Bima (NTBSatu) – Seorang Ahli Biologi Reptor, Amerika Serikat, Kara Beer, awal Mei 2024 ini melihat kondisi alam di Bima rusak parah.
Kondisi ini berdampak pada keberadaan sejumlah Elang Flores (Nisaetus floris), khususnya di Desa Kaowa, Kecamatan Lambitu, Kabupaten Bima, NTB.
“Ancaman terbesar di depan mata hilangnya habitat mereka,” kata Kara Beer dalam keterangan tertulis diterima NTBSatu, Senin 13 Mei 2024.
Kara Beer melihat sendiri kondisi hutan dan pegunungan di Bima yang dibabat habis untuk ladang. Di antara hutan yang tersisa di Desa Kaowa, masih terdapat sarang aktif Elang Flores dan mungkin juga akan segera punah.
Awal mulanya, Kara yang ahli biologi raptor dari AS, melakukan perjalanan keliling Indonesia.
Ia berkesempatan bertemu dengan Usep Suparman dari Raptor Censervation Society-Bogor indonesia dan timnya untuk memantau sarang aktif Elang Flores yang terancam punah di Bima.
“Kami melakukan perjalanan ke pegunungan melewati banyak desa kecil. Perjalanan itu memberi kami pemandangan luas ke seluruh lembah dan lereng bukit di sekitarnya. Jagung dan ladang pertanian lainnya menyelimuti daerah tersebut, dan terdapat banyak desa dengan bangunan, lalu lintas, dan manusia di antaranya,” papar Kara.
“Dan di seluruh lanskap tersebar beberapa bagian kecil hutan asli yang terisolasi. Habitat Elang,” ungkapnya.
Berita Terkini:
- Menelusuri Jejak PMI Legal di Malaysia: Rindu Bekerja di Kampung Sendiri, Titip Pesan untuk Gubernur NTB Terpilih
- Dua Mahasiswa Ummat Borong Juara Kompetisi Canva Tingkat Nasional
- Kunker ke Surabaya, Komisi III DPRD NTB Nilai Perubahan Perda Penyertaan Modal Mendesak
- Diskursus Vol VI Overact Theatre, Menguak Sejarah Teater Kamar Indonesia
- Perjalanan Kepemilikan ANTV yang Kini Lakukan PHK Massal
Cerita yang diperolehnya dari Tim RCS, bahwa ancaman terbesar terhadap FHE dan penyebab terbesar penurunannya adalah hilangnya habitat.
Burung-burung tersebut bergantung pada hutan asli ini untuk membangun sarang, membesarkan anak-anaknya, dan mencari makanan.
“Sebagai spesies yang sangat sensitif, mereka tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan drastis pada lanskap tempat mereka hidup,” terangnya.
Suparman dari RCS dan timnya, kata Kara Beer, saat ini berada di garis depan dalam melestarikan spesies ini. Selain pengumpulan data ilmiah yang akan menjadi masukan bagi strategi konservasi, mereka juga mendidik dan melibatkan komunitas lokal yang hidup berdampingan dengan spesies-spesies tersebut.
“Saat bertemu dengan pemimpin Desa Kaowa, kami menunjukkan kepadanya bahwa melindungi spesies ini dan ekosistem yang dibutuhkannya untuk berkembang dapat memberikan nilai dalam berbagai bentuk – salah satunya adalah pariwisata dari pengunjung hingga ke Amerika Serikat,” tegasnya.
Mungkin bagian paling efektif dari tugas tim ini, kata Kara Beer, adalah perjuangan mereka untuk mengubah kebijakan dan bekerja sama dengan pemerintah untuk memulihkan lahan yang telah hilang. Melindungi habitat hutan tambahan agar tidak diubah menjadi lahan pertanian. “Elang Flores terancam punah selamanya,” ucapnya. (HAK)