Mataram (NTB Satu) – Kasus dugaan korupsi penyaluran bantuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif jagung di Lombok Timur (Lotim) tahun 2020-2021 yang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB hingga saat ini belum mengarah pada adanya tersangka baru. Peluang tersangka baru tergantung persidangan.
“Untuk tersangkanya baru dua orang itu saja, belum mengarah kepada adanya tersangka baru,” kata Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati NTB, Kamis 17 November 2022.
Dua orang yang sudah ditetapkan tersangka itu, sebut Efrien, masing-masing berinisial AM selaku mantan Kepala Cabang Bank BNI Mataram dan LIRA selaku bendahara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB.
“Hingga saat ini baru dua tersangka, nanti dilihat di persidangan, apakah ada fakta baru yang mengarah ke orang lain atau tidak,” tuturnya.
Untuk kedua tersangka tersebut, sambung Efrien, penyidik tindak pidana khusus Kejati NTB telah menahannya di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Mataram. Keduanya juga telah diperiksa penyidik guna pemenuhan berkas perkaranya.
Terkait masih adanya saksi yang diperiksa, Efrien tidak mengetahuinya secara persis. “Kalau pemeriksaan saksi, saya belum tahu pasti, saya belum tanyakan ke bidang Pidsus,” sebutnya.
Sebelum kasus tersebut masuk ke penetapan tersangka, penyidik telah memanggil sejumlah orang untuk diperiksa. Salah satu yang dipanggil ialah Rumaksi selaku Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) NTB, yang juga saat ini menjabat sebagai Wakil Bupati (Wabup) Lombok Timur. Namun pada akhirnya hanya AM dan LIRA yang resmi ditetapkan tersangka.
Seperti diketahui, kasus yang ditangani Kejati NTB atas adanya laporan masyarakat, terutama para petani yang menjadi korban pengajuan KUR fiktif di BNI. Permasalahannya yaitu para petani kesulitan untuk mendapatkan akses pinjaman di bank. Hal tersebut disebabkan karena para petani telah tercatat namanya sebagai penerima pinjaman KUR di BNI. Padahal para petani sama sekali tidak pernah menerima dana KUR tersebut.
Total jumlah petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR fiktif ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Dari jumlah tersebut total pinjaman KUR fiktif yang menjual nama petani ini mencapai Rp16 miliar lebih.
Kasus ini bermula pada Agustus 2020. Ketika itu, Dirjen salah satu kementerian melakukan pertemuan dengan para petani di wilayah selatan Lombok Timur. Dalam pertemuan itu, Dirjen tersebut memberitahukan terkait adanya program KUR untuk para petani.
Informasi itu lalu ditindaklanjuti dengan pengajuan nama petani yang diusulkan mendapatkan kredit. Untuk petani jagung sekitar 622 orang yang tersebar di lima desa. Yang paling banyak adalah petani jagung di Desa Ekas Buana dan Sekaroh Kecamatan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan pinjaman sebesar Rp15 juta per hektare dengan total luas lahan mencapai 1.582 hektare.
Sementara petani tembakau yang tercatat sebagai penerima KUR ini sekitar 460 orang. Sebagian besar adalah petani tembakau di Kecamatan Keruak dan Jerowaru. Setiap petani dijanjikan dana KUR mulai Rp30 juta sampai Rp50 juta per orang.
Para petani yang terdata sebagai penerima KUR diwajibkan menandatangani berkas-berkas pendukung untuk kelancaran pengajuan pinjaman tersebut. Proses penandatanganan dilakukan oleh petani jagung di lima desa di wilayah Kecamatan Jerowaru yang melibatkan pihak ketiga atau off taker yaitu CV. Agro Briobriket dan Briket (ABB) serta oknum pengurus HKTI NTB sebagai mitra pemerintah dan BNI Cabang Mataram sebagai mitra perbankan dalam penyaluran KUR. Sementara untuk petani tembakau melalui BNI Cabang Praya.
Saat proses pengajuan KUR ini, pihak BNI langsung turun meminta tanda tangan para petani dengan dilengkapi berkas pinjaman. Skema KUR tani melibatkan pihak ketiga atau off taker, yaitu CV ABB. Perusahaan atau off taker ini kuat dugaan ditunjuk langsung dari pihak kementerian, termasuk juga salah satu organisasi di NTB yang bergelut di bidang pertanian.
Namun persoalan mulai muncul ketika sejumlah petani yang ingin mengajukan pinjaman di BRI tidak bisa diproses. Mereka dinilai keuangannya bermasalah karena memiliki pinjaman dan tunggakan KUR di BNI. Tunggakan mereka pun beragam, mulai dari Rp15 juta hingga Rp45 juta tergantung dari jumlah luas lahan yang dimiliki. Sementara petani ini mengaku tidak pernah menerima dana kredit itu.
Dalam kasus ini, dua orang sudah ditetapkan tersangka. Antaranya mantan Kepala Cabang Bank BNI Mataram inisial AM dan dan Bendahara HKTI NTB inisial LIRA. Atas kasus dugaan korupsi ini, Kejati menaruh potensi kerugian negara sebesar Rp29,95 miliar.
Sebagai tersangka, keduanya disangkakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (MIL)