Euforia MotoGP Menunda Eksekusi (2)

Banyak pihak mengklaim perhelatan MotoGP di Pertamina Mandalika International Street Circuit berjalan sukses. Namun, gelaran yang mendongkrak nama NTB dan Indonesia ke penjuru dunia tersebut, masih menyisakan masalah ; sengketa tanah Hotel Pullman antara pihak ITDC dengan Umar yang belum berujung. MotoGP hanya sedikit menjeda sengketa dua pihak.

Mahkamah Agung telah memenangkan Umar dalam upaya Peninjauan Kembali (PK). Putusan tersebut, bakal membuat Hotel Pullman yang berada di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika dan dibangun oleh ITDC terancam digusur.

Proses sengketa lahan pembangunan Hotel Pullman telah berlangsung sejak beberapa tahun silam. Dalam prosesnya, pihak Umar dinyatakan kalah hingga tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT) Mataram. Sehingga, ITDC merasa berhak menjalankan proses pembangunan Hotel Pullman di atas lahan seluas sembilan hektar tersebut.

Akhirnya, pasca batas waktu upaya kasasi habis, pihak Umar memutuskan untuk mengajukan permohonan PK ke MA. Tidak disangka, berdasarkan putusan MA No. 531 PK/PDT/2021 tertanggal 23 September 2021, MA mengabulkan PK yang diajukan Umar. Kemudian, MA meminta tergugat, yakni ITDC, Pullman dan pihak lain, untuk segera mengosongkan lokasi sengketa.

Pasca PK I dikeluarkan, ITDC diketahui telah mengajukan PK II pada 30 Desember 2021. Pengajuan PK disertai dengan novum yang belum pernah diperiksa dalam sidang perkara dimaksud.

Sementara itu, Umar yang telah dipastikan menang dalam PK I memberi tenggat kepada ITDC dan tergugat lainnya hingga 17 Febuari 2022, untuk mengosongkan lahan yang ditempati.

Beberapa waktu lalu, ITDC sempat mengajukan PK II dengan dalih menemukan novum bahwa Umar telah memalsukan sertifikat pada tahun 2005 dan 2009. Demi menemukan kebenaran soal ini,  NTB Satu berusaha mengkonfirmasi hal tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) NTB, namun tidak mendapat respon apapun.

Pada 14 April 2022, NTB Satu mendatangi kantor BPN NTB di daerah Mataram. Namun, pihak terkait enggan memberikan keterangan apapun. Kemudian, pada tanggal 18 April 2022, NTB Satu kembali ke gedung yang sama dengan harapan menemukan jawaban. Satu pun pihak BPN enggan menemui. Terakhir, pada 19 April 2022, NTB Satu kembali mengunjungi kantor BPN NTB. Hasilnya sama saja. BPN NTB tetap menolak untuk memberikan keterangan apapun.

Kemenangan Umar Bukti HPL ITDC Bisa Keliru

Belajar dari kasus Umar dan ITDC, apa yang dianggap sebagai final karena Hak Pengelolaan Lahan (HPL) telah terbit, bisa dibuktikan kekeliruannya.

Kasus sengketa tanah antara Umar dengan ITDC, turut direspon Dr. Widodo Dwi Putro, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram.

Kepada NTB Satu saat disambangi kediamannya di Jalan Sakura, Gomong Kota Mataram,  bagi Widodo putusan MA memenangkan Umar dalam kasus sengketa tanah Hotel Pullman yang terletak di KEK Mandalika bersifat anomali.

“Rata-rata, masyarakat itu dikalahkan. Baik di PT atau pun PN. Awalnya, Umar adalah salah satu bukti kalahnya masyarakat. Namun, hasil mengejutkan justru datang di hasil PK I MA,” ungkap Widodo kepada NTB Satu, Kamis, 14 April 2022.

Widodo menyebutkan, alasan kasus Umar dengan ITDC tampak seperti anomali lantaran menunjukkan kemenangan masyarakat biasa.

“Kasus Umar dengan ITDC tampak sebagai penguji apakah Indonesia masih bisa disebut sebagai negara hukum atau malah negara kekuasaan,” tegas Widodo.

Dalam wawancara itu, Widodo menyoroti dua hal menarik soal kasus sengketa antara ITDC dan Umar.

Pertama, upaya pengajuan PK merupakan hal yang sangat luar biasa apabila pemohon menemukan novum atau bukti baru. Hal yang menarik adalah sengketa tanah Hotel Pullman membuka tabir bahwa Hak Penggunaan Lahan (HPL) di KEK Mandalika bisa keliru.

“Bahkan, menunjukkan bahwa masyarakat memang berhak mendaulat apa yang mereka miliki. Selama ini, seolah-olah masyarakat tidak mampu menang,” jelas Widodo.

Kedua,  dalam perkara hukum perdata tidak diperbolehkan mengajukan PK II. Maka, upaya ITDC dalam pengajuan PK II disebut sebagai pelanggaran konstitusi.

“PK II itu diperbolehkan dalam perkara pidana karena mencari kebenaran materiil. Sedangkan, kasus Umar dengan ITDC ini adalah perkara perdata. Maka, secara hukum, pengajuan PK II sebenarnya tidak diperbolehkan. Sebab, itu akan membuat perkara menjadi panjang dan tidak akan pernah selesa,” papar Widodo.

Hal tersebut, diatur dalam ketentuan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PUU-VIII/2010 yang menjelaskan : apabila dibuka keleluasaan mengajuka PK lebih dari satu kali untuk perkara selain pidana maka akan mengakibatkan penyelesaian menjadi panjang dan tidak akan pernah selesai.

Widodo mengkaji, bahwa pengajuan PK lebih dari satu kali bertentangan dengan azas ‘litis finiri oportet’ (bahwa setiap perkara harus berakhir). Ia menilai, PK II dalam kasus sengketa antara ITDC dengan Umar bakal berpotensi mengulur waktu penyelesaian perkara.

“Sebab, nanti bisa saja Umar dan ITDC kembali melakukan PK III, IV, V, dan seterusnya serta tidak berujung. Seharusnya, karena PK itu upaya hukum luar biasa, maka tidak boleh ada PK lanjutan,” terang Widodo.

PK hanya dapat dilakukan 2 kali apabila ditemukan hal tertentu, yang mana hal demikian sesuai dengan ketentuan Poin 4 dalam SEMA 07 Tahun 2014 Tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali yang menyebutkan : permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali terbatas pada alasan yang diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Peninjauan Kembali, yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih putusan Peninjauan Kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.

Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung yang berbunyi sebagai berikut,  Pasal 66 :

1. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali;

2. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan;

Lebih lanjut, Widodo mengamati, proses PK yang lebih dari satu kali serta penemuan bukti-bukti berbeda berpotensi memunculkan mafia peradilan.

“Kalau seperti itu, patut dicurigai adanya mafia peradilan. Dalam kasus Umar dan ITDC, hanya ada satu PK dan hasilnya sudah jelas. Seharusnya, PK II tidak boleh diterima oleh MA,” ujar Widodo.

Lebih lanjut, Widodo menyoroti, Aparat Penegak Hukum (APH) mesti tegas dalam bersikap. Sebab, MA telah memberikan putusan. Widodo mengatakan, tidak mengetahui sama sekali alasan Hotel Pullman belum juga dieksekusi.

“Sekali lagi, saya belum tahu mengapa Hotel Pullman belum dieksekusi. Padahal, pihak Umar telah mengajukan eksekusi. Kalau dilihat Surat Keterangan (SK) percepatan pembangunan Mandalika, di situ semua APH terlibat di dalamnya. Ada dari kejaksaan, kepolisian, BPN, dan tim hukum pemprov. Maka, seharusnya mereka sudah harus bertindak begitu PK I dikeluarkan MA,” kata Widodo.

Bergerak sedikit menuju perizinan operasi selama sengketa, Widodo menuturkan, tanah tidak boleh beroperasi selama ada peralihan hak.

“Ketika terjadi sengketa, maka statusnya quo. Dalam status sengketa, maka pembangunan berbentuk apapun tidak diperbolehkan. Menerbitkan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Penggunaan Lahan (HPL) pun tidak diperbolehkan. Karena masih di bawah sengketa. Kalau meneruskan pembangunan tanah sengketa dan tidak punya kekuatan hukum tetap, maka pihak terkait bisa dikatakan tidak memiliki itikad baik. Karena, kalau kemudian pihak pembangun kalah, hal tersebut bisa sangat berisiko,” jawab Widodo.

Terakhir, Widodo menyebut ITDC sebagai pihak yang terlalu percaya diri. Sebab, ITDC terlalu dini membangun destinasi wisata di atas tanah yang masih dalam status sengketa.

“Di kasus sengketa Hotel Pullman, ITDC adalah aktor yang melakukan penggregahan. Keputusan sudah keluar, akan tetapi ITDC masih menempati lahan yang telah dimenangkan Umar,” tegas dia.

Seharusnya, Umar melaporkan ITDC sebagai pelaku penggregahan. Karena, selama ini ITDC selalu menyudutkan masyarakat yang masih tinggal di tanah mereka, terlebih di lokasi KEK Mandalika dengan dalih penggregahan serta meminta APH untuk bertindak.

“Belajar dari kasus Umar dan ITDC, apa yang dianggap sebagai final karena HPL telah terbit, bisa dibuktikan kekeliruannya,” pungkas Widodo. (GSR)

Exit mobile version