Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik – Pimpinan Wilayah Muhammadiyah NTB Periode 2012-2017 dan 2017-2022
Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, sebagai puncak ibadah haji, bukan sekedar peristiwa spiritual yang penuh kesakralan, tetapi juga menyimpan pelajaran mendalam yang relevan dalam konteks sosial, politik, dan kepemimpinan modern. Pada hari itu, jutaan umat Islam berkumpul di Padang Arafah dalam keadaan yang sama, mengenakan pakaian ihram yang sederhana, tanpa hiasan duniawi, tanpa sekat status sosial. Tidak ada pembeda antara pemimpin negara dan rakyat jelata, antara saudagar kaya dan buruh kasar. Semuanya hadir sebagai hamba Allah yang hina di hadapan-Nya, semua sama berserah diri, memohon ampun dan petunjuk hanya Pada-Nya. Inilah cerminan kesetaraan dan ketundukan total kepada Sang Maha Kuasa.
Dalam konteks kepemimpinan, momen wukuf ini harus dipahami bukan hanya sebagai simbolitas, tetapi sebagai titik refleksi. Pemimpin bukanlah makhluk yang bebas dari kesalahan, namun ia adalah manusia yang diberikan amanah besar, yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Sebagaimana Hadis Rasulullah SAW: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pemimpin dalam Islam adalah “khadimul ummah – pelayan umat”. Kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sarana untuk menegakkan keadilan, menjamin kemaslahatan, dan melindungi hak-hak rakyat. Semoga para pemimpin masa kini tidak terjebak dalam euforia kekuasaan dan tidak melupakan esensi ini. Wukuf di Arafah hadir sebagai peringatan bahwa setiap keputusan, kebijakan, dan tindakan akan dipertanggungjawabkan jawabkan di hadapan Allah SWT.
Ritual wukuf di Arafah dapat diambil hikmah nya untuk melakukan introspeksi dan memahami tanggung jawab moral sebagai seorang pemimpin. Dalam suasana hening Arafah, tidak ada suara selain lantunan doa dan istighfar. Seorang pemimpin dapat menjadikan ini sebagai waktu untuk mengevaluasi dirinya, apakah kepemimpinannya telah sesuai dengan nilai-nilai dan tatanan hukum?. Apakah rakyatnya merasa sejahtera, aman, dan terlayani?. Apakah keadilan telah ditegakkan, atau justru kekuasaan digunakan secara tidak benar?.
Dalam sejarah Islam contoh nyata yang dapat kita hayati dari kepemimpinan Umar bin Khattab RA. Dalam masa kekhalifahannya, Umar kadang menyamar untuk mengetahui kondisi rakyat secara langsung. Ketika ia menemukan seorang ibu yang memasak batu karena tidak memiliki makanan untuk anak-anaknya, Umar tidak menyalahkan siapa pun. Ia sendiri mengangkat gandum ke rumah ibu tersebut dan berkata, “Celaka engkau, Umar!!!. Apa yang akan kau katakan kepada Tuhanmu bila rakyatmu kelaparan?”.
Kita tentu berharap akan terus lahir Umar masa kini yang menguatkan ikhtiarnya, menghapuskan jeritan masyarakat yang kelaparan, menjalankan kewenangan dengan penuh tanggung jawab.
Boleh jadi saat ini kita masih melihat adanya kegagalan para pemimpin sebagai pemangku amanah dalam mengelola sumber daya yang ada, dan ini adalah bukti dari kegagalan dalam merenungi tanggung jawab moral kepemimpinan.
Wukuf adalah tanda kesetaraan dan keadilan sosial, menghapus semua bentuk hierarki duniawi. Semua hamba Allah berdiri sejajar. Nilai ini menjadi pelajaran penting bagi pemimpin untuk menghapus diskriminasi dalam kebijakan dan perlakuan. Al-Qur’an menegaskan:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58).
Dalam konteks kehidupan modern saat ini, benar masih banyak ketimpangan yang terlihat di tengah masyarakat, sebut saja akses pendidikan dan kesehatan yang belum merata, pelayanan publik yang lebih cepat bagi mereka yang memiliki kekuasaan atau berada, serta sering kali kita mendengar kalimat hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas adalah contoh dari tidak berjalannya prinsip kesetaraan dan keadilan. Makan wukuf seharusnya menggugah hati para pemimpin untuk meruntuhkan tembok-tembok ketimpangan itu.
Padang Arafah membangun kesadaran akhirat dan rendah hati, yang menjadi miniatur padang Mahsyar, tempat di mana kelak pada hari pembalasan manusia akan dikumpulkan. Tidak ada pengaruh jabatan, tidak ada kuasa atau kroni. Hanya amal yang berbicara. Kesadaran ini seharusnya menanamkan sikap rendah hati pada siapapun manusia, utamanya para pemimpin. Rasulullah SAW., bersabda : “Barang siapa yang rendah hati karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim).
Kita bisa melihat contoh baik dari pemimpin-pemimpin yang mengedepankan kerendahan hati dan keterbukaan terhadap kritik.
Misalnya, Jacinda Ardern, Mantan Perdana Menteri Selandia Baru, menunjukkan kepemimpinan empatik, mendengar langsung suara rakyat, dan menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan dalam masa krisis.
Angela Merkel (Mantan Kanselir Jerman), selama dua dekade memimpin, dikenal sebagai pemimpin yang tidak narsistik, mendengarkan masukan, dan menghindari pencitraan berlebihan. Gaya komunikasinya lugas dan bersahaja.
Meskipun bukan pemimpin Muslim, namun nilai-nilai universal yang ia terapkan sejalan dengan prinsip Islam.
Kita bisa belajar juga dari Tokoh Islam Indonesia seperti: K.H. Ahmad Dahlan (1868–1923), Pendiri Muhammadiyah (1912) dengan ciri kepemimpinan yang tawadhu’ dan bersahaja, dikenal hidup sangat sederhana, bahkan sering menginfakkan hartanya untuk dakwah dan pendidikan. K.H. Ahmad Dahlan dikenal sangat terbuka dan menerima kritik dan dialog, dalam upaya mengubah kebiasaan masyarakat (misalnya arah kiblat yang tidak tepat, atau praktik keagamaan yang tidak berdasar dalil), beliau menghadapi banyak penolakan. Namun ia tetap bersikap tenang dan dialogis, bukan konfrontatif dan paling penting tetap fokus pada aksi nyata, tidak hanya berceramah, beliau mendirikan sekolah, rumah sakit, dan lembaga sosial.
Ada juga K.H. Hasyim Asy’ari (1871–1947), pendiri Nahdlatul Ulama (1926) dengan Clciri kepemimpinan yang teguh dalam prinsip, tapi bijaksana dalam pendekatan: Beliau menjaga tradisi keislaman pesantren (ahlussunnah wal jamaah), namun tetap mendorong ijtihad dan kesatuan umat, rendah hati dan cinta damai, meski memiliki pengaruh besar di kalangan ulama dan rakyat, beliau tidak mencari kekuasaan politik. K.H. Hasyim As’ari dikenal terbuka terhadap kritik internal, di mana di dalam NU, beliau membuka ruang musyawarah para kiai yang mencerminkan bahwa ia tidak memonopoli kebenaran.
Dalam konteks kekinian kita juga bisa melihat dan bisa belajar dari KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) seorang Ulama NU, budayawan, dan tokoh yang dikenal sangat santun, tawadhu’, dan mencintai perdamaian. Gus Mus sering mengatakan bahwa ulama harus siap dikritik dan bahwa kebenaran bukan milik satu kelompok saja.
Ada juga Ustaz Adi Hidayat (UAH), dikenal luas sebagai da’i cerdas dan komunikatif. Dalam banyak ceramahnya, UAH menyampaikan bahwa ulama dan da’i harus mau dikoreksi, terutama dalam hal yang berkaitan dengan informasi atau data. Meski dalam beberapa kasus mendapat kritik, ia tetap berusaha menjaga sikap tenang dan ilmiah.
Arafah memperkuat rasa syukur dan berserah dalam memohon ampunan-Nya, hal ini sekaligus sebagai pertanda betapa pentingnya membangun spiritualitas kepemimpinan, di Arafah, para jama’ah tak henti mengucap syukur dan memohon ampunan. Seorang pemimpin harus senantiasa bersyukur atas amanah yang diemban dan memohon petunjuk agar tidak tergelincir ke dalam kezaliman. Pemimpin yang tidak pernah meminta ampun kepada Allah adalah pemimpin yang sombong dan merasa cukup dengan akalnya sendiri.
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW., meski seorang pemimpin agung, tak pernah absen dari istighfar. Beliau bersabda : “Demi Allah, aku benar-benar memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari).
Ini menunjukkan bahwa spiritualitas adalah fondasi penting dalam kepemimpinan. Ketika seorang pemimpin dekat dengan Allah, maka ia akan takut untuk berbuat zalim, dan terdorong untuk berlaku adil.
Wukuf juga menjadi momentum untuk menata ulang arah hidup. Demikian pula, seorang pemimpin harus memiliki visi jangka panjang yang tidak hanya pragmatis tetapi juga transformatif. Kepemimpinan yang baik bukan hanya menyelesaikan masalah hari ini, tapi juga menyiapkan generasi esok.
Contoh baik bisa kita lihat dari pembangunan sarana prasarana pelayanana dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan permukiman, ketenteraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyarakat, serta sosial. Ini adalah bentuk kepemimpinan visioner yang memahami bahwa investasi terbesar adalah bagaimana memastikan bahwa setiap masyarakat mendapatkan pelayanan dasar yang layak dan memenuhi standar tertentu.
Wukuf di Arafah adalah panggilan spiritual yang sangat dalam bagi seorang Muslim, terlebih bagi mereka yang memikul tanggung jawab kepemimpinan. Ia bukan hanya soal ritual ibadah, tetapi cermin yang memantulkan nilai-nilai luhur seperti keadilan, kesetaraan, tanggung jawab, dan kesadaran akan akhirat.
Di tengah krisis moral dan kepemimpinan yang sering kita temui hari ini, sudah saatnya para pemimpin belajar dari hakikat Wukuf di Arafah. Agar mereka tidak hanya menjadi penguasa, tetapi pelayan umat yang adil, rendah hati, dan bertanggung jawab di hadapan manusia dan Allah SWT.
“Para pemimpin, belajarlah dari hakikat wukuf di Arafah. Karena kekuasaan adalah ujian, dan pertanggung jawabannya amatlah berat.” (*)