Kisah 500 Pekerja Gantungkan Hidup di TPST Kebon Kongok
Mirisnya lagi, Lastri dan beberapa teman pemulung lainnya bekerja tanpa menggunakan pelindung seperti masker atau sarung tangan.
“Mau gimana lagi Mas, ini kan buat anak-anak Sekolah juga, kalau tidak begini mau makan apa kita sehari-hari,” keluhnya.
Di atas lahan 1,2 hektare itu (landfill kedua), dengan panasnya matahari dan bau menyengat yang dihasilkan dari sampah tersebut, puluhan pemulung mengayun tongkatnya untuk memilah sampah yang dijadikan rupiah.
Terlihat, puluhan pemulung yang rata-rata umurnya memasuki 50 tahun ke atas itu dengan semangatnya mengayun tongkatnya dengan sesekali menyeka keringat di dahinya.
Berita Terkini:
- Taati Ketentuan SIPD, BPD Bali Kolaborasi dengan Bank NTB Syariah
- Lagi, Warga Gotong Jenazah Lewat Jalan Rusak Desa Batu Jangkih Lombok Tengah
- Dermaga Ai Bari Siap Dongkrak KEK Samota, Akses Jalan dan Jembatan Segera Dibangun
- Bupati Lotim Irit Bicara soal Sengketa Pemda dengan PT NSL di Dermaga Labuhan Haji
Sementara itu, puluhan pekerja lainnya yang bekerja di dalam TPST, juga merasakan hal yang sama. Salah satunya Ibu Sumarni, yang mengaku beruntung dengan adanya pabrik pengolah sampah tersebut.
Sumarni merupakan pekerja yang memilah sampah plastik di pabrik tersebut. Perempuan asal Kebon Ayu itu dibayar Rp100 perhari.
“Saya kerja untuk biaya sekolah anak saya, dan saya merasa terbantu sekali dengan adanya pabrik ini,” jelasnya.
Terpisah, Kepala UPT TPA Kebon Kongok, Dinas LHK NTB, Radyus Ramli Hindarman mengatakan, jumlah pekerja di TPST Kebun Kongok ini sekitar 500 an lebih, dengan komposisi 118 orang khusus tenaga kerja harian, 19 orang karyawan bulanan yang dari BLUD, 66 orang yang kontrak dinas, dan ditambah sekitar 250 orang pemulung.



