“Premi yang dibayarkan oleh nasabah tersebut, oleh perusahaan asuransi mengembalikan sebesar 20 persen dari premi yang sudah dibayarkan oleh nasabah kepada PT Bank NTB Syariah,” terangnya.
Terhadap pengembalian premi asuransi yang dibayarkan oleh nasabah sebesar 20 persen dan tidak tercatat dalam pembukuan Bank NTB Syariah, perlu ditelusuri lebih mendalam oleh pihak-pihak terkait.
“Berapa besar dana fee base yang diterima dan digunakan untuk apa saja, ini harus jelas,” tegasnya.
Di sisi lain, PT Bank NTB Syariah disebut berhasil menggandakan asetnya sejumlah dua kali lipat, sehingga sejajar dengan Bank lainnya.
Namun, sambung Prof. Sudiarto, pertanyaan besar muncul, jika memang berhasil menggandakan jumlah asetnya, lantas apa tujuan dilakukannya Kelompok Usaha Bank (KUB) antara Bank NTB Syariah dengan Bank Jawa Timur (Jatim).
Sebagaimana diketahui, Bank Jatim ini mengakuisi Rp100 miliar saham Bank NTB Syariah dalam rangka pembentukan KUB.
Sebagai konsekuensinya, akuisisi tersebut mengarah pada finalisasi proses pemenuhan modal inti Bank NTB Syariah sebesar Rp3 trilliun, sesuai POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.
Baca juga: Penerimaan Pajak Provinsi NTB Tahun 2023 Tumbuh Positif, 3 Sektor Ini Penyumbang Terbesar
“Pemenuhan modal inti tersebut dilakukan dalam rangka mengharapkan guliran modal sebesar Rp1,7 triliun, agar Bank NTB Syariah tetap bertahan sebagai Bank Syariah sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh POJK Nomor 21/POJK.03/2014,” ungkapnya.
Apabila mengacu pada Pasal 9 Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 1 Tahun 2022, saham Bank NTB Syariah tercatat sekitar Rp1,3 triliun, di luar penyertaan modal melalui KUB dengan Bank Jatim.
Angka ini dikonfirmasi melalui hasil audit OJK pada 31 Mei 2023 yang menyatakan, modal inti Bank NTB Syariah baru mencapai Rp1,4 triliun. Penyertaan modal melalui skema KUB tentu sangat penting bagi Bank NTB Syariah, karena jika tidak, maka Bank NTB Syariah akan turun statusnya menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
“Terpenuhinya modal inti Bank NTB Syari’ah bagi sebagian pihak memang terdengar seperti euforia yang membahagiakan, akan tetapi bukankah merupakan suatu kegagalan bila Bank NTB Syariah tidak mampu memenuhi modal inti minimum dari kegiatan usaha yang digelutinya,” terangnya.
Perihal itu, Pemprov NTB melalui Kepala Biro Ekonomi Setda Provinsi NTB, Wirajaya Kusuma mengatakan, jika disarankan RUPS merupakan hal yang wajar. Namun tentu tetap harus dirapatkan terlebih dulu dengan semua Kepala Daerah selaku pemegang saham.
“Walaupun Pemprov selaku PSP (Pemegang Saham Pengendali). Tapi kami juga tidak ingin mengesampingkan peran pemegang saham yang lain, yakni Pemerintah Kabupaten dan Kota,” ujarnya.
Kemudian, adanya pembiayaan tidak wajar yang diberikan kepada nasabah istimewa, Wirajaya mengaku hal demikian merupakan wewenang OJK.
Karena terkait dengan isu-isu yang berkembang di media sosial, itu hanya opini masyarakat, yang memang nantinya akan diuji dengan hasil pemeriksaan dari pihak yang berwenang, yaitu OJK.
“Kapan kami akan melakukan hal-hal strategis itu berdasarkan hasil temuan dari OJK. Karena harus mengedepankan prinsip kehati-hatian, pasalnya ini Bank, beda dengan yang lain. Makanya kita harus hati-hati memberikan opini,” ungkapnya.
Kendati demikian, ia berharap, keberadaan Bank NTB Syariah tetap berjalan operasionalnya dengan baik. Kemudian harus tetap menjamin trust atau kepercayaan masyarakat.
“Ini Bank milik kita bersama, harus kita jaga dengan baik, kita harus benar-benar menjamin trash masyarakat terhadap Bank NTB Syariah,” tutupnya. (MYM)