Hukrim

Pemerintah Dinilai Terlibat Pembiaran Kasus PMI Ilegal di NTB

Mataram (NTB Satu) – Peristiwa nahas tenggelamnya kapal Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Perairan Johor Bahru, Malaysia, Rabu 15 Desember 2021 lalu, mengundang kritik pedas.

Pegiat buruh migran di NTB menilai tragedi ini berulang karena pemerintah dinilai terlibat pembiaran praktik PMI ilegal.

Tak tanggung tanggung, ada 50 orang PMI termasuk asal NTB yang lolos melalui jalur ilegal dengan berangkat dari Tanjung Uban, Kepulauan Riau menuju Tanjung Balau, Kota Tinggi, Johor Baharu.

Koordinator Pusat Bantuan Hukum Buruh Migran (PBHBM) NTB, Muhammad Shaleh, menegaskan bahwa peristiwa itu terjadi diduga karena banyaknya calo pekerja migran berkeliaran hampir setiap desa di Lombok.

Maraknya para PMI undocumented (non prosedural) di NTB, khusunya di Pulau Lombok, lantaran PMI tersebut terpengaruh oleh bujukan calo yang berkeliaran.

Mereka berhasil meyakinkan calon PMI dengan tawaran biaya pemberangkatan murah bahkan gratis, serta syarat dipermudah.

IKLAN

Dalam pandangan Shaleh, pemerintah mulai membuka celah praktik percaloan berujung perdagangan orang ini melalui adminisrasi.

Seperti, membuat biaya admnistrasi dan keberangkatan yang mahal dan serba birokratis, akibatnya PMI undocumented tak dapat dihindari.

“Sederhananya para PMI ini tak mau ribet dan membayar mahal, karenanya mereka lebih memilih calo untuk mengurus keberangkatannya, sebab dianggap lebih murah dan mudah,” terangnya menjawab ntbsatu.com, Senin, 20 Desember 2021.

Praktik pembiaran berikutnya terlihat dalam proses penegakan hukum. Calo di Lombok bahkan menjadi kartel dari tingkatan kecil sampai besar.

Selama ini pemerintah atau penegak hukum hanya berhasil menindak segilintir calo-calo kecil. Sedangkan, para mafia besar yang melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) cenderung didiamkan.

“Hanya beberapa calo kecil aja yang ditindak di NTB ini. Tapi, mafia-mafia besar TPPO itu sampai sekarang belum ditemukan batang hidungnya,” kritik Shaleh.

Koordinator PBHBM Muhammad Shaleh. Foto : Ananami

Koordinator PBHBM yang sekaligus anggota tim Satgas TPPO NTB itu mengungkap, bahwa di lingkaran pemerintah, ada oknum yang diduga terlibat dalam sindikat perdagangan orang tersebut.

Indikasinya, PMI undocumented tidak akan lolos dari pemantauan jika tidak ada permainan dengan oknum petugas di dalam yang terlibat dari proses pengurusan dokumen ilegal sampai pemberangkatan.

“Masa iya PMI undocumented sebanyak itu lolos dari pengawasan petugas. Saat dia naik kapal atau pesawat, kan diperiksa juga identitasnya. Lah ini, lolos begitu saja. Patut diduga di lingkungan pemerintan ada yang bermain,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengamati bahwa kasus TPPO di NTB tidak berlangsung baru-baru ini, melainkan telah terjadi puluhan tahun silam.

Oleh karena itu, Shaleh menyarankan agar Pemerintah Provinsi NTB dan setiap pemerintah kabupaten/kota tegas dan sigap mengambil langkah yang solutif untuk mengurai problem meluasnya PMI undocumented.

“Pemerintah harus hadir ambil langkah solutif dan konkret karena ini sudah pelik. Sampai saat ini, belum ada tindakan pemerintah yang tersistem baik untuk menangani masalah PMI non prosedural di NTB,” tegasnya.

Ia juga menambahkan, layanan terhadap calon pekerja migran tidak mesti informasinya terpusat di tingkat pemerintah kabupaten/kota, tetapi lebih efektif jika pelayanannya terfokus di desa-desa.

Hal itu lebih memudahkan bagi calon PMI untuk mengurus dokumen-dokumennya, sehingga mereka tidak tergoda dengan tawaran dari calo.

“Kalau pemerintah ingin serius tangani ini, harusnya dipusatkan ke desa service para calon PMI ini. Biar lebih terjangkau oleh warga desa. Ini malah sering Pemkab yang lakukan sosialisasi, mana bisa dia tiap saat turun ke desa-desa,” pungkas Koordinator PBHBM.

Berikutnya, ia mengomentari rencana Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Mataram yang akan bentuk tim investigasi guna memburu siapa yang paling berperan sebagai calo, kemudian sindikat mana yang terlibat dalam proses pemberangkatan tersebut.

Komentar Shaleh, tim investigasi yang akan dibentuk BP2MI harusnya juga melibatkan Polda NTB, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi NTB, sehingga lebih serius dan mendalam investigasi yang dilakukan.

“BP2MI jangan hanya sekedar menggugurkan kewajiban mengusut kasus ini. Harusnya jika serius, mereka bisa libatkan pihak lain, seperti Polda NTB dan Disnaketrans biar lebih sakti investigasinya,” imbuhnya.

Disnakertrans Target Zero Unprocedural

Bukan tanpa usaha, pihak Disnakertrans Provinsi NTB mengaku sudah melakukan berbagai program untuk menekan pemberangakatan PMI secara ilegal.

Bahkan pencegahan PMI non prosedural sudah dimulai dari desa dengan melibatkan kepala desa, Babinsa dan Bhabinkamtibmas.

“Karena pencegahan PMI Non Prosedural harus dimulai dari hulu yaitu dari desa dan dusun,” kata Kadisnakertrans Provinsi NTB, I Gde Putu Aryadi.

“Para Kades, Kadus, Babinsa, babinkamtibmas, para kader posyandu keluarga dan para Toga-toma harus bisa mengedukasi dan memberikan layanan akses informasi yang lengkap tentang busa kerja luar negeri,” kata Gde Aryadi sebelumnya.

Para pihak itu, disarankan harus memiliki informasi yang lengkap tentang P3MI yang memiliki ijin perekrutan, negara penempatan serta job order yang tersedia, berikut persyaratan serta prosedur yang dipenuhi bila ingin menjadi PMI.

Langkah konkrit lainnya, Gubernur NTB Dr. Zulkieflimansyah dan Wakil Gubernur, Hj. Sitti Rohmi Djalillah tahun 2020 lalu telah menandatangi MoU bersama para Bupati dan Walikota se-NTB tentang program Zero Unprocedural PMI.

“Program ini merupakan wujud kepedulian pemerintah, sekaligus komitmen untuk melayani dan memastikan bahwa setiap warga yang akan berangkat ke luar negeri hatus sesuai prosedur,” tegas Gde.

BP2MI Serius Investigasi

Sementara pihak BP2MI Mataram mengungkapkan keseriusan pihaknya untuk melakukan investigasi menelusuri tekong hingga mafia yang memberangkatkan 50 orang tersebut.

“Kepala BP2MI sudah instruksikan bentuk tim investigasi. Kami di daerah tentusaja akan melakukan sesuai fungsi, mencari informasi. Supaya kita tahu siapa sebenarnya yang  membantu memberangkatkan ini. Siapa yang tidak bertanggungjawab ini,” kata Kepala UPT BP2MI Mataram, Abri Danar Prabawa ditemui di ruangannya,  Jumat 17 Desember 2021.

Bahkan disiapkan sanksi pidana, sesuai UU 18 tahun 2017, pelakunya dapat dipindana dengan penjara 10 tahun dan denda Rp 15 miliar.

Dalam perkembangannya menurut Abri, investigasi akan melibatkan Polda NTB, namun komandonya terpusat di BP2PMI pusat, sementara pihaknya menjalankan fungsi sesuai kewenangan di daerah. (DAA)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button