Oleh : Satria Tesa, SH
Menghargai momentum 77 Tahun Indonesia Merdeka, Agustus lalu, LTDS membangun gerakan simbolik, menyoal kerusakan jalan “kewenangan” Pemkab Bima. Aksi dilakukan disejumlah Desa, yang mengalami kerusakan jalan, teramat parah di Desa Kala, O’o, Mpili dan Mbawa (Donggo) dan Desa Wadukopa (Soromandi). Selama, lima hari beruntun (16-20) diberbagai “lubang jalan” mahasiswa menanam Pohon Pisang. Pohon pisang itu ditempeli foto Bupati Bima, Ketua DPRD Bima dan sejumlah anggota DPRD Dapil III. Mereka, ingin mengabarkan bahwa Eksekutif dan Legislatif harus bertanggungjawab. Memperbaiki jalan yang rusak selama bertahun-tahun itu.
Rasa keadilan yang terusik, menyulut warga Desa Kala dan Desa O’o bergotong royong. Mereka menambal ratusan meter, jalan rusak yang menghubungkan Desa setempat menggunakan “Rabat Beton”. Waktu itu, terlihat sekali solidaritas masyarakat “memperbaiki” jalan yang oleh aturan, kewenangan Pemkab Bima. Pada momentum itu, masyarakat “merampas” kewenangan Pemerintah demi menata tanah kelahiran.
Jalan rusak telah memantik beragam reaksi dari masyarakat Bima. Setiap saat bertumbuh gerakan sosial yang mengingatkan bahwa ada tanggungjawab yang harus dilaksanakan Pemerintah. Melalui perspektif ini, gerakan sosial adalah, kebutuhan sekaligus keniscayaan. “Dimana pun ada ketidakadilan, maka tumbuh perlawanan”.
Selama ini, Pemerintah cenderung tidak transparan, mengabaikan aspirasi, dan partisipasi masyarakat, bias politik, tidak manusiawi, hingga mengubur nilai-nilai keadilan masyarakat. Paradigma itu menjadi “arus dominan” kebijakan pembangunan jalan. Legislatif dan Eksekutif, kompak “menyandra” hak dasar rakyat melalui dalih-dalih politis. Situasi inilah yang memunculkan ironi, bahwa seolah-olah mereka “pemberi” sedang rakyat “penerima” yang dengan mudahnya mereka permainkan. Imbasnya, “satu kilometer jalan diperbaiki, namun disaat bersamaan dua kilometer jalan mengalami kerusakan.”
Dari Data Pejabat Politik
Desakan terhadap Pemerintah untuk mengakhiri diskriminasi pembangunan itu juga disampaikan DPRD Bima. Parlemen menyatakan perencanaan pembangunan jalan pada Dinas PUPR tidak terlihat adanya kesamaan dan kesetaraan. Postur APBD untuk Donggo, Soromandi, Sanggar dan Tambora tidak sama dengan Kecamatan lainnya, hingga pembangunan jalan tidak merata. Rekomendasi memperbaiki “paradigma” pembangunan ini disampaikan DPRD Bima Tahun 2020, terhadap LKPJ Bupati Bima Tahun 2019.
Merujuk LKPJ Bupati Bima 2019, 100 Miliar APBD digelontorkan untuk peningkatan aksebilitas dan kualitas infrastruktur di wilayah Kabupaten Bima. Anggaran tersebut dimaksudkan untuk, peningkatan, rehabilitasi dan perawatan infrastruktur (jalan, jembatan dan irigasi). Melalui anggaran itu, Pemerintah klaim telah bangun 38 unit jembatan, 9,1 Km jalan dan 16 Km, saluran irigasi. Mencermati fakta tersebut, kentara sekali bahwa anggaran untuk jalan di Kabupaten Bima hanya 9,1 Miliar pada tahun 2019. Bagaimana dengan tahun sesudahnya?
Penggunaan anggaran dan implikasinya untuk pembangunan jalan di Bima hanya transparan di tahun 2019 (LKPJ Bupati 2019). Dokumen LKPJ Bupati 2020 dan 2021, tidak pernah menyajikan informasi secara lengkap. Sementara, dihimpun dari Bima Dalam Angka 2022, total jalan kewenangan Pemkab Bima mencapai 831 Km. Berdasarkan “jenis permukaan” jalan tersebut terdiri dari jalan aspal, 449 Km, jalan kerikil, 149 Km, jalan tanah, 215 Km dan jalan penetrasi, 17 Km. Sementara berdasarkan “kondisi” jalan terdiri dari jalan baik, 428 Km, jalan sedang 33 Km, jalan rusak, 340 Km dan jalan rusak berat, 28 Km.
Menganalisis data yang bersumber dari Dinas PUPR tersebut, tersirat adanya peningkatan “jalan baik” yang berbanding lurus dengan peningkatan “jalan rusak”. “Tahun 2019 jalan baik itu, 315 Km, menjadi 349 Km, Tahun 2020, kemudian menjadi 428 Km, Tahun 2021. Sedang jalan rusak Tahun 2019 itu, 165 Km, menjadi 72 Km, Tahun 2020, kemudian menjadi 340 Km pada tahun 2021.”
Hak Dasar Rakyat “Tidak Ramah”
Tujuh tahun “bima ramah” secara yuridis, filosofis dan sosiologis menentukan wajah dan anatomi Dou Labo Dana. Inilah pentingnya ada visi, misi dan program yang tertuang dalam RPJMD. Alih-alih mengembangkan potensi dan memakmurkan daerah melalui peranan kreatifitas dan inovasi disetiap sektor, rakyat justru dihadapkan pada kenyataan buruk: sektor dasar rakyat yang menentukan dalam keadaan kronis.
Tentu bukan karena tidak ada daya dan upaya. Menurut penulis, ini lebih pada soal tidak ada niat baik dan aktualisasi kebijakan publik yang baik. Imbasnya, kewajiban dasar Pemerintah menunaikan hak dasar rakyat terpinggirkan bahkan dalam level percakapan. Politik yang seharusnya menjadi sarana, untuk berlomba-lomba mendistribusikan keadilan malah jadi “pasar” menjanjikan untuk manusia serakah. Sedang parlemen yang didambakan sebagai penyeimbang dan pengontrol kekuasaan, justru menjadi arena yang sangat transaksionis, hedonis, dan kompromistis. Politik pasar ini yang menciptakan “gladiator”, (pejabat politik) hipokrit.
Urusan rakyat tentu “anggaran terbatas”, tapi jika urusan kepentingan mereka sendiri “anggaran tidak terbatas. Tidaklah mengherankan penyelewengan APBD oleh Pemkab Bima dan DPRD Bima selama 2021 benar-benar mengerikan. Kerugian daerah mencapai puluhan miliar. Padahal mereka diberikan gaji dan beragam tunjangan.
Apa yang tak diberi rakyat? mulai beras untuk mengganjal perut sampai baju Rp “10 juta” yang membungkus tubuh, difasilitasi APBD.
Kondisi inilah yang buat kita harus berterus terang, bahwa daerah kita dikelola logika “bandar” yang sepenuhnya tunduk pada hukum pasar. Bahwa boleh kenyang sendirian disaat sejumlah orang kelaparan. Disitu barangkali uang bisa membeli harga diri.
Kita berharap selalu ada keteladanan. Tidak hanya sekedar normalisasi keadaan, seolah-olah wajar menyelewengkan anggaran dan “pilih bulu” karena alasan politis; Pejabat Politik.
Faktanya, kita tidak tahu total APBD (7 Tahun Bima Ramah) untuk infrastruktur jalan. Kita juga tidak tahu berapa puluh kilometer jalan yang telah diperbaiki oleh Pemerintahan “Bima Ramah”. Jelasnya, 364 Km jalan rusak mengalami kerusakan. (Bima Dalam Angka).
Hari-hari depan, gairah kita yang menghendaki tumbuh keadilan diseluruh jalan rusak jangan sampai lebih besar dari gairah Pemerintah untuk “saling sandra” dalam menumbuhkan penyelewengan. Hari-hari depan, foto para pejabat bukan hanya harus digantung pada pohon-pohon pisang, yang ditanam di “lubang jalan”. Kita harus mulai pikirkan hal yang lebih, dari sekedar gerakan moral. Melalui itu, kantong-kantong kezholiman yang berwujud “jalan rusak” dipaksa untuk dialiri keadilan. (*)