Mataram (NTBSatu) – Sejumlah umat Hindu di Lingkungan Negara Sakah, Cakranegara, Kota Mataram saling serang menggunakan api yang disulut pada ‘bobok’ (seikat daun kelapa kering) saat tradisi perang api, pada Minggu sore, 10 Maret 2024.
Tradisi tersebut telah dilakukan sejak abad ke-16, yang bermula ketika ada bencana wabah penyakit terjadi di Negara Sakah dan Sweta. Wabah penyakit itu disebut ‘gering’ dalam bahasa Bali.
Diyakini, tradisi perang api dapat menghilangkan wabah penyakit tersebut. Sehingga pada setiap menjelang perayaan Nyepi di Kota Mataram selalu digelar kegiatan tersebut.
“Karena gering itulah ada petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa memberikan bantuan petunjuk diselenggarakannya perang api untuk menghindari wabah penyakit,” jelas salah satu masyarakat yang ditokohkan di Lingkungan Sweta, Komang Kertayasa.
Setelah dijalankan perang api pada ratusan tahun lalu, maka diberikanlah kesempatan kepada muda-mudi, terutama yang disebut menek kelik (yang baru dewasa) untuk ikut melaksanakan perang api.
Berita Terkini:
- Profil Hary Tanoesoedibjo, Bos MNC yang PHK Karyawan
- Setelah Brigadir Nurhadi, Kini Muncul Kematian Janggal Anggota TNI AU Asal NTB
- Promo Gila Digimap, Harga iPhone 13 dan 15 Turun Drastis Hingga Rp5 Juta
- Tuai Banyak Kritikan, Mori Hanafi Pastikan NTB Tetap Jadi Tuan Rumah PON 2028: Kesiapan Venue 80 Persen
“Walaupun hanya sekadar terkena abunya, itu sudah membantu dia tidak terhindar penyakit,” ujar Komang.
“Makanya muda-mudi di sini semuanya kompak dari Negara Sakah dan Sweta melaksanakan perang api,” sambungnya.
Komang menegaskan, perang api ini tidak termasuk sebagai kekerasan. Melainkan, simbol untuk menghilangkam wabah penyakit.
Bahkan, usai dilaksanakan perang api, para muda-mudi yang ikut serta saling bersalaman.
“Tidak pernah terjadi keributan. Mereka emosi saat perangnya saja, setelah itu bisa damai dan tidak ada perkelahian yang berlanjut,” tutur Komang.
Hal senada juga disampaika Kepala Lingkungan Sweta Timur, Ida Bagus Ngurah. Ia mengatakan, kalau masyarakat Negara Sakah dan Sweta masih memiliki hubungan ikatan keluarga sehingga tidak ada dendam dalam perang api.
“Meskipun saat perang api mereka marah dan terluka, tetapi besoknya tetap aman, tidak musuhan,” tandas Ngurah. (JEF)