Mataram (NTB Satu) – Suhu yang semakin panas, rusaknya kualitas air, gagal panen, cuaca yang tidak menentu, merupakan sedikit contoh dari dampak perubahan iklim.
Hal itu menandakan bahwa perubahan iklim bukan lagi isu elitis, melainkan nyata di hadapan semua kalangan. Salah satu faktor penyumbang terbesar dari perubahan iklim tersebut adalah emisi karbon atau sering disebut gas rumah kaca.
Pada awalnya, keberadaan gas rumah kaca di atmosfer cukup menopang kehidupan secara alami, sebagai proses menjaga suhu bumi tetap hangat.
Namun, semua itu mulai memburuk sejak terjadinya revolusi industri di Eropa sekitar tahun 1760. Konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer mulai melonjak hingga saat ini, dan sekarang hal itu kita sebut dengan pemanasan global.
Berdasarkan data dari JRC European Commission, pada tahun 2019, jumlah emisi CO2 perkapita di Indonesia sebanyak 2,3 ton pertahun, yang berasal dari aktivitas produksi manusia yang menggunakan bahan bakar fosil.
Berdasarkan data BPS Kota Mataram, pada sensus tahun 2020, jumlah penduduk Kota Mataram sebanyak 429.651 orang. Jika angka rata-rata emisi CO2 nasional tersebut diberlakukan di Kota Mataram, maka total jumlah warga Kota Mataram pada tahun 2020 yakni 429.651 dikalikan dengan rata-rata nasional emisi CO2 per kapita per tahun, yakni 2,3 ton.
Dari perhitungan itu, maka akan menghasilkan total sekitar 988.197 ton total emisi CO2 pertahun yang disumbang warga Kota Mataram. Total angka emisi CO2 tersebut berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, baik dari sektor industri, rumah tangga, transportasi, dan sektor lain yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil.
Membayar Utang Emisi
Komunitas Earth Hour Mataram yang aktif meneliti emisi karbon dari sektor transportasi mengatakan, setiap carbon yang dihasilkan warga, sama dengan utang emisi kepada alam. Artinya, harus mengganti emisi yang dihasilkan.
Bagaimana membayar utang emisi tersebut? Langkah paling sederhana untuk membayar hutang emisi adalah dengan memulai dari diri sendiri, seperti menanam pohon yang memiliki serapan yang bagus untuk CO2.
“Sudah banyak sekali pencemaran yang kita lakukan dengan kendaraan kita, langkah sederhana yang bisa kita lakukan adalah menanam pohon yang efektif meyerap emisi tersebut, seperti yang sudah banyak itu pohon trembesi ataupun yang lain dengan kemampuan menyerap emisi dengan baik,” kata Kukuh, pegiat Earth Hour Mataram kepada ntbsatu.com, Jumat 18 Februari 2022.
Didukung data dari Forest Digest, satu pohon trembesi umur satu tahun dengan tinggi 1,5 meter, dapat menyerap sekitar 2 ton CO2 per tahunnya.
Maka untuk membayar utang emisi CO2 perorang di Kota Mataram, setidaknya setiap orang harus menanam satu pohon trembesi atau yang setara. Sehingga utang karbon perorang dapat terbayar pada tahun berikutnya secara terus menerus.
Apabila pohon terus tumbuh dan diameter ranting serta daunnya mencapai 15 meter, pohon trembesi dapat menyerap emisi CO2 sebanyak 28 ton pertahun dan menurunkan 3 – 4 °C suhu di sekitarnya.
Mengingat ‘kanopi’ pohon yang cukup lebar, tentu menanam pohon trembesi tidak harus di halaman rumah. Penanaman bisa dilakukan di area publik, lahan kritis, atau sekedar penyumbang pohon untuk kegiatan penanaman yang dilakukan kelompok penggiat lingkungan.
Pemerintah Setengah Hati
Selain dari kesadaran pribadi, regulasi pemerintah dianggap paling krusial dalam mencegah lonjakan emisi karbon. Direktur Eksekutif Walhi NTB, Amri Nuryadi mengatakan, pemerintah harus mempertegas kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup di Kota Mataram.
Menurutnya, Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Mataram mengalami penyusutan akibat alih fungsi lahan yang semakin marak.
“Pemerintah Kota Mataram harus konsisten dengan Perda Nomor 8 Tahun 2015, tentang ruang terbuka hijau. Dimana saat ini RTH semakin minim, karena alih fungsi lahan. Contohnya di Taman Udayana, depannya saja yang terlihat ada pepohonan, tapi belakangnya tetap dibangun (gedung) juga,” sesalnya.
Dalam pasal 29 ayat 2, Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari total luas wilayah kota.
Dari total 61,3km persegi luas Kota Mataram, maka setidaknya ada 18,39km persegi atau sama dengan 1.839 ha ruang terbuka hijau tersedia di Kota Mataram.
Amri menambahkan, ruang publik berupa RTH merupakan sektor paling penting untuk dioptimalkan, guna menjaga keseimbangan ekosistem kota, baik untuk ketersediaan resapan air, udara yang bersih, maupun estetika rupa kota.
“Kalau kita mau tanam di halaman rumah, belum tentu semua punya halaman. Jadinya, ruang ruang publik ini yang paling penting supaya banyak diperuntukkan untuk menanam pohon, guna memenuhi kewajiban suatu wilayah yang sebanyak 30 persen dari total wilayahnya,” imbuhnya.
RTH Mangkrak
Namun harapan berbanding terbalik dengan kondisi lapangan. Di Kota Mataram, masih ada ruang terbuka hijau yang tidak terawat, contohnya RTH Pagutan Timur. Berdasarkan pantauan langsung ntbsatu.com Sabtu 19 Februari 2022, kondisi RTH yang memiliki luas 8,3 hektar tersebut masih terbengkalai.
Alih alih dirawat, tidak ada petugas yang berjaga di gerbang masuk maupun di dalam Taman. Selain itu fasilitas pendukung seperti toilet, gazebo, bahkan jalanpun banyak mengalami kerusakan.
Padahal banyak potensi yang menjanjikan apabila digarap dengan maksimal, seperti area bumi perkemahan, lokasi event, bahkan untuk lokasi pertemuan rapat, yang berpotensi menjadi sumber PAD. (RZK)