“Seperti tes CPNS sudah menggunakan sistem Computer Assisted Test (CAT). Itu adalah salah satu upaya sistem untuk mengurangi nepotisme, korupsi. Walaupun akhirnya masih ditemukan adanya kasus tindakan korupsi. Tapi itu bagian dari upaya,” sebutnya.
Memaknai posisi sebagai abdi negara
Menurut Maya, selain memperbaiki pola pikir dan perilaku masyarakat, budaya korupsi akan bisa dihilangkan jika para abdi negara memaknai posisinya sebagai figur publik, sebagai preseden masyarakat. Hal itu bisa dimulai dari hal sederhana, seperti menanamkan nilai kedisiplinan dan kejujuran. Memunculkan nilai-nilai yang baik sebagai contoh masyarakat.
“Dimulai dari kedisiplinan, kejujuran. Berangkat dari perubahan perilaku seperti itu. Dan itu harus ditunjukkan oleh pejabat maupun ASN atau yang menjadi figur publik,” ungkap dosen prodi sosiologi Unram itu.
Baca Juga:
- Kadistanbun NTB Dampingi Pj Gubernur Evaluasi Proyek Biogas dan Usaha Tani di Sembalun
- Kadistanbun NTB Dampingi Pj Gubernur Kunjungi STH Sembalun
- Tim Penyuluh Bapeltanbun NTB Kunjungi Kelompok Tani Subur Makmur
- Bapeltanbun Sosialisasi dengan Distan Lombok Barat, Bahas Bimtek CSA
Hal itu, menurut Maya lebih efektif dan berdampak dibanding para pejabat mengimbau larangan korupsi kepada masyarakat. “Kalau mereka yang kasi contoh daripada sekedar ucapan ‘jangan korupsi’ lebih efektif dikasi contoh,” sambungnya.
Perlu keterlibatan pihak lain
Untuk mengubah “tradisi” korupsi di Indonesia khususnya di kalangan pejabat, perlu terlibat dan peran aktif sejumlah pihak, seperti pendidikan. Meski sudah sering terdengar, tenaga pengajar menurut Maya memiliki tanggung jawab besar untuk menanamkan nilai kejujuran kepada anak didiknya.
Diakuinya sebagai seorang tenaga pendidik, Maya lebih senang memiliki murid yang tidak cerdas dibanding tidak jujur. Karena menurutnya yang sejak awal tidak memiliki nilai kejujuran, akan sulit mengubah sifatnya. Meski begitu itu adalah tanggung jawab para pengajar untuk secara perlahan menanamkan nilai tersebut. (KHN)