Jurus PK ITDC dari Kejanggalan Sertifikat Umar (4)

Mataram (NTB Satu) – PT ITDC selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pengelola KEK Mandalika telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kedua atas kemenangan Umar dalam PK di Mahkamah Agung, pengajuan PK kedua itu tertanggal 30 Desember 2021. 

Adapun pertimbangan hukum ITDC dalam mengajukan PK ke-2 dalam perkara ini adalah karena pada lahan yang menjadi obyek sengketa antara ITDC dan Umar, terdapat dua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht) yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Sedangkan alasan lainnya adalah karena ITDC juga memiliki bukti-bukti baru (novum) yang belum pernah diperiksa dalam persidangan perkara dimaksud.

Hal tersebut dikatakan Jaksa Pengacara Negara (JPN) Hilman Azazi. Sebagai wakil ITDC dalam hal ini negara di depan persidangan,  menurutnya pengajuan PK kedua tersebut akan diperkuat dengan Novum baru. “Ada 12 bukti baru atau novum termasuk di dalamnya ada kekeliruan hakim yang dijadikan novum,” jelas Hilman yang menjabat  Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara (Asdatun) pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) NTB.

Salah satu yang menjadi novum adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tahun 2015. Saat itu, Umar pernah mengajukan sertifikat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lombok Tengah (Loteng) namun ditolak BPN.

Umar kemudian menggugat BPN ke PTUN namun gugatannya tidak dapat diterima (Ditolak). “Tetapi kok bisa terbit sertifikat tanah mengatasnamakan Umar tahun 2005 dan tahun 2009?. Di situ kejanggalannya,” bebernya.

Sertifikat yang terbit tahun 2005 dan 2009 itulah yang dijadikan dasar oleh Umar menggugat PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) bersama Hotel Pullman, Hotel Royal Tulip, Paramount Lombok Resort And Residence, serta BPN Loteng, BPN NTB, dan BPN RI di atas HPL 73 KEK Mandalika pada tahun 2018.

Anehnya, padahal Umar sudah memiliki sertifikat 2005 dan tahun 2009, tetapi menggugat BPN (ke PTUN) tahun 2015. Gugatannya itu mengenai permohonan penerbitan sertifikat. Ini kan aneh,” kata Hilman.

Saat gugatan perdata tahun 2015, terkuak sertifikat Umar tahun 2005 dan tahun 2009 tersebut tidak mendasar. Warkah kepemilikan lahan tersebut juga tidak disebutkan. ”Warkah kepemilikan lahan itu tidak bisa ditunjukkan Umar. Dari mana asal usul memiliki lahan,” bebernya.

Dari kejanggalan itu, JPN berkeyakinan bisa memenangkan PK II. Yang menjadi pertanyaan besar bagi JPN dari mana Umar mendapatkan sertifikat tanah tahun 2005 dan tahun 2009 tersebut. 

 ”Mengapa sudah memiliki sertifikat malah menggugat BPN karena permintaan penerbitan sertifikatnya ditolak BPN?” pungkas Hilman.

Ajukan Bukti Baru

Pada permohonan PK kedua ini, ITDC sudah mengajukan bukti bukti baru (novum). I Made Ari Widiatmika selaku VP Corporate Secretary ITDC yakin dokumen yang diajukan ini benar benar berupa novum atau tidak pernah diajukan sebelumnya.  

“Bukti baru yang belum pernah diperiksa atau dijadikan bukti selama proses persidangan perkara perdata dengan Umar,” kata Apong, sapaan I Made Ari Widiatmika. 

Harapan pihaknya, Majelis Hakim tingkat MA akan memeriksa dalil dalil yang diajukan dalam novum tersebut secara objektif dan berdasarkan fakta yang ada. Apong selanjutnya tak bisa memberikan jawaban panjang lebar, kecuali sebatas yang disampaikan tim Legal ITDC tersebut.  “Sementara seperti yang di atas dari tim legal. Jika ada update nanti kami info,” pungkas Apong.

Muhtar M. Saleh selaku pengacara Umar merespons ini. Ia berpendapat,  PK II itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/TUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

”Intinya PK hanya dapat dilakukan satu kali sesuai pasal 268 KUHAP ayat  (3),” jelasnya.

Terkait putusan PTUN yang membatalkan gugatan Umar, menurutnya tidak memiliki hubungan dengan perkara perdata Umar yang berjalan saat ini. Karena yang digugat Umar di PTUN tersebut hanya BPN. ”Pihak ITDC hanya menjadi tergugat intervensi atau yang diuntungkan dalam gugatan itu,” jelas Muhtar.

Dalam gugatan PTUN itu juga tidak berbicara menentukan hak. Berbeda dengan gugatan perdata yang telah menentukan hak. ”Berarti yang harus dijadikan acuan adalah putusan perdata,” sebutnya. 

Pernyataan kuasa hukum Umar  yang intinya berdasarkan Putusan PK berhak membangun apa saja di atas lahan Hotel Pullman, pihak PT. ITDC juga bereaksi.

ITDC melalui bagian hukumnya, Yudhistira, menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum yang sedang berjalan, khususnya proses permohonan PK ke-2 yang sudah diajukan oleh ITDC.

“Untuk itu, kami meminta agar seluruh pihak menghormati proses hukum yang masih berlangsung,” imbuh Yudhistira. Terlepas dari itu, ITDC memastikan operasional Hotel tetap berjalan dengan normal selama proses hukum berlangsung.

Siasat Meredam Sesaat

Desain infografis alur sengketa Umar melawan ITDC. (haris)

Pengadilan Negeri Praya, Lombok Tengah turun tangan memediasi kedua belah pihak setelah putusan PK MA  memenangkan Umar.

Ketua Pengadilan Negeri Praya, Baginda Rajoko Harahap mengatakan, mediasi berulang sudah dilakukan agar ada perdamaian kedua pihak. Bahkan pihaknya kedua memanggil kedua belah pihak.

“Tadi pagi Rabu untuk diupayakan perdamaian, ya kemudian untuk dipanggil kedua belah pihak,” ungkapnya.

Dijelaskannya juga, pertemuan mediasi sementara ini belum ada upaya mediasi dan meminta waktu beberapa hari dan akan melaporkan hasil komunikasi dan masih membuka diri.

Terpisah, juru bicara (Jubir) keluarga Umar, Ahmad Tantowi menegaskan, upaya aanmaning atau teguran kepada pihak yang kalah telah disampaikan. Teguran dalam hal ini agar pihak Pengadilan segera melakukan eksekusi. Namun kata dia, seringkali aanmaning dipergunakan untuk menjadi ranah mediasi kedua belah pihak.

“Rancu kemudian saat PK kedua. Harusnya tidak ada lagi upaya hukum, ” tegasnya.

Padahal secara hokum, aanmaning merupakan peringatan menjalankan putusan pengadilan. Harus sudah selesai dan dieksekusi baik secara sukarela atau paksa, itu berdasarkan hukum beracara.

“Bagi saya ITDC tidak tertib hukum. Logikanya kalau PK tidak perlu adanya aanmaning,” sentilnya.

Dia sebagai tim pendamping menyatakan sempat adanya tawar menawar, namun buntu karena pihak ITDC belum bisa memenuhi permintaan Umar. Umar  meminta Rp 1 miliar dan 10 persen saham di Hotel Pullman. Kemudian akan diberikan waktu bagaiaman respons ITDC tanggal 17 Februari.

Ditambahkannya, putusan PK pertama keluar pada 23 September 2021. Kemudian, pada surat putusan PK poin 6 yakni mengosongkan lahan dan membongkarnya dan menyerahkan lahan kepada pihak tergugat, apabila perlu dapat melibatkan menggunakan Polri. (HAK/MIL)

Exit mobile version