Opini

Fahri Hamzah Sudah Berubah

Oleh: Erizal

Fahri Hamzah itu baru belajar ber-eksekutif. Kalau ber-legislatif, dia jagonya. Singa Parlemen julukannya. Sang Pendobrak judul sebuah buku, karangan Ade Wiharso. Buku terlengkap saat ini tentang biografi politik Fahri Hamzah. Sekitar 300 halaman. Fahri Hamzah pernah hendak membedah buku ini. Sebaiknya tak usah. Sebab itu tadi, ia baru akan belajar ber-eksekutif, sementara buku itu bercerita tentang Fahri Hamzah ber-legislatif.

Orang akan semakin salah mengerti tentang Fahri Hamzah. Orang tak mudah membedakan menjadi eksekutif dan legislatif itu. Bagi mereka sama saja. Padahal ber-legislatif itu penuh semangat, kepalan tangan, tepuk tangan, dan mengharu-biru. Sementara ber-eksekutif, justru sebaliknya. Lebih banyak bekerja dalam diam. Bicara seperlunya saja. Justru dikritik bukan mengkritik.

Salah mengerti soal Fahri Hamzah itulah yang berlanjut sampai saat ini. Fahri Hamzah disorot dalam kaca mata ber-legislatif, bukan ber-eksekutif. Pasti tak akan ketemu. Mereka meminta Fahri Hamzah seperti yang dulu lagi. Kritis, pendobrak, lantang, dan sebagainya. Intinya, ber-legislatif lagi, menjadi oposan. Sementara saat ini, Fahri Hamzah sedang ber-eksekutif.

Maka sampai lebaran kuda pun hal itu tak akan pernah terwujud. Berbeda posisi. Fahri Hamzah sudah berubah. Betul. Dulu garang, sekarang lembek. Betul. Dulu kritis, sekarang penjilat. Tak salah, alias betul juga. Dulu konsisten, sekarang inkonsisten. Betul lagi. Selamanya Fahri Hamzah akan salah, kalau kaca mata yang dipakai dia ber-legislatif, sementara saat ini dia sedang ber-eksekutif. Untung saja, Fahri Hamzah terlihat siap dengan konsekuensi itu.

IKLAN

Sebetulnya, tak mudah apa yang dijalani Fahri Hamzah saat ini. Pindah jalur dari legislatif ke eksekutif. Jalur ramai pindah ke jalur sepi. Kalau dari jalur sepi pindah ke jalur ramai, itu pasti lebih mudah. Dari eksekutif ke legislatif. Apalagi ukuran baku sukses sebagai anggota legislatif itu tak ada juga. Orang yang dari eksekutif lalu tenggelam dalam keramaian legislatif, biasanya tak akan dicari orang. Dibiarkan saja.

Betapa banyak mantan menteri, gubernur, bupati dan walikota, yang menjadi anggota legislatif, tapi tak terdengar lagi suaranya? Bisa jadi dia ikut bersekongkol pula. Tahu sama tahulah kita. Tapi orang yang pindah dari legislatif ke eksekutif, pasti tak mudah. Apalagi seperti Fahri Hamzah. Dia meletakkan standar yang tinggi sebagai seorang legislator. Sukses ber-legislatif belum tentu sukses ber-eksekutif. Suksesnya berbeda.

Fahri Hamzah menjadi seorang legislator hampir 20-an tahun, sementara duduk di eksekutif persis seumuran jagung. Belum ada apa-apanya. Belum bisa dinilai. Tapi dianggap sudah seperti panas setahun sirna oleh hujan semalam. Fahri Hamzah dianggap telah berubah hanya karena pindah kamar eksekutif dari legislatif. Apakah kalau dia tak pindah ke kamar eksekutif, ia baru bisa dikatakan konsisten?

Fahri Hamzah sebetulnya sudah ingin tetap berada di kamar legislatif, tapi sayang partainya gagal. Apakah salah, kalau dia memilih pindah ke kamar eksekutif karena mendapat tawaran dari Presiden Prabowo yang merupakan Capres yang didukungnya? Mestinya tidak. Justru aneh kalau dia menolaknya, dan orang yang tak mendukung Capres yang menang, justru enak-enak saja duduk sebagai menteri, tanpa merasa aneh sedikitpun.

Fahri Hamzah sedang disorot soal rangkap jabatan. Cuitan lamanya disandingkan dengan posisinya saat ini, sebagai Wamen Perumahan dan Komisaris BTN. Padahal kalau mau sedikit menganalisis cuitan lama Fahri Hamzah itu, bedanya kentara sekali. Rangkap jabatan yang dipersoalkan Fahri Hamzah itu bukan pengurus partai di satu pihak, dan menjadi menteri di pihak lain, atau menjadi Komisaris BUMN di pihak yang lain lagi.

Melainkan, pejabat negara atau menteri, tapi tetap saja berbisnis dan posisinya sebagai menteri itu dicocokkan dengan bisnis yang dijalankannya, meskipun sedang dijalankan oleh orang lain. Bahkan, aturan diubah untuk kepentingan bisnisnya itu. Dan Fahri Hamzah tidak sedang berbisnis di posisinya saat ini. Dia menjaga itu betul, baik saat di legislatif maupun di eksekutif. Dengan kata lain, Fahri Hamzah itu sebetulnya masih sangat konsisten.

Tapi buat apa pula membela Fahri Hamzah. Ia sendiri sudah siap dikritik, bahkan dihujat. Ia sudah berjanji tak akan melaporkan mereka yang menghujatnya. Ini juga yang konsisten dari dulu. Jangan dikira, ia sebagai legislator tak juga dikritik dan dihujat. Ia justru dihujat pendukung pemerintah. Yang memuja-mujinya, yang anti-pemerintah. Kini posisinya terbalik. Ia dikritik dan dihujat oleh mereka yang anti-pemerintah.

Fahri Hamzah tak akan membela diri. Ia hampir tak mau tampil di televisi, kecuali yang berkaitan dengan tugasnya. Lagian ini belum waktunya. Ini waktunya bekerja. Target yang dibebankan kepada dirinya dari Presiden Prabowo, sungguh sangat berat. 3 juta rumah buat keluarga kurang mampu pertahun. Sebagai Komisaris BTN itu, sebetulnya sejalan. Kredit rumah sederhana biasanya lewat di situ. Tapi yang tetap menganggapnya salah, ya tak masalah juga. Negara ini negara demokrasi yang tak ada duanya.

Sepanjang Fahri Hamzah masih amanah, sebetulnya tak ada yang berubah dari seorang Fahri Hamzah. Ia masih Fahri Hamzah yang dulu. Berkinerja baik dan berintegritas tinggi. Tidak pernah korupsi, kendati pernah disebut terlibat korupsi oleh Nazaruddin. Orang hanya ingat saat Nazaruddin menyebutnya, tapi tak ingat saat Nazaruddin sendiri yang membantahnya. Orang ingat saat namanya ada dalam masalah benur, tapi orang tak ingat bahwa waktu itu dia murni pengusaha dan baru memulai usahanya karena bukan lagi pejabat negara.

Biasanya orang hanya ingat judul-judul besarnya saja, tapi tak ingat judul-judul kecilnya. Orang seperti Fahri Hamzah ini memang tak boleh terlihat salah sekecil apa pun. Terlihat salah saja tak boleh, apalagi benar-benar salah. Ini menguntungkan sebetulnya bukan merugikan. Artinya, Fahri Hamzah dijaga oleh publik, bahkan oleh lawan-lawan politik yang itu-itu saja. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button