Mataram (NTB Satu) – Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB hingga kini belum melakukan pemanggilan terhadap Wakil Bupati KLU DKF yang tersangka dugaan kasus korupsi proyek penambahan ruang IGD dan ICU pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) KLU pada tahun 2019 silam.
Padahal beberapa waktu lalu, pihak dari DKF mengeluarkan statement bahwa dirinya siap dan akan kooperatif jika dipanggil penyidik Kejati NTB untuk diperiksa. Akan tetapi, Kejati NTB sendiri hingga kini belum ada rencana pasti untuk memanggilnya.
Kepala Kejati NTB Sungaprin saat ditemui awak media mengatakan, pemanggilan Danny akan dilakukan setelah hasil audit baru soal kerugian negara yang ditimbulkan dalam proyek penambahan ruang IGD dan ICU itu keluar.
“Kita tunggu hasil audit dari internal belum keluar, nanti kita lihat dulu hasil audit yang terbarunya. Kita kan belum tau ya hasil auditnya yang ini belum keluar,” kata Sungaprin, Kamis 12 Mei 2022.
Dalam dugaan kasus korupsi penambahan ruang IGD dan ICU RSUD KLU itu ada lima orang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, yakni SH selaku Direktur RSUD KLU, HZ selaku PPK pada RSUD KLU, MR selaku Kuasa PT Bataraguru (Penyedia), dan LFH selaku Direktur CV Indomulya Consultant (Konsultan Pengawas) dan Danny Karter Febrianto (kini Wabup) selaku Staf Ahli CV Indo Mulya Consultant. Kerugian negara dalam yang ditemukan dalam kasus ini sebesar Rp. 742.757.112,79.
Perihal kerugian negara sebesar Rp. 742.757.112,79 yang sudah ditemukan itu, Sungaprin mengklaim bahwa bukan kerugian negara itu yang dimaksud, melainkan ada kerugian negara yang lain, yang saat ini masih dilakukan hasil audit.
“Ada yang terbaru, yang 700 juta? tidak, ada yang terbaru,” ucapnya.
Saat ditanya apakah bentuk audit baru atau audit akan diulang dalam menemukan kerugian negara itu, dirinya tidak memberikan tanggapan secara pasti. Melainkan mengarahkan ke Aspidsus dan ke Kasi Penkum Kejati NTB.
“Yang tahu persis Aspidsus dengan Kasi Penkum,” sebutnya.
Adapun mengenai hasil kerugian negara yang sudah ditemukan sebesar 700 juta, dikatakannya bahwa temuan tersebut ada kesalahan. “Itu kayaknya salah juga yang 700 juta itu,” pungkasnya.
Dikutip dari pemberitaan sebelumnya, dalam kasus proyek RSUD KLU, Kejati NTB mengusust dua kasus. Pertama yaitu proyek penambahan ruang IGD dan ICU tahun 2019. Kemudian yang kedua proyek penambahan ruang operasi dan ICU tahun 2019.
Pada kasus pertama penyidik menetapkan lima tersangka yaitu SH selaku Direktur RSUD KLU, HZ selaku PPK pada RSUD KLU, MR selaku Kuasa PT Bataraguru (Penyedia), dan LFH selaku Direktur CV Indomulya Consultant (Konsultan Pengawas) dan DKF (kini Wabup) selaku Staf Ahli CV Indo Mulya Consultant. Kerugian negara dalam kasus ini sebesar Rp. 742.757.112,79.
Pada kasus kedua, penyidik menetapkan empat tersangka, yakni SH selaku Direktur RSUD KLU, EB selaku PPK pada Dinas Kesehatan (Dikes) KLU, DT selaku Kuasa Direktur PT. Apromegatama (penyedia) dan DD selaku Direktur CV Cipta Pandu Utama (konsultan pengawas). Kerugian keuangan negara dalam kasus ini sebesar Rp. 1.757.522.230,33. (MIL)