Oleh: Mujaddid Muhas, M.A.
Awalnya, ingin menulis judul lebih panjang, tetapi saya tidak biasa menulis artikel bertajuk judul panjang. Ada baiknya, saya lengkapi pada alinea narasi ini saja: Gebrakan Resiprokal Bangkit Bersama Nusa Tenggara Barat Makmur Mendunia. Sesuai tagline Pemerintah Provinsi NTB periode 2025-2030: Bangkit Bersama NTB Makmur Mendunia. Dari pernyataan Gubernur NTB Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal di forum-forum resmi, dominan di antaranya memiliki daya magnetik yang menggema. Setidaknya, media-media banyak melansir pada rubrik headline dan menaikkannya pada judul-judul berita, dengan ragam dinamika.
Adapun di antaranya seperti meritokrasi birokrasi dan manajemen talenta; kemiskinan dan ketimpangan sosial; penanganan dan pengelolaan sampah; konektivitas pariwisata dan transportasi publik. Kesemuanya sebagai gambaran gagasan sekaligus nantinya menjadi kebijakan nyata. Digodok, dikomparasi dan dirancang sebagai rumusan kebijakan publik. Adagium birokrasi menyatakan kebijakan yang bagus ketika dikelola birokrasi dengan proses yang biasa-biasa, maka hasil terapan kebijakan normatif sifatnya seremonial (terpenting sudah). Sebantarannya, ketika ada kebijakan yang (seandainya) buruk, dikelola dengan cara-cara baik, kerap berakhir sebagai terapan kebijakan yang tak berarah. Apalagi, kebijakan yang seandainya buruk itu, dikelola birokrasi dengan serampangan, maka sudah bisa dipastikan semrawut.
Sebaliknya, kebijakan yang bagus, ketika dikelola oleh birokrasi topcer manajerial hierarki, maka terapan kebijakan berakhir dengan hasil inspirasional. Pelaksanaan program/kegiatan serta kebijakan prioritas berkesesuaian dengan kebutuhan publik. Terutama tentu saja kebijakan dari pemimpin melalui gagasan pemikiran yang bertumpu pada diskresi, pengalaman nyata dan komparasi historik. Biarpun kebijakan politik, mesti ada pada tiap kebijakan publik, tetapi kebijakan politik, tetap melihatnya dari perspektif publik, sebab pengguna dominan dari kebijakan pemimpin adalah publik. Dus, kebijakan publik tak lepas pula dari hal-hal yang sifatnya teknokratik dan politik.
Oleh karenanya, bukan saja perlu kemawasan terhadap interpolasi visi dari visi misi resmi Bangkit Bersama NTB Makmur Mendunia. Interpolasi visi misi lain adalah cara gampang untuk mereduksi atau mendistorsi kepemimpinan pada suatu pemerintahan. Membuatnya sibuk bergumul aktivitas tanpa prioritas, regulasi yang berubah-ubah dalam waktu singkat, berkelindannya aturan yang saling berbenturan, ataukah tarik ulurnya keputusan dalam ketidakpastian adalah sebagian proses yang bisa menghambat gagasan besar pemimpin menjadi kenyataan. Apalagi kini dengan keadaan yang serbaefisien.
Membaca efisiensi pada sistem birokrasi tak bisa dibaca dengan kacamata kuda. Perlu disimak lebih terang dari sisi perencanaan, pelaksanaan, dan pemonitoran. Pertama, Sisi Perencanaan. Efisiensi secara teknikal dilakukan melalui sistem yang bisa jadi lebih mudah. Tinggal disesuaikan dengan regulasi terbaru (Perpres nomor 1 tahun 2025), tetapi bisa jadi rumit, lantaran efisiensi tampak tidak kongruen antara OPD satu dengan OPD lainnya. Kendati, pada kategorial yang sama. Dari sini, membutuhkan kejernihan dan ketenangan untuk menentukan efisiensi final serta menyocokkan dengan regulasi tersebut. Efisiensi berdasarkan volume dan kategorial, bukan efisiensi berdasarkan random. Itu pun disesuaikan dengan kebijakan visi misi, agar terapan visi misi tidak terhambat. Janji publik dari pemimpin kepada rakyatnya adalah pernyataan yang terbenak. Punya durasi ingatan panjang, untuk diuji secara persisten.
Kedua, Sisi Pelaksanaan. Dari sisi ini, pelaksanaan efisiensi sebenarnya bukan pilihan tepat, tetapi cara paling cepat. Oleh karenanya, berdasarkan sisi pelaksanaan, mesti dilihat seberapa efektifnya. Pembatasan anggaran yang dihasilkan dari perampingan, penggabungan atau peleburan hanya akan bernilai nyaris sama ketika ada pula pembentukan atau pemekaran kedinasan. Soal reformulasi ini, tampak memerlukan kehati-hatian. Sebab pikiran-pikiran teknokratik dari perumusan kebijakan tetap perlu ada, untuk memastikan kesinambungan serta fungsi nomenklatur yang berkaitan layanan hajat hidup orang banyak. Semisal, gagasan pembentukan Dinas Kebudayaan, ada pula Desk Penghubung Pemprov NTB dengan gugus Pemda di kabupaten/kota, badan atau semacam unit Penyelaras Kebijakan atau sebutan lainnya merupakan gagasan bernas yang dibutuhkan oleh keadaan, sesuai perkembangan zaman, filosofi good governance, serta kolaborasi futuristik.
Ketiga, Sisi Pemonitoran. Efektifitas untuk mengimbangi efisiensi bisa saja dilakukan dengan peningkatan pendapatan daerah pada sumber-sumber kebocoran dan penyimpangan atau potensi yang belum dioptimalkan. Produktifnya Badan Usaha Milik Negara yang ada di NTB, serta Badan Usaha Milik Daerah yang dikelola Pemprov. Apabila ada BUMN/D yang tak punya kompetitor usaha, kemudian kolaps atau kokoh tetapi tak jelas dividennya dari tahun ke tahun, maka tata kelolanya memerlukan solusi manajerial dan lain sebagainya.
Sebagai pembaca rutin dan penyimak berkala multimedia, penulis artikel ini mencatat pada note, beberapa nukilan gebrakan pemimpin pada awal kepemimpinannya yang menghentak reaksi positif publik. Gebrakan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi yang membebaskan “beban” pajak dan denda tahun lampau dari pelanggan pemilik kendaraan. Dalam sekejap terhitung mingguan, pendapatan Provinsi Jabar melonjak progresif. Terpaut dana segar 400 miliar. Masyarakat berbondong-bondong membayarkan pajak kendaraan dengan adanya kebijakan “insentif” tersebut. Berlangsung hingga kini, diprediksi kas daerah bertambah tebal, bersamaan dengan hal itu, pemilik kendaraan pun melega bukan kepalang.
Kemudian Gubernur Daerah Khusus (DKJ) Jakarta Pramono Anung yang memberikan keringanan pembebasan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan bagi aset yang bernilai kurang dari dua miliar dengan tidak membayar alias nihil. Kebijakan tersebut, tampaknya berdampak bagi masyarakat kelas menengah ke bawah di DKJ. Memberikan stimulan di tengah himpitan turbulensi ekonomi dan rumitnya fiskal akhir-akhir ini. Persis setelah katastrofe Covid dan resesi (semu) yang melanda bumi pertiwi.
Ada lagi yang lebih sensasional, Gubernur Aceh Muzakir Manaf yang menghentikan (sementara) penggunaan barcode Pertamina. Mencari formulasi yang tepat seperti apa kedepannya. Memudahkan distribusi Bahan Bakar Minyak terhadap pelanggan yang tingkat antreannya mengular pada banyak Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum. Adapun “pemeo” yang beredar di sana: bumi minyak, satu diantaranya diperoleh dari Aceh, tetapi untuk membeli minyak sulitnya bukan main. Dibereskan dengan “hentakan” gebrakan resiprokal. Pada hari pertama dilantiknya, Gubernur Aceh langsung “ngegas” dan meluncurkan Gerakan Aceh Berwakaf. Mengurai kerumitan distributif, sendi-sendi pokok hajat hidup orang banyak.
Dari nukilan di atas, mungkin banyak pula gubernur lainnya. Dalam senyap, membijaki rakyatnya dengan kebijakan propublik. Kebijakan yang berpihak pada rakyat. Kita bisa menoleh ke belakang sejenak, deru derap kebijakan tingkat nasional. Presiden Prabowo Subianto pada masa awal pemerintahannya, menggebrak serta menghentak seantero nusantara. Pemutihan utang usaha mikro kecil menengah dan nelayan, kenaikan harga Gabah Kering Giling yang dipatok relatif tinggi berkisar 6.500 rupiah per kilogram. Ada pula kenaikan insentif gaji Guru Honorer serta beberapa kebijakan fiskal dan kemudahan berusaha. Kebijakan propublik pemerintah pusat yang kemudian diteladani pemerintah provinsi. Ke depan, tidak menutup kemungkinan pola tersebut, menginspirasi pemerintah kabupaten/kota.
Pun Gubernur NTB, dalam berhitung bulan, kepemimpinannya telah memberi “hentakan” senyap namun berarti. Di antaranya, kebijakan revitalisasi irigasi dari pusat menjadi program yang direalisasikan di NTB. Ada lagi, pembayaran termin utang Pemprov yang selama ini menjadi sorotan, telah selesai terminnya. Termasuk utang di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan apresiasi para atlet berprestasi peraih medali. Kemudian, proses penaikan rating tipe Rumah Sakit H. L. Manambai Abdulkadir dari C ke B, dalam upaya optimasi layanan medis di Pulau Sumbawa serta beberapa hal renik namun fundamental lainnya. Penyelesaian utang, bagi Pemprov NTB periode ini, terasa penting dengan berupaya memulai dari awal, tidak dengan minus dan perasaan was-was. Kembali pada perihal yang kerap digaungkan Gubernur NTB, meritokrasi birokrasi dan manajemen talenta; kemiskinan dan ketimpangan sosial; penanganan dan pengelolaan sampah; konektivitas pariwisata dan transportasi publik pada gebrakan selanjutnya.
Gebrakan kebijakan propublik dan hentakan reaksi positif publik, penting bagi spirit kepemimpinan yang periodikal. Lima tahun bukan waktu panjang, untuk merealisasi gagasan-gagasan bernas ataupun rencana skala besar untuk dipadupadankan menjadi kenyataan. Seperti lazimnya, maksimal pemerintahan efektif empat tahun, tahun kelima memasuki pemilihan elektoral prosedural. Rincinya, tahun pertama konsolidasi dan pertautan, tiga tahun esensi komitmen kepemimpinan, tahun terakhir siap-siap menghadapi justifikasi publik melalui pemilihan lima tahunan. Bagus dan positif bagi publik bisa melanggeng berkelanjutan, kurang bagus dan negatif dari kompetitor lainnya, mesti terpending. Konsekuensi dari suatu kompetisi publik.
Sudah saatnya para pemimpin pemerintahan mengonversi agenda seremonialnya menuju agenda substantif yang lebih berdampak nyata. Acara lapangan melihat langsung komunitas atau warganya. Dalam hal ini, Gubernur Jabar telah menapakinya. Berdampak langsung bagi berbalik arusnya kebijakan. Sebelumnya hanya berbasis “pikiran ruangan” menjadi kebijakan autentik “realita lapangan”. Memungkinkan pemimpin membaca langsung denyut nadi warganya. Jadi kalau kita di NTB berlumbung padi, berlimpah jagung, berjejer bawang, hingga padat tembakau, mengapa masih ada beras impor, jagung yang murah, bawang yang tak terdistribusi, bahkan tembakau yang terabaikan? Kemudian, potensi pariwisatanya yang estetik dan prospek event sebagai spot destinasi dunia. Kita tak mesti limbung di daerah yang telah mendunia dengan lumbung-lumbung kedigdayaan. (*)