hasil investigasi mencatat, kerusakan hutan di NTB mencapai 60 persen atau sekitar 650,000 hektare dari 1,1 juta hektare kawasan hutan.

Kerusakan ekosistem dan ekologi ini disebabkan beberapa faktor. Salah satunya adalah aktivitas pertambangan, seperti PT AMNT yang berada di kawasan hutan (IPPKH) seluas 7000 Ha.

Kemudian pertambangan PT STM memegang izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu seluas 19.260 hektar.

Di Lombok Timur ada aktivitas perusahaan PT AMG. Penambangan pasir besi di pesisir Dedalpak itu seluas 1.348 Ha.

Beirta Terkini:

“Secara umum, jumlah IUP di NTB sebanyak 355 dengan total luasan sebesar 136.642 Ha, belum lagi maraknya pertambangan ilegal di Pulau Lombok dan Sumbawa,” jelas Amry.

Sementara pada sektor pariwisata, di kawasan pesisir salah satunya di KEK Mandalika seluas 1.250 Ha. Kemudian rencana pembangunan Global Hub Bandar Kayangan di Lombok Utara seluas 7.030 Hektar, juga akan mengancam terjadinya kerusakan ekologi pesisir.

“Dan rencana pembangunan kereta gantung di kawasan Hutan Rinjani seluas 500 Ha,” ungkapnya.

Belum lagi masalah pemenuhan hak setiap masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat. Hal ini, menurut Amry, menjadi titik berat pembangunan dari segala sektor.

Namun, niat pencanangan net zero emission tahun 2050 oleh Pemprov NTB berbanding terbalik dengan maraknya penggunaan batu bara dalam pemenuhan pasokan listrik di NTB.

Karena secara faktual, NTB menggunakan 7 PLTU batu bara sebagai pemenuhan pasokan listrik.

Catatan Walhi, satu PLTU saja dengan kapasitas 3×25 MW di Desa Taman Ayu Lombok Barat mengoperasikan tiga unit pembangkit dengan kebutuhan batubara sebanyak 500 ton per hari per unit.

“Tentunya akan berdampak serius terhadap kesehatan dan lingkungan apabila 7 PLTU berbahan baku batu bara tidak di pensiunkan di NTB,” bebernya.

Ancaman kerusakan lingkungan, baik itu kawasan hutan dan pesisir, menjadi ancaman bagi masyarakat NTB. Tentu karena operasi tambang dan alih fungsi lahan dalam skala besar.

Selain itu, persoalan yang disorot Walhi NTB kaitan dengan tata kelola sampah. Hal ini disebutnya sebagai polemik utama provinsi dua pulau ini.

TPA Kebon Kongok di Desa Suka Makmur, Lombok Barat misalnya. Pasalnya hingga saat ini sudah melebihi kapasitas, sehingga mengganggu kenyamanan warga.

Diketahui, TPA Kebon Kongok beroperasi sejak 1993 dengan luas sekitar 13 hektar. Bebannya ideal 991.800 meter kubik.

Tepat tahun 2021, jumlah sampah yang tertampung telah mencapai batas ideal yang telah ditentukan. Meski kelebihan kapasitas sejak 2021, namun TPA ini masih tetap menjadi lokasi pembuangan sampah Kota Mataram, dan Lombok Barat hingga sekarang, yang per harinya mencapai sekitar 300 sampai 400 ton sampah.

“Belum adanya penggantian TPA yang baru, kini sejumlah sampah meluber ke kali, dan rencana untuk memperluas wilayah TPA ke Desa Taman Ayu mendapatkan penolakan dari warga,” tegas Amry.

Peningkatan jumlah sampah yang terjadi tidak hanya meninggalkan polemik di TPA, tapi berdampak serius pada rusaknya ekosistem hingga masuknya plastik pada rantai makanan manusia. Ini ditunjukan dengan adanya hasil investigas yang menemukan fakta, bahwa sungai di Kota Mataram tercemar micro plastik.

“Investigasi dilakukan dengan mengambil sampel air pada 5 lokasi di Kali Ning, Kokoq Jangkuk dan Sungai Meninting dan rata-rata  sungai tersebut mengandung 290 Partikel Mikroplastik dalam 100 liter air,” tutupnya. (KHN)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

IKLAN
Back to top button