“Coba saja lihat pemanis yang tinggi dipergunakan, pewarna makanan yang begitu menggugah selera dipergunakan untuk menarik konsumen. Tetapi kandungan nutrisinya belum tentu sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh tubuh,” jelas Sekretaris Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) NTB ini.
Sehingga, kalau misalkan pemerintah hadir melakukan pengawasan dan pembinaan, masyarakat atau UMKM yang menjual takjil juga akan berpikir dengan caranya sendiri untuk menyesuaikan sesuai dengan standar kesehatan.
Apalagi kalau dilihat, para pedagang yang menjual takjilnya di pinggir jalan itu secara personal sudah memiliki izin atau tidak untuk berjualan.
“Belum lagi kalau misalnya tempat jualannya tidak layak, takjil yang dijual tidak tertutup, penjualnya tidak menggunakan celemek dan sarung tangan saat menyajikan, makan akan berisiko terhadap kesehatan pembeli. Karena bisa saja pedagangnya sedang sakit perut, diare dan sejenisnya ketika melayani,” tambah Jono.
Ia pun menyarakan kepada masyarakat yang ingin membeli takjil di pinggir jalan harus lebih berhati-hati.
Berita Terkini:
- Banyak Jabatan Strategis Kosong, Sekda NTB: Mutasi Sangat Diperlukan
- Potret Buram Dusun Meang: Akses Jalan Buruk di Objek Wisata Terbaik, Warganya Merantau Jadi PMI
- Langkah Akhir Jaksa Jelang Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi LCC
- Pj Gubernur Jawab Kritik Dewan soal Kisruh DAK Dinas Dikbud NTB: Kadisnya Tetap Dievaluasi
“Pemerintah juga harus secara terus-menerus melakukan pengawasan. Jangan hanya saat awal Ramadan saja, baru pengawasan. Tetapi berkesinambungan yang kita harapkan dari pihak berwenang, BPOM dan Dinas Kesehatan,” harap Jono.
“Karena kalau dilakukan pengawasan secara terus-menerus, masyarakat sendiri yang akan menerima manfaatnya. Sementara tugas pemerintah harus memfasilitasi dan hadir di situ,” pungkasnya. (JEF)