OpiniWARGA

Membaca Sinyal Politik Pelantikan Kadis DP3A NTB di Tengah Wacana Peleburan

Oleh: Nur Khotimah – Ketua Suara Perempuan Nusantara, Aktif Mengadvokasi Kekerasan Terhadap Perempuan, Dan Pernikahan Anak

Di saat publik menanti arah kebijakan pembangunan yang lebih inklusif bagi perempuan dan anak di Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Provinsi justru melempar sinyal politik yang membingungkan.

Di satu sisi, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) yang baru saja dilantik memberi kesan komitmen keberlanjutan. Namun di sisi lain, wacana peleburan DP3A ke Dinas Sosial kembali menyeruak, menimbulkan tanya: apakah pelantikan ini bentuk penguatan, atau sekadar gestur administratif sebelum penghilangan kelembagaan yang selama ini memperjuangkan isu perempuan dan anak?.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat baru saja melantik 72 pejabat baru, termasuk Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A). Langkah ini dilakukan di tengah masih menguatnya wacana peleburan DP3A ke dalam Dinas Sosial yang sempat dilontarkan oleh Gubernur NTB.

Dalam situasi semacam ini, publik patut bertanya: apakah pelantikan ini merupakan bentuk penguatan kelembagaan, atau justru bagian dari strategi transisi yang membungkus niat penghapusan?.

Pengalaman panjang advokasi kebijakan menunjukkan bahwa ketika lembaga perempuan diintegrasikan ke dinas lain, nyaris selalu terjadi pereduksian mandat. Isu perempuan dan anak yang sejatinya membutuhkan pendekatan lintas sektor dan keberpihakan khusus, malah tenggelam dalam logika pelayanan umum. Bukan pengarusutamaan gender yang terjadi, melainkan pelemahan struktural yang membuat kebijakan menjadi netral gender, dan pada akhirnya buta gender.

Pelantikan kepala DP3A saat ini dapat dibaca sebagai gestur politik simbolik. Pemerintah seolah ingin menegaskan bahwa dinas ini masih berjalan, bahwa layanan masih berlangsung, dan bahwa wacana peleburan hanyalah suara liar.

Namun, tanpa pernyataan resmi pembatalan rencana peleburan, dan tanpa arah kebijakan yang tegas untuk memperkuat mandat kelembagaan, pelantikan ini justru menimbulkan kecurigaan. Ia bisa jadi bagian dari taktik menenangkan publik, sebelum akhirnya lembaga ini benar-benar dilebur dalam sunyi.

Pertanyaannya: mengapa lembaga seperti DP3A harus diperlemah justru ketika data menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak masih tinggi di NTB?.

Beberapa bulan ini saja, kasus demi kekerasan seksual dilaporkan, belum termasuk yang tidak tercatat karena korban memilih diam. NTB juga masih menjadi daerah kantong pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) perempuan dengan kerentanan tinggi terhadap perdagangan orang, eksploitasi, hingga kekerasan berbasis gender. Dalam konteks ini, yang dibutuhkan justru adalah penguatan kelembagaan, bukan pelarutan.

Ketika DP3A dilebur ke dinas sosial, maka perhatian terhadap dimensi struktural dan kultural dari ketimpangan gender cenderung hilang. Perspektif korban menjadi kabur. Advokasi kebijakan bergeser menjadi semata pelayanan kasus.

Apalagi dalam birokrasi yang sangat hierarkis, bidang perempuan sering kali menjadi sub-koordinat yang tak memiliki daya tawar anggaran maupun akses langsung ke pengambil kebijakan.

Lebih jauh, pelantikan di tengah wacana peleburan juga menyimpan pesan ambigu kepada publik. Ia membuka pertanyaan: apakah pelantikan ini dilakukan untuk mengisi kekosongan jabatan secara prosedural, atau justru menyiapkan sosok yang “tepat” untuk mengawal agenda peleburan itu sendiri?. Jika yang kedua benar, maka ini bukan penguatan, melainkan pelembutan jalan menuju pelemahan.

Karena itu, penting bagi pemerintah untuk secara terbuka menyampaikan arah kebijakan yang sebenar-benarnya. Jika memang DP3A akan tetap berdiri, maka tegaskan dalam peraturan dan penganggaran. Jika tidak, maka bertanggung jawablah menjelaskan konsekuensinya kepada publik. Sebab di balik struktur kelembagaan, ada hak-hak perempuan dan anak yang selama ini bertumpu pada keberadaan DP3A.

Di tengah meningkatnya kesadaran akan pentingnya keadilan gender dan perlindungan anak, pemerintah tidak boleh bermain simbol. Pelantikan bukan solusi jika tidak dibarengi dengan kejelasan arah kebijakan. Tanpa itu, ia hanya menjadi kosmetik birokrasi, indah di permukaan, tapi rapuh di dalam. Dan ketika kelembagaan perempuan dilemahkan, maka yang dirugikan bukan hanya struktur, tapi seluruh masyarakat yang memimpikan keadilan yang setara. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button