Bayangan Turbulensi Politik Tersebab Dana Siluman
Penetapan tersangka dua anggota DPRD NTB dalam kasus dana siluman memicu ragam respons dan spekulasi. Kaget dan berduka bagi para kolega. Sementara yang mengamati, prediksinya melompat pada potensi turbulensi politik dan hukum pascapenetapan tersangka tersebut.
—————–
Kamis, 20 November 2025 pagi di gedung Kejati NTB, langit Mataram terlihat biasa saja. Tidak ada tanda-tanda bakal terjadi sesuatu yang “luar biasa”.
Lalu lintas tetap padat, suara klakson bersahutan, pedagang kaki lima sibuk berjualan. Namun, di dalam sebuah ruangan di Kantor Kejaksaan di Jalan Langko, Dasan Agung Baru, Kota Mataram, suasana penuh ketegangan.
Di dalamnya, dua anggota DPRD NTB sedang menjalani pemeriksaan. Indra Jaya Usman alias IJU dan Muhammad Nasib Ikroman alias Acip. Keduanya tak bisa menyembunyikan rasa kaget, ketika jaksa mendadak mengubah status pemeriksaan. Dari saksi ke tersangka.
IJU lewat pengacaranya, “berontak”. Menolak tanda tangan berita acara penahanan. “Alasannya tidak sesuai dengan surat panggilan. Saksi jadi tersangka,” ujar sumber internal Kejati NTB. Sebaliknya dengan Acip. Ia lebih kooperatif. Akhirnya keduanya dikenakan rompi tahanan.
Jarum jam menunjukkan pukul 15.50 Wita, IJU dikawal sejumlah jaksa, turun dari lantai dua. Di belakangnya Acip, juga dalam pengawalan ketat. Tak sepatah kata pun keluar dari Ketua DPD Demokrat NTB ini, sampai masuk ke mobil tahanan.
Di ruangan berbeda, penyidik Kejati NTB menggelar konferensi pers terkait penahanan para tersangka.
“Kami tim penyidik bidang Pidsus penahanan dua orang tersangka dalam kasus gratifikasi DPRD NTB,” kata Aspidsus Kejati NTB, Muh Zulkifli Said.
Penetapan tersangka bukanlah hasil keputusan semalam. Itu akumulasi dari bulan demi bulan penyelidikan, pengumpulan dokumen, pemeriksaan saksi, dan analisis aliran dana.
Namun, di balik itu semua ada dampak yang bergelombang. Pertaruhan karier dan reputasi sebagai politisi muda.
Meski Jaksa bergeming dengan anggapan bahwa ini murni penegakan hukum, tapi pikiran publik tak bisa dikendalikan.
Potensi Turbulensi Politik
Dua tersangka dalam kasus dana siluman ini merupakan kader potensial yang dimiliki masing-masing partainya. IJU merupakan Ketua DPD Partai Demokrat NTB. Sedangkan, Acip menjabat sebagai Sekretaris Partai Perindo NTB.
Penetapan keduanya sebagai tersangka, tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan turbulensi atau instabilitas politik di NTB. “Perang” internal partai, antar partai, bahkan gesekan sesama anggota dewan.
Kedua tersangka ini sewaktu-waktu buka suara mengungkap motif dan sosok mana saja yang terlibat dalam kasus ini.
Atau bahkan membuka kotak pandora kasus lebih kakap yang melibatkan aktor berbeda. Saat ini publik menguji keberanian para tersangka mengungkap peran orang lain.
“Jadi dalam praktik gratifikasi, tidak ada aktor tunggal, selalu ada orang lain menjadi rantai dan terlibat dalam pengaturan pembagian. Jadi yang paling penting itu bagaimana keberanian dua anggota DPRD ini untuk mengungkap secara terbuka, siapa aktor yang menggagas pendistribusian uang ini,” ungkap Akademisi Universitas 45 Mataram, Dr. Alfin Sahrin, kepada NTBSatu, Jumat, 21 November 2025.
Dalam kacamata politik, lanjut Dr. Alfin, penetapan tersangka dua anggota dewan ini tidak lepas dari manuver politik. Dalam hal ini bisa saja terjadi dari dalam kader partai itu sendiri atau kemudian di internal DPRD.
Di internal partai, bisa saja momentum ini dijadikan kesempatan bagi pihak-pihak tertentu yang mungkin punya kepentingan untuk mengeliminir lawan politiknya. Kemudian Penggantian Antar Waktu (PAW) bisa terjadi.
“Misalkan untuk memanfaatkan isu ini sebagai jalan mereka untuk mengeliminir lawan politiknya dan kemudian PAW bisa terjadi,” ujarnya.
Selain itu, hal ini juga bisa memicu terjadinya turbulensi di internal DPRD NTB. Bisa saja, penetapan tersangka ini sebagai salah satu manuver politik yang didesain secara internal dalam parlemen. “Terutama adanya kompetisi antarkader di masing-masing partai,” ungkapnya.
Karena itu, lanjutnya, yang paling penting adalah harus ada keberanian dari dua orang tersangka ini untuk mengungkapkan siapa aktor utama dari kasus ini.
“Itu harusnya menjadi inti persoalan penting di dalam pengungkapan gratifikasi dari kasus ini,” ucapnya.
Penetapan dua orang tersangka ini menandakan bahwa negara ini sudah mulai menginginkan ada transparansi pengelolaan anggaran negara.
“Jadi dewan itu harus mengelola dan mengatur pokirnya betul-betul harus amanah. Itu sebabnya pokir ini harus terang benderang,” tuturnya.
Karena itu pentingnya sistem pengawasan, sehingga Pokir ini betul-betul diawasi sebagai dana yang diberikan secara konstitusional kepada anggota DPRD yang digunakan untuk menguatkan basisnya di dapil.
“Ini harus dibuat pengawasan yang transparan, supaya aliran dana pokir itu betul – betul dipergunakan untuk kepentingan masyarakat di dapil. Tidak boleh itu kemudian di jual atau dialihkan untuk kepentingan pribadi dan sekelompok orang,” jelasnya.
Korban Lorong-lorong Poltik
Dosen di Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia asal Lombok, Salman Faris menyoroti penetapan tersangka dua anggota legislatif muda itu.
Sorotan itu disampaikan dalam tulisannya berjudul “Berdiskusi Maya Bersama Usma – Acip di Lorong Gelap Perpolitikan Indonesia: Tentang Fakta dan Kebenaran”.
Ia berpendapat, posisi IJU dan Acip sebagai tersangka merupakan korban dari lorong-lorong gelap politik dan dunia kepartaian Indonesia. Pandangan itu didasarkan atas kedekatannya dengan kedua sosok tersebut.
“Saya menyadari bahwa pernyataan ini mungkin terdengar subjektif. Namun sebagai seseorang yang mengenal mereka secara personal, subjektivitas tersebut justru merupakan bentuk kebenaran yang paling otentik bagi saya,” kata Salman.
Salman mengaku, terhadap fakta penetapan IJU dan Acip sebagai tersangka, terdapat dua keadaan emosional yang muncul secara bersamaan dalam dirinya. Pertama, terkejut lantaran mengenal dekat kedua sosok tersebut. Kedua, ia mengaku sebenarnya tidak terkejut.
Dalam konteks politik Indonesia, siapa pun dapat berubah menjadi figur yang paling suci dalam sekejap, dan sebaliknya dapat pula tiba-tiba digambarkan sebagai sosok yang paling kotor.
Hal ini bukan sesuatu yang mengherankan, sebab logika dasar pertarungan politik di Indonesia dibangun atas anggapan bahwa lawan harus disingkirkan. Situasi ini diperparah oleh struktur internal partai politik yang sangat sentralistik, di mana ketua partai memiliki otoritas hampir absolut.
“Sebuah posisi yang menuntut kepatuhan tanpa syarat. Dalam sistem politik dan kepartaian yang gelap seperti itu, siapa pun dapat terseret menjadi tampak jahat, meskipun watak dasar mereka sejatinya adalah kebaikan,” ungkapnya.
“Karena itu, saya tidak bisa menampik fakta Usman dan Acip yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun kebenaran Usman dan Acip sebagai manusia baik tidak akan sirna karena fakta tersebut,” tutupnya.
Jejak Panjang Kasus Dana Siluman
Kasus ini bermula dari laporan salah seorang mantan Anggota DPRD NTB, Najamuddin Mustofa. Politisi PAN ini awalnya melaporkan Gubernur NTB dan pihak pihak yang terlibat dalam pemotongan dana pokirnya.
Namun moncong peluru yang diarahkan ke eksekutif, berbelok dan fokus ke para politisi Udayana.
Kejati NTB meningkatkan status perkara setelah tim Pidsus menemukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Setelah itu, penyidik melakukan ekspose perkara di Kejaksaan Agung (Kejagung) RI.
Dalam proses hukumnya, kejaksaan telah memeriksa saksi-saksi. Termasuk anggota dan pimpinan DPRD hingga beberapa pejabat Pemprov NTB. Berikutnya beberapa saksi ahli, termasuk ahli pidana.
Sebagai informasi, kejaksaan mulai menangani dugaan korupsi dana “siluman” ini berdasarkan surat perintah penyelidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat nomor: PRINT-09/N.2/Fd. 1/07/2025 tanggal 10 Juli 2025.
Penyidik juga telah menerima pengembalian uang dana “siluman” dari sejumlah anggota dewan senilai Rp2 miliar lebih. Uang kemudian menjadi alat bukti pihak kejaksaan menetapkan IJU dan Nashib Ikroman sebagai tersangka.
Babak Berikutnya
Penetapan tersangka bukan akhir dari cerita. Ini justru awal dari babak baru: proses penyidikan lanjutan, pelimpahan berkas ke pengadilan, persidangan, hingga putusan hakim. Bahkan, bisa saja ada tersangka baru. Atau bahkan kasus baru.
“Kita lihat perkembangannya seperti apa nanti,” kata Aspidus Kejati NTB, Muh Zulkifli Said, Kamis, 20 November 2025.
Publik menunggu. Media mencatat. Dan hukum berjalan, dengan langkahnya yang tak selalu cepat, tapi terus bergerak. Di negeri ini, keadilan bukan hanya tentang siapa yang salah atau benar. Tapi juga tentang bagaimana kebenaran menemukan jalannya. (*)



