Daerah NTB

Kritik Soal Tradisi Tenun Masa Kini dalam Pertunjukan Tenun

Mataram (NTB Satu) – Koreografer, Gita Kinanthi Purnama Asri dan sejumlah kawan telah menggelar pertunjukan Tenun pada Selasa, 14 Februari 2023 malam di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya NTB.

Menurut Gita, Tenun merupakan karya tari kontemporer yang mengusung kritik mengenai keadaan tradisi tenun masa kini di Pulau Lombok, yang lengkap dengan fungsi, nilai, dan sejarahnya. Pertunjukan Tenun mengkritik agar generasi perempuan penenun tetap tumbuh di kalangan masyarakat. Gita menyiapkan pertunjukan Tenun kurang lebih selama satu bulan, sedangkan untuk proses riset menghabiskan waktu selama satu bulan setengah.

“Walaupun sarat akan hal-hal kompleks, kami meyakini bahwa tradisi menenun perlu terus dikembangkan. Karena, menenun adalah tradisi dari nenek moyang,” ujar Gita, Rabu, 15 Februari 2023.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui program Dana Indonesia menginisiasi Proyek Seni Inklusif Sejarah Benang dan Kisah Perempuan Sasak. Salah satu output dari proyek tersebut adalah pertunjukan tari kontemporer Tenun yang telah dipentaskan Gita bersama sejumlah kawan.

Tentang Pertunjukan Tenun

Secara keseluruhan, pertunjukan Tenun berdurasi selama 50 menit, dengan pembagian menari di panggung selama 35 menit dan menari di luar panggung selama 15 menit. Menari di luar panggung merupakan sebuah prolog yang diniatkan dapat menjawab segala hal yang tidak terjawab atas berbagai pertanyaan tentang penenun dan menenun.

“Kami menghadirkan sebelas penari, kemudian diiringi musik yang dimainkan secara langsung oleh pemusik di luar panggung. Selain itu, kami menghadirkan properti panggung berupa berugaq asli dan penenun asli dari Sukarara, Lombok Tengah. Saat ini, penari-penari dalam pertunjukan Tenun merupakan mahasiswa yang tengah belajar menari,” ungkap Gita.

Menari di luar panggung, menurut Gita adalah penceritaan tentang tradisi tenun yang dominasi oleh nilai ekonomi, sehingga melupakan aspek ritual dari proses menenun tersebut. Gita mendapat fenomena tersebut saat melakukan proses riset. Maka dari itu, Gita berharap kegalauan-kegalauan yang didapatkan saat proses riset dapat tersampaikan kepada para penonton sehingga memantik kesadaran bahwa menenun tidak hanya berkutat soal perekonomian belaka, melainkan terdapat nilai ritual yang mesti terus diajarkan pada generasi mendatang.

“Dalam proses riset, kami menemukan bahwa ada suatu situasi yang menekankan bahwa anak-anak gadis tidak boleh menikah sebelum bisa menenun. Mirisnya, kami telah mengumpulkan data bahwa banyak anak-anak gadis yang kini tidak bisa menenun,” terang Gita.

Setelah penonton masuk ke dalam gedung pertunjukan, Gita mencoba untuk memperkenalkan kembali tentang bagian-bagian penting dalam tenun. Ketika penari mulai menari di atas panggung, suara Subahnale, yang merupakan motif unggulan tenun songket serta memiliki nilai sejarah yang menarik terbunyikan secara nyaring. Subahnale merupakan representasi dari enam rukun iman dalam kepercayaan Islam.

“Simbol penari yang keluar dari dalam berugaq yang diduduki penenun merupakan representasi kelahiran anak-anak gadis dari rahim penenun. Kemudian, ada adegan kembali hidup yang merupakan sebuah imaji mengenai perempuan sasak yang hidup bahagia karena memiliki kain tenun yang mahal dan sudah berstandar internasional. Kami menguatkan kebahagiaan tersebut dengan musik latar band rock yang kemudian diusahakan menemukan titik harmoni dengan berbagai elemen pertunjukan di atas panggung,” papar Gita.

Memasukkan elemen musik elektrtik menimbulkan kesan bahwa koreografi hampir tidak memiliki relasi dengan bebunyian yang dimainkan pemusik. Hal tersebut, lantas memicu pertanyaan. Untuk menjawab itu, Gita menerangkan, ia dan tim pemusik Tenun sepakat untuk memilih genre musik rock progressive yang kemudian disesuaikan dengan perkusi tubuh penari dengan koreografi yang diciptakan.

“Ketidaksinkronan yang timbul memang sengaja dihadirkan untuk menunjukkan pandangan generasi muda terhadap tenun, penenun, dan menenun di hari ini. Kesan bahwa tradisi tenun yang terputus dihadirkan melalui sugesti bunyi musik elektrik. Bunyi musik elektrik yang dominan merupakan distraksi yang sengaja kami hadirkan di beberapa titik,” jelas Gita.

Pertunjukan Tenun pada akhirnya bukanlah sekadar tarian yang hanya ingin menceritakan proses menenun, melainkan menampilkan segala hal kompleks yang berkaitan dengan penenun dan menenun. Terlepas dari semua itu, Gita merasa cukup puas setelah melaksanakan pertunjukan Tenun dan hendak kembali membaca khazanah yang terdapat di Pulau Lombok.

“Setelah pertunjukan Tenun saya hendak menggarap pertunjukan tari berdasarkan riset terhadap kerang dan pantai. Pasalnya, cerita-cerita pantai di Pulau Lombok menyimpan misteri yang cukup banyak,” pungkas Gita. (GSR)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button