7.523 Honorer di NTB Terancam Diberhentikan
Mataram (NTBSatu) – Sebanyak 7.523 honorer yang ada di NTB terancam diberhentikan. Ribuan honorer ini merupakan Non-Aparatur Sipil Negara (ASN) non-database Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sehingga, tidak dapat pemerintah daerah usulkan menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu.
Kepala Dinas Kominfotik NTB, Yusron Hadi mengatakan, ribuan honorer tersebut merupakan mereka yang sebelumnya tidak lolos seleksi CPNS maupun PPPK, juga tidak bisa pemerintah usulkan menjadi PPPK Paruh Waktu.
Secara keseluruhan, jumlah honorer yang terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebanyak 7.523. Tersebar di Kabupaten Lombok Timur 1.692 orang, Kabupaten Lombok Barat 1.632 orang, Pemprov NTB sebanyak 518 orang.
“Kemudian ada juga dari Kabupaten Bima, KSB, Lombok Tengah, juga Kota Mataram. Saudara kita tersebut berharap ada kebijakan lahir dari pemerintah yang berpihak kepada mereka,” kata Yusron, Selasa, 2 Desember 2025.
Yusron menjelaskan, sedari tahun 2024 lalu, pemerintah terus melakukan percepatan penataan kepegawaian. Baik di lingkungan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Dalam hal penataan kepegawaian, pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan. Mulai dari seleksi CPNS, perekrutan PPPK Penuh Waktu, hingga penerimaan PPPK Paruh Waktu.
“Proses penerimaan CPNS 2024 dan PPPK Penuh Waktu sudah selesai, tinggal sekarang berproses PPPK Paruh Waktu. Di luar itu semua, masih tenaga honorer yang belum termasuk dalam dua skema tersebut yang belum bisa diusulkan ke Pemerintah Pusat karena terkendala aturan yang dikeluarkan KemenpanRB,” jelasnya.
Kebijakan Kepegawaian Terpusat
Sesuai aturannya, lanjut Yusron, semua urusan kepegawaian memang terpusat. Pemerintah Pusat melalui kebijakan-kebijakannya mengendalikan semua urusan pegawai pemerintah, termasuk yang ada di daerah.
“Kebijakan one system single policy oleh pemerintah. Sehingga segala kebijakan kepegawaian negeri, termasuk kita di daerah kiblatnya ke sana,” ujarnya.
“Ada garis demarkasi tegas dari kebijakan Pemerintah Pusat dalam penataan pegawai saat ini, bila itu kita langgar bukan tidak mungkin bisa menimbulkan konsekuensi hukum, yang pastinya tidak sama-sama kita kehendaki,” lanjutnya.
Pemprov NTB, lanjut Yusron, telah berupaya mencari solusi atas persoalan ini. Bahkan, sudah bersurat ke Pemerintah Pusat. Juga, bertemu langsung dengan pejabat KemenpanRB dan BKN.
“Pemprov juga melakukan audiensi atau pertemuan dengan DPR RI bersama legislatif daerah untuk menyuarakan persoalan yang sama,” ujarnya.
Persoalan ini, kata Yusron, bukan hanya di NTB saja. Daerah-daerah lain juga merasakan hal yang sama.
“Melalui surat KemenpanRB pada 25 November 2025 tentang penyelesaian penataan pegawai non-ASN, kita diingatkan kembali batasan-batasan yang dapat diangkat menjadi pegawai non-ASN. Daerah memedomaninya,” jelasnya.
Harap Ada Kebijakan Baru
Yusron tak menampik, dalam surat tersebut terdapat ruang yang memungkinkan lahirnya kebijakan internal daerah. Namun, membijaksanai 518 orang secara internal tersebut akan berhadapan dengan hal adminsitrasi kepegawaian yang kementerian persyaratkan.
Pasalnya, dari 518 honorer tersebut, terdapat pegawai yang sudah melewati batas usia pensiun, para honorer yang mengundurkan diri, dan juga honorer yang memang tidak mengikuti proses seleksi PPPK dengan berbagai alasan.
“Jumlahnya itu sebanyak 231 orang,” ujarnya.
Sementara, sebanyak 287 orang lainnya, mereka yang masa kerjanya kurang dari dua tahun, namun mengikuti tes CPNS tapi tidak lulus.
“Bila 287 ini diakomodir kita harus hati-hati, karena akan berhadapan kembali dengan kebijakan besar penataan ASN yang diterbitkan oleh KemenpanRB,” ujar Yusron.
Pemprov NTB berharap ada kebijakan baru untuk menyelamatkan ratusan honorer tersebut. Sebab, opsi outsourcing atau diarahkan ke lembaga-lembaga pemerintah lain kurang memungkinkan.
Outsouching, kata Yusron, hanya boleh bagi tenaga dasar baik petugas kebersihan, pengamanan, dan pramusaji. Ketentuan teknis operasional mengenai pelaksanaan outsourcing bagi pegawai pemerintah juga belum terbit.
Adapun opsi untuk diarahkan ke lembaga-lembaga daerah, persoalannya pada kemampuan lembaga tersebut menyerap pegawai dengan kapasitas keuangan yang mereka miliki. Bila pemerintah lakukan, maka terjadi pembebanan lebih kepada pos belanja pegawai lembaga tersebut. Bahkan, bisa menimbulkan inefisiensi anggaran dan berpotensi menurunkan kualitas pelayanannya.
“Harapan kita besar ada lahir kebijakan baru pemerintah pusat. Fakta dan kondisi yang sama-sama kita hadapi di banyak daerah dengan provinsi lain, tidak saja dihadapi pula oleh pemerintah kabupaten/kota se-NTB,” tutupnya. (*)



