Mataram (NTB Satu) – Korean Wave atau Hallyu ialah istilah yang ditujukan untuk menonjolkan budaya Korea seperti film, musik, drama, sampai acara TV. Hallyu dewasa ini telah menjadi semacam gelombang budaya baru yang menerjang berbagai kalangan, umumnya di Indonesia, lebih spesifik di Kota Mataram. Pasalnya, seluruh bentuk barang dagangan Korea, laku keras di pasar Indonesia. Bagaimana pengaruhnya ke mental generasi di lingkungan keluarga?
“Boombayah, boombayah, oppa…,” nyanyian yang terlontar dari bibir Nurmasita, pada suatu siang yang terik di Universitas Mataram (Unram), Kamis 17 Februari 2022. Lagu yang dinyanyikan oleh Nurmasita tersebut, adalah karya dari girl band asal Korea Selatan, Blackpink.
Girl band yang terdiri dari Kim Ji Soo, Kim Jennie, Park Chae “Rose” Young, dan Lalisa Manoban itu sukses menggetarkan dunia dengan lagu-lagu yang telah mereka rilis.
Nurmasita, Mahasiswa Unram jurusan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan bidang studi PPKN mengatakan, menikmati budaya Korea melalui banyak produk. Contohnya dari segi musik, menurut Nurmasita, musik-musik yang berasal dari Korea cenderung memiliki beat yang membuat para pendengarnya bisa menjadi lebih semangat.
“Saya suka dengan musik-musik yang punya beat tinggi, Musiknya Korea itu punya beat yang tinggi. Musik-musik itu (Korea) bisa bikin kita jadi semangat,” ucap Nurmasita.
Salah satu personil Blackpink, Kim Jisoo, selain bermusik juga berkecimpung dalam dunia akting. Sebagai seorang Blink (sebutan penggemar Blackpink), Nurmasita juga sangat menyukai film dan berbagai drama serial dari Korea, yang juga turut dibintangi oleh Kim Jisoo.
Berbeda dengan alasannya menyukai musik, Nurmasita menyukai film dan drama Korea lantaran beberapa sutradara kerap mengangkat sisi historis negara penghasil ginseng tersebut. Namun, di atas semua itu, Nurmasita mengakui faktor ketampanan dan kecantikan aktor dan aktris Korea, turut mempengaruhi alasannya menyukai film dan drama dari negara itu.
“Saya suka dengan sejarah. Film dan drama Korea itu, sering mengangkat tema sejarah di dalam ceritanya. Selain itu, karena pemain-pemainnya ganteng-ganteng dan cantik, cool, karismatik dan beda dengan orang-orang yang kita lihat di Indonesia. Itu yang buat saya jadi suka sama film dan drama Korea,” jelas Nurmasita.
Selain mengonsumsi produk-produk Korea yang berbau kesenian, Nurmasita juga ikut mengikuti gaya hidup dan menyantap makanan-makanan yang kerap ia temui dalam film dan drama Korea.
Seperti bila berkumpul dengan teman-temannya, belakangan ini Nurmasita kerap memasak makanan dengan teknik grill, persis dengan apa yang ditemuinya di film dan drama Korea.
“Saya sekarang jadi lebih suka nge-grill. Makanan itu (yang khas Korea) bikin saya jadi penasaran,” tutur Nurmasita.
Satu suara dengan Nurmasita, Arga Purnama, Mahasiswa jurusan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia juga mulai penasaran dengan gaya hidup dan makanan Korea pasca menyaksikan film dan drama serial.
“Karena dari nonton film dan drama Korea, saya jadi penasaran. Ketika saya melihat mereka makan di dalam layar, rasanya itu seperti enak sekali. Karena itu, saya jadi mulai suka coba-coba makanan Korea,” papar Arga, ditemui ntbsatu.com di kediamannya, Dasan Agung, Kamis, 17 Februari 2022.
Tentu saja, sebelum ikut kecipratan tren Hallyu, Arga tak terlalu menyukai produk-produk berbau Korea. Namun, pasca menyaksikan drama serial, Kill Me Heal Me yang dibintangi oleh aktor Ji Sung, Arga jatuh cinta dengan berbagai hal berbau Korea. Menurut uraian dari Arga, proses menyukai budaya-budaya Korea disebabkan oleh beberapa hal.
“Banyak hal yang bikin saya suka Korea, terutama film. Pertama, alur cerita yang ndak mudah ditebak. Kedua, banyak film dan drama Korea yang menurut saya menginspirasi. Ketiga, karena saya merasa kultur kita itu ndak terlalu jauh, jadi kita relate dengan apa yang mereka lakukan bahkan jokes yang mereka keluarkan,” jelas mahasiswa yang kini duduk di Semester VI itu.
Serupa tapi tak sama dengan Arga, Dzikrina Istighfar Zahrani, perempuan asal Kota Mataram, yang kini menempuh pendidikan di Universitas Brawijaya, bidang studi Ilmu Komunikasi mengatakan, menaruh perhatian kepada kebudayaan Korea, lantaran pengemasan budaya yang baik nan apik.
Lebih spesifik, Dzikrina menjelaskan bahwa Korea mampu mengakulturasi budaya yang berbau barat tapi bercita rasa timur.
“Budaya populernya Korea itu, biar bagaimana pun ada rasa barat. Tapi, cara mereka menyampaikannya itu masih dengan kultur timur. Jadi, kita kayak lebih mudah buat interest sama budaya popular Korea,” papar Dzikrina, saat diwawancarai ntbsatu.com, 17 Februari 2022.
Variasi Pasca Era Hallyu
Proses evolusi adalah fitrah yang tidak bisa dihindari manusia. Setiap evolusi, pastinya mengandung konsekuensi. Termasuk proses evolusi pra dan pasca masing-masing persona memilih untuk menyukai produk budaya Korea. Dzikrina mengakui ibunya kerap resisten terhadap budaya-budaya Korea.
“Bagi ibuku, rasanya itu seperti budaya Korea tidak memiliki nilai pembelajaran,” terang Dzikrina.
Sayangnya, sewaktu ntbsatu.com hendak mewawancarai langsung, orang tua Dzikrina menolak. Mengenai tidak adanya nilai dalam produk budaya Korea, Dzikrina membantah hal tersebut.
“Justru, setelah aku banyak konsumsi budaya Korea, aku bisa belajar banyak soal bagaimana interaksi sama orang, belajar soal make-up dan memperindah cita rasaku tentang banyak hal,” ujar perempuan penggemar lagu-lagu milik Taeyon itu.
Tak sama dengan Dzikrina, Nurmasita justru mengatakan orang tua tidak peduli sedikit pun terhadap perubahan pra dan pasca Korean Wave menerjang.
Orang tua dari Nurmasita, hanya mengingatkan perihal tak boleh terlena terhadap waktu hanya karena mengonsumsi budaya Korea.
“Ndak ada. Orang tua ndak pernah ngelarang. Mereka cuma mengingatkan jangan sampai lupa waktu, jangan bergadang, kalau hanya untuk nonton dan dengerin lagu-lagu Korea,” ucap mahasiswi yang kini duduk di semester VIII itu.
Namun, perubahan justru datang dari dalam diri Nurmasita sendiri. Nurmasita mengakui bahwa ia kerap lupa waktu, begadang hingga pagi hanya karena menonton film dan drama Korea.
“Sering lupa waktu kalau nonton. Terkadang, saya bisa nonton sampai pagi. Apalagi, kalau ceritanya sudah seru,” ungkap Nurmasita.
Cerita lucu nan mengejutkan, justru datang dari pengasuh Arga, Unang. Unang mengatakan awalnya ia tak menyukai sama sekali segala hal yang berbau Korea. Bahkan, Unang melarang serta menyudutkan Arga sewaktu mengonsumsi film dan drama Korea.
“Awalnya itu, saya ndak suka sama sekali dengan Korea. Malahan, saya sering melarang dan mengolok-olok Arga kalau dia sudah menonton film dan drama Korea,” ujar Unang.
Lantas, beberapa saat kemudian, Arga memaksa pengasuhnya untuk menonton seri drama favorit Arga. Fase mengejutkan pun datang, Unang malah menyukai film dan drama Korea, bahkan selalu menunggu datangnya episode terbaru.
“Saya kualat dari Arga. Waktu Arga paksa saya buat nonton Kill Me Heal Me, awalnya saya ndak mau. Tapi Arga paksa saya karena dari ceritanya, film itu relate dengan kami. Akhirnya, saya jadi suka Korea,” ujar Unang kepada ntbsatu.com.
Batas Wajar Korean Wave
Menyoal maraknya Korean Wave yang menerjang masyarakat, lebih khususnya para remaja, Psikolog, Ni Luh Eka Drajati Ekaningtyas S.Psi., M.Psi., mengatakan itu adalah gejala umum.
Terlebih, seperti persoalan yang dialami oleh Nurmasita, yang mengatakan jatuh cinta terhadap film dan drama Korea lantaran aktor dan aktris yang rupawan. Lebih lanjut, Ni Luh Eka mengkomparasikan tren K-pop dengan masa di mana dahulu, tren budaya Amerika sempat membludak di Indonesia.
“Adalah hal wajar ketika kita mengidolakan sesuatu yang menurut kita cantik dan tampan. Itu adalah respon yang spontan. Tren budaya Korea, saya kira hampir sama ketika budaya Amerika menjadi tren,” Ni Luh Eka membandingkan.
Masuk ke dalam gejala psikologis, selama masih dalam batas wajar, mengidolakan seseorang, menurut keterangan dari Ni Luh Eka adalah hal normal.
“Itu boleh-boleh saja. Soal standar wajar, penilaiannya adalah asalkan tidak merugikan orang lain dan diri sendiri,” ucap Ni Luh Eka.
Seperti fonemena yang dialami oleh Dzikrina, mengenai orang tua meanggap tidak ada nilai pembelajaran dalam Korean Wave, Ni Luh Eka menjelaskan idol dari Korea mampu membuat para penggemarnya bersimpati.
Karena, para penggemar tentunya tahu, bahwa untuk menjadi idol, bukanlah hal mudah, latihan mulai pagi hingga pagi, serta perlu perjuangan yang keras. Hal itu kemudian, dibaca oleh Ni Luh Eka sebagai nilai bekerja keras yang tereduksi dengan sendirinya di pikiran para penggemar.
“Contohnya saja ketika penggemar ingin nonton konser. Karena tahu orang tua tidak bakal memberi uang, tentunya penggemar akan bekerja keras menabung demi menghargai perjuangan idol mereka. Kedua hal ini, sama-sama bekerja keras, dengan orientasi masing-masing,” jelas perempuan yang kini mengajar di Institut Agama Hindu Negeri, Mataram ini.
Namun, Ni Luh Eka tetap memberi garis pada taraf mengganggu batas wajar. Jika aktivitas mengonsumsi Korean Wave menggangu keberlangsungan fungsional penggemar sebagai makhluk sosial, maka hal wajar pula bila orang tua menganggap tidak ada nilai dari produk budaya Korea.
“Kalau sebelumnya mereka (penggemar) sering interaksi dengan lingkungan dan sekarang banyak menghabiskan waktu hanya di depan layar untuk menonton film dan drama seri, wajar orang tua menganggap produk budaya Korea tidak bernilai,” tutur Ni Luh Eka.
Untuk kebutuhan eksistensi diri, akan menjadi hal normal jika manusia ikut masuk dalam tren yang memang digembar-gemborkan oleh sekelompok orang. Saat ini, salah satu produk budaya yang masif perkembangannya adalah Korean Wave.
Bakal menjadi hal biasa bila ada sekelompok orang yang ingin masuk ke dalam perkembangan tersebut, untuk hanya sekadar memuaskan hasrat mereka belaka.
Mengenai kasus Arga, yang pada awalnya pengasuh tak menyukai produk budaya Korea, tapi di kemudian hari jatuh di lubang yang sama, Ni Luh Eka menyebut gejala tersebut sebagai hal kebutuhan wajar manusia yang ingin mengambil bagian dalam tren yang sedang berkembang, untuk kebutuhan eksistensial persona itu sendiri.
“Individual differences adalah hal yang turut mempengaruhi. Balik lagi, selama batasnya wajar, maka hal itu adalah hal normal,” papar Ni Luh Eka.
Dalam berkomunikasi dengan anak, Ni Luh Eka menyarankan para orang tua harus menerapkan psikologi komunikasi, yang berarti anak tidak dipaksa melulu mengerti apa yang disampaikan oleh orang tua, melainkan juga orang tua harus memahami apa yang menjadi kehendak anak.
“Jadi nanti ketika anak menerima pesan dari orang tua, anak tidak merasa dimarahi, tidak merasa disalahi, tidak merasa disudutkan, sedih atau takut dan perasaan-perasaan yang lainnya, setelah dikomunikasikan, nanti dibikin kesepakatan bersama, yang melingkupi peran orang tua seperti apa dan juga peran anak seperti apa,” saran Ni Luh Eka.
Hallyu, Gejala Apa Yang Timbul?
Semua bentuk kebudayaan, tentunya menawarkan pengetahuan. Sekali lagi, karena manusia terus berevolusi, tentu saja nilai-nilai pengetahuan itu di kemudian hari merekonstruksi diri mereka sendiri.
Pemerhati budaya popular, Robbyan Abel Ramdhon mengatakan, K-pop sebagai sebuah side culture, menawarkan edukasi atau bentuk pengetahuan yang tidak biasa.
“Coba kita lihat di drama Korea, laki-laki ditampilkan bermoral. Misalnya, ketika ada perempuan masuk ke dalam mobil, laki-laki selalu menaruh tangannya di bagian atap pintu masuk. Sehingga, perempuan itu tahu bahwa harus berhati-hati,” ujar Abel kepada ntbsatu.com, Kamis 17 Februari 2022.
Abel menilai bentuk-bentuk sederhana seperti yang ia sebutkan di atas, adalah bagian dari penafsiran ulang tentang nilai yang baik, mau pun nilai yang tidak baik.
Korea sengaja memasukkan hal tersebut dengan tujuan membuat orang seperti Unang, pengasuh Arga, kemudian menguatkan atau bahkan merekonstruksi kembali soal nilai yang ada dalam dirinya.
Mengenai progresivitas Korean Wave, Abel mengamati pemerintah Korea sedang melakukan lompatan kebudayaan yang memang diniatkan melompat sejauh mungkin.
Apalagi, Korea dan para senimannya, cukup kolektif dalam mempropagandakan kebudayaan. Maksud dari lompatan kebudayaan tersebut, Abel menerangkan soal alur distribusi konten yang didominasi oleh kebudayaan-kebudyaan tertentu. Abel menyebut alur distribusi masa pra milenium hingga saat ini, didominasi oleh Korea.
“Melihat bagaimana fitur-fitur beserta item soal Korea bertebaran di media sosial serta digital platform, itu merupakan satu bentuk pemerintah Korea memang serius dalam mempersiapkan lompatan kebudayaan,” jelas Abel.
Walaupun pada saat ini Korean Wave hanya sebagai side culture dan belum mampu menggeser American Wave di posisi puncak popular culture, dengan yakin Abel mengatakan, Korea bakal bisa menggeser Amerika.
“Tunggu saja, nanti ada waktunya Korea bakal jadi raja yang bersenjatakan budaya,” ujar pria yang juga bergiat di Komunitas Akarpohon itu.
Lebih lanjut, mengenai kekhawatiran pergeseran budaya dan tradisi lokal karena Korean Wave menerjang, Abel justru menyebut, Indonesia tidak pernah menemukan landasan kebudayaan. Sebab, menurut Abel, dasar dari kebudayaan Indonesia sendiri adalah bentuk sebuah akulturasi budaya semenjak zaman kolonial.
“Kita (Indonesia) seperti tidak pernah menemukan landasan kebudayaan, Nah, ketika Korean Wave masuk, hal itu akan menjadi akulturasi-akulturasi baru,” jelas alumnus Universitas Airlangga, bidang studi Ilmu Komunikasi itu.
Sementara itu, popular culture menurut Abel, adalah bentuk dewasa dari side culture. Sedangkan, side culture, sesuai dengan namanya, adalah bentuk budaya-budaya pinggiran yang tidak tercantum dalam media massa. Kemudian, secara terus-menerus, side culture mengalami reproduksi seiring dengan semakin banyaknya peminat budaya tersebut.
Lebih lanjut, pengetahuan, massa, serta ide dari penganut budaya pinggiran itu bakal terus menggencarkan reproduksi, kemudian menjadi banyak, maka terbentuklah popular culture.
“Jadi, pada intinya, nanti semua side culture, asalkan cukup masif, bakal menjadi popular culture. Bahkan, Korean Wave adalah bentuk nyata dari side culture yang bakal bergerak menuju popular culture, mengingat perkembangannya yang sudah semakin pesat, juga nyata,” tutur Abel.
Ditanya pendapat mengenai apakah Korean Wave bakal terus menjadi primadona popular culture?. Abel mengatakan, untuk sementara waktu paling tidak Korea bakal terus berada di jajaran atas. Sebab, sepengamatan Abel, sampai saat ini, belum tampak side culture yang bergerak cukup masif sebagaimana gerakan Korean Wave atau bahkan gerakan Hip Hop yang sempat berkembang di Amerika Serikat. (GSR)