OpiniWARGA

Mudik, Sebuah Catatan Reflektif

Oleh: H. Nuriadi Sayip – Guru Besar Sastra dan Budaya FKIP Universitas Mataram

Di antara sekian ribu warga Indonesia, mungkin saya adalah salah satu orang yang secara aktif melakukan mudik yang sejak lama dilaksanakan, tepatnya sejak kuliah di Jawa hingga sekarang ini. Yang dulunya saat masih tinggal di Jogjakarta, rutinitas mudik saya lakukan pulang kembali ke kampung halaman (Lombok) pada saat liburan lebaran. Yang kini, setelah berkeluarga, rutinitas ini justru berbalik arah, yakni dari Lombok menuju Jawa (Jogjakarta).

Mudik sungguh menjadi sebuah rutinitas yang sangat menyenangkan karena di samping bertemu keluarga dan sahabat, juga karena ada “kepuasan bathin” yang bisa menjadi “healing” atau plesir, yang melepaskan diri dari rutinitas yang meletihkan.

Istilah “mudik” sudah lama dikenal sebagai sebuah kegiatan, tindakan, atau aktifitas pulang menuju kampung halaman pada momen menjelang lebaran atau menjelang Hari Raya Idulfitri. Konsepsi ini masih dalam definisi lama.

Namun, kini konsep atau definisi mudik sudah tidak lagi semata-mata bermakna berpergian dari kota atau rantauan ke desa atau kampung halaman, tetapi bermakna lebih fleksibel selama kegiatan tersebut dilaksanakan pada saat liburan Lebaran (Hari Raya Idulfitri) yang ditujukan bertemu dengan keluarga, bermaaf-maafan, bersilaturrahim,  berkumpul menikmati suasana lebaran bersama keluarga, hingga bertamasya ke tempat-tempat yang menyenangkan.

IKLAN

Konsep pertama tidaklah salah memang. Hal ini dikarenakan secara etimologis mudik berasal dari bahasa Jawa yang berfungsi sebagai kata kerja (verba). Mudik berasal dari akar kata “udik” (kata sifat/ajektiva) yang mendapat afiks atau imbuhan “m-” sebagai penanda kata kerja (verba). Dengan demikian, mudik mengacu pada sebuah tindakan atau kegiatan.

Lebih jauh lagi, menariknya, istilah ini mulanya bersifat peyoratif untuk orang-orang desa/kampung yang kini tinggal hidup di kota-kota, terutama Ibu Kota Jakarta, atau kota propinsi. Makna peyoratif adalah makna bahasa yang cenderung merendahkan, yang menegaskan kondisi asal muasal orang yang mudik itu. Bahwa dia adalah dulunya orang udik atau orang kampung. Udik bermakna kelas rendahan, miskin, katrok, lugu, tidak tahu banyak hal, dan sebagainya.

Akan tetapi, sekarang ini mudik sudah tidak lagi bermakna peyoratif. Mudik sudah bermakna luas, normal. Ia berlaku umum untuk siapapun, tanpa memandang kelas atau status sosial apapun.

Bahkan, sekali lagi ditegaskan di sini bahwa mudik tidak harus mengacu pada aktifitas kembali dari kota ke desa sebagaimana makna awalnya. Serta, mudik bermakna meluas yaitu seagai sebuah aktifitas yang mengacu pada migrasi dari kota ke kota, ataupun dari desa ke desa pada saat menjelang momen Lebaran.

Demikianlah bahasa. Ia tidak pernah bermakna tetap, sering kali bergeser pemaknaannya tergantung perkembangan zaman. Persis seperti kata “tewas”. Dulu kata ini hanya dipakai atau dibenarkan ketika mengacu pada orang yang berperilaku buruk seperti pencuri, pencopet, perampok, baru kata “tewas” tepat dipakai/disematkan.

Akan tetapi, dewasa ini kata “tewas” dipakai pada insiden seseorang yang meninggal tabrakan di jalan, meskipun orang itu orang baik atau tidak melakukan kesalahan. Rupanya kata “tewas” dipakai di peristiwa terakhir itu hanya untuk membangkitkan efek tragis pada pembaca/penerima kabar berita.

Prof Nuriadi Sayip Guru Besar dan Budaya FKIP Universitas Mataram Dinas Kebudayaan
Guru Besar Sastra dan Budaya FKIP Universitas Mataram, Nuriadi Sayip. Foto: Dok pribadi

Dari sudut pandang agama, konsep Mudik ini sejatinya bertitik tolak pada salah satu ayat Al-Qur’an yang sangat terkenal dari Surat Al-Baqarah ayat 156 yang berbunyi: إِنَّا لِلَّٰهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ , ʾinnā li-llāhi wa-ʾinna ʾilayhi rājiʿūn “. Yang artinya, kurang lebih: Sesungguhnya kita manusia berasal dari Allah dan akan kembali ke Allah.

Pada konteks ini, makna ayat Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 156 di atas sangatlah tampak dan disadari oleh manusia Nusantara khususnya orang Sasak. Betapa tidak, ayat itu secara singkat menekankan bahwa sesungguhnya kita semua akan kembali lagi ke awal kita berasal. Dengan kata lain hidup kita ini hakikatnya melingkar dan berputar mengikuti alur takdir dan nasib yang telah digariskanNya. Dan mudik merupakan upaya pemaknaan secara kultural terhadap hal tersebut, yang intinya bisa membangkitkan kesadaran atas hakikat hidup itu.

Jika dideskripsi konsep ayat itu, maka penggambarannya adalah melingkar atau membundar atau bulat. Perjalanan hidup manusia itu melingkar seperti arah jarum jam, yang berangkat dari Titik Nol (atau angka 12), maka akan kembali juga ke titik asal ia berangkat itu.

Dengan demikian, konsep mudik itu adalah melingkar. Kita yang kini sedang tinggal atau meninggalkan kampung halaman kita dikarenakan kita berumah di kota karena tuntutan kerja atau tugas, maka mudiknya kita pada momen lebaran adalah upaya melingkarkan fisik raga, rasa jiwa serta spiritualitas kita kepada kampung halaman, keluarga besar, leluhur, kenangan masa lalu kita.

Manfaatnya adalah untuk men-charge atau memberi ingatan, refleksi, serta inspirasi baru untuk tetap menjadi manusia yang baik dan makin bermakna pada alur nafas kehidupan kita berikutnya. Sesungguhnya, alur hidup manusia adalah melingkar.

Jika ditelusuri dari pragmatisnya, mudik mempunyai manfaat dan nilai yang sangat besar bagi siapapun. Karena itu tidaklah sekadar ajang kangen-kangenan dan silaturrahim saja, tetapi secara esensial adalah sebagai upaya untuk membangun kesadaran dalam diri kita bahwa kita adalah manusia, makhluk atau ciptaan Allah yang nilainya terikat pada takaran sosial. Serta, lebih dari itu, mudik adalah bukti bahwa ritme kemakhlukan semua makhluk di alam semesta ini adalah towaf (melingkar). Tidak melingkar dan bergerak berarti sulit untuk mengalami varian (kemajuan) hidup secara fisik dan spiritual.

Lalu bagaimana mudik di masyarakat Sasak? Konsep Mudik di masyarakat Sasak pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep yang berkembang di masyarakat Nusantara, terutama di Jawa. Hal ini disebabkan oleh keyakinan agama mayoritas di masyarakat Sasak sama halnya dengan yang di masyarakat Jawa., yakni mayoritas memeluk agama Islam. Oleh karenanya, visi, semangat, serta tujuan mudik yang dilakukan oleh orang Sasak pun sama dengan masyarakat Jawa atau daerah lain.

Orang Sasak pada dasarnya pecinta kampung halaman. Kampung halaman adalah tali batin dan raga yang selalu hadir dan dibawa ke mana pun mereka pergi. Bahkan ia menjadi identitas. Karena itu, segala hal yang telah menjadi kebiasaan yang dulu dilakukannya saat di kampung halaman akan terus-menerus dihadirkan atau dibiasakan tatakala berada di luar kampung halaman mereka. Dengan kenyataan ini, maka ketika ada kesempatan untuk mudik, orang Sasak akan tidak berpikir sekali dua kali untuk segera melaksanakannya.

Baginya, mudik adalah nge-recharge (mengisi kembali) terhadap segala hal, termasuk membuktikan diri kembali di kampung halamannya bahwa dia masih hidup dan menjadi bagian dari komunitas dan sistem sosial yang ada di kampung halamannya.

Mudik baginya adalah puncak atau titik ujung dari prosesi peribadatan hablum minannaas yang sejauh ini dijalaninya tatkala berada di daerah lain. Mudik adalah bukti bahwa mereka mencintai segala hal yang menjadi darah daging kehidupannya. Migrasi di tempat lain adalah sementara, sementara kampung halaman adalah permanen. Maka itu, singkatnya, mudik adalah keniscayaan karena kebutuhan lahir dan bathin.

Hingga akhirnya, secara khusus bagi saya yang melakukan mudik dalam konteks definisinya yang kedua atau yang kekinian, saya sedikit tidak bisa menemui makna, nilai, dan energi Kesasakan dalam lanskap sosio-kultur Jawa yang bisa menambah kecintaan saya sebagai anak bangsa Sasak terhadap tanah leluhur, kampung halaman. Benarlah apa yang dikatakan para budayawan bahwa untuk bisa memahami budayamu sendiri maka pahami dan pelajarilah budaya-budaya orang lain sebagai pembandingnya di dalam pikiranmu.

Yogyakarta, 1 April 2025.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button