OpiniWARGA

Gerak Cepat Tangani Sampah: Catatan Reflektif HUT NTB ke-67

Oleh: Sambirang Ahmadi – Anggota DPRD NTB

Ulang tahun ke-67 Provinsi Nusa Tenggara Barat mengusung tema “Gerak Cepat, NTB Hebat”.

Kalimatnya pendek. Terdengar optimistis.

Namun justru di situ pertanyaan pentingnya muncul: cepat ke mana, dan bersama siapa?

IKLAN

Dalam pemerintahan, cepat tidak selalu berarti tepat. Kadang kita bergerak sangat cepat, tetapi sendiri-sendiri. Sibuk. Rapi. Namun tidak saling bertemu. Inilah yang kerap disebut sebagai silo governance.

Banyak daerah sudah memberi pelajaran. Kebijakan diambil cepat, niatnya baik. Tapi karena tidak disiapkan sebagai kerja bersama, yang muncul justru konflik dan tarik-menarik kewenangan.

Ambil contoh kasus terbaru: konflik pengelolaan sampah di Bali.

Gubernurnya menginstruksikan penutupan TPA Suwung karena kapasitas yang kritis, overload, dan ancaman lingkungan. Secara kebijakan, itu masuk akal. Namun di lapangan, kebijakan cepat itu berhadapan dengan ketidaksiapan pemerintah kabupaten/kota. Wali kota Denpasar resisten dan bupati Badung ragu, DPRD menyuarakan keberatan. Publik menyaksikan konflik antar pemerintah. Bingung mau buang sampah dimana?

Masalahnya bukan pada niat, tetapi pada cara kerja.

Pelajaran itu relevan bagi NTB. Kita memiliki TPA/TPST regional Kebon Kongok yang dikelola DLHK Provinsi NTB melalui UPT. Fasilitas ini melayani Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram, dan menjadi simpul penting pengelolaan sampah lintas wilayah.

Namun ada satu fakta sederhana yang tidak boleh diabaikan: sampah berasal dari kabupaten dan kota. Provinsi mengelola hilir, sementara hulu berada di tangan bupati/walikota.

Tekanan terhadap Kebon Kongok tidak datang tiba-tiba. Ia menumpuk pelan-pelan, dari hulu. Armada pengangkut sampah terbatas dan sebagian sudah tua. Rutenya belum efisien. Pemilahan di tingkat TPS dan kelurahanl/desa belum berjalan optimal. Akibatnya, sampah tercampur sejak awal dan masuk ke Kebon Kongok dalam kondisi mentah. Sel aktif cepat penuh. Waktu napasnya makin pendek.

Angkanya pun tidak kecil.

Kota Mataram menghasilkan lebih dari 300 ton sampah per hari, sementara Lombok Barat menyumbang sekitar 150–180 ton per hari. Hampir semuanya bermuara ke Kebon Kongok. Dengan pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi, arus ini terus membesar—tanpa jeda.

Sebetulnya, solusi sampah tidak selalu harus dimulai dari proyek besar. Ia justru harus dimulai dari hal-hal kecil, terutama di birokrasi sendiri. Rapat tanpa air minum kemasan sekali pakai. Acara kantor tanpa kantong plastik. Dokumen tidak lagi dibungkus plastik. Sederhana, tapi memberi pesan yang jelas.

Di titik inilah ketegasan pemimpin dibutuhkan. Tidak cukup dengan imbauan. Harus ada keputusan. Birokrat harus menjadi teladan, bukan sekadar pengawas. Jika pemerintah masih nyaman memproduksi sampahnya sendiri, terlalu berat berharap masyarakat bergerak lebih dulu.

Bayangkan jika suatu hari Kebon Kongok harus dibatasi operasionalnya karena overload, sementara Lombok Barat dan Kota Mataram belum siap dengan sistem pengelolaan yang memadai. Situasi seperti Bali bisa terjadi di NTB, bukan karena kebijakannya salah, tetapi karena kolaborasinya lemah.

Artinya, sebaik apa pun provinsi mengelola fasilitas regional, semuanya akan rapuh jika pengurangan dan pemilahan di hulu tidak berjalan. Ketika hulu gagal, tekanan kapasitas akan jatuh ke Kebon Kongok. Dan ketika tekanan itu dibiarkan, potensi konflik kewenangan terbuka lebar.

Padahal pembagian peran sudah jelas. Provinsi mengelola fasilitas regional dan mengoordinasikan lintas daerah. Kabupaten dan kota bertanggung jawab di sisi hulu. Persoalan muncul ketika pembagian peran itu berhenti di atas kertas dan tidak berubah menjadi kerja bersama.

RPJMD NTB 2025–2029 telah menempatkan pengelolaan persampahan sebagai bagian dari agenda peningkatan kualitas lingkungan hidup, dengan indikator peningkatan sampah tertangani, perluasan layanan, dan penguatan pengurangan dari sumber. Semua itu mengandaikan satu hal: kolaborasi lintas kewenangan.

Di sinilah makna gerak cepat seharusnya dipahami sebagai collaborative governance. Provinsi berperan sebagai dirigen, kabupaten dan kota sebagai pemain utama.

Peter Drucker dalam bukunya Management: Tasks, Responsibilities, Practices (1973) mengingatkan,” There is nothing so useless as doing efficiently that which should not be done at all”. Kecepatan dan efisiensi tidak ada artinya jika arah kebijakan keliru sejak awal.

Kasus sampah memberi pelajaran jujur bagi NTB. Masalah publik tidak bisa diselesaikan dengan satu instruksi atau satu lembaga. Ia menuntut kesabaran, konsistensi, dan kerja kolaboratif.

Selamat Milad ke-67 Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Semoga NTB tidak hanya bergerak cepat, tetapi juga melangkah bersama. Karena NTB Hebat bukan lahir dari kecepatan yang berdiri sendiri, melainkan dari kolaborasi yang harmonis antar pemerintah, antar OPD, dan multi aktor. (*)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button