
Oleh: Jien Raharja – Musisi dan Akademisi
Kembali bergulir fenomena tuntutan warganet untuk membubarkan musik Kecimol. Salah satu kabupaten di Pulau Lombok pun melalui kepala OPD tegas menentang bahwa Kecimol bukan bagian dari budaya Sasak. Riuh komentar warganet yang menuntut pembubaran pun alasannya beragam: mulai dari dianggap mengganggu ketertiban umum, menampilkan tarian erotis, hingga tidak sesuai dengan nilai budaya Sasak.
Tapi di sela perdebatan itu, muncul komentar-komentar lain yang lebih tajam: “Ya maklum, selera SDM rendah!” atau “Kecimol hama Lombok, selera orang gawah!” dan sebagainya. Komentar-komentar semacam ini sebenarnya menarik untuk dikulik. Benarkah selera musik bisa menunjukkan tingkat atau level sumber daya manusia seseorang?.
Membaca beberapa refrensi, teori sosial Pierre Bourdieu menyebut selera adalah alat pembeda kelas sosial. Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki “selera tinggi” karena punya modal budaya seperti akses ke pendidikan, literasi, dan ruang apresiasi seni yang luas atau lebih mudah. Sementara mereka yang tumbuh di lingkungan rakyat sering menikmati bentuk hiburan yang lebih spontan dan mudah diakses.
Namun, penelitian psikologi musik dari Rentfrow dan Levitin (2011) menunjukkan bahwa ternyata selera musik tidak ditentukan oleh status sosial atau pendidikan, melainkan oleh kepribadian, pengalaman hidup, dan konteks lingkungan. Kalau berpegangan pada penelitian ini, suka Kecimol, Dangdut, atau Orkes Kampung lainnya bukan berarti seseorang “rendah SDM”-nya. Bisa jadi, Ia hanya hidup di lingkungan budaya yang berbeda.
Menurut data Kemendikbud, Kecimol adalah kesenian khas masyarakat suku Sasak yang berfungsi sebagai hiburan dan pengiring prosesi adat seperti Nyongkolan, Besunat atau Khitanan, dan lainnya. Secara bentuk, dulu musiknya merupakan kolaborasi antara alat tiup, gendang, bahkan kul kul, dan berkembang menjadi penambahan instrumen modern seperti keyboard, drum elektrik, gitar, bass, dan lainnya, seperti yang terlihat saat ini. Dalam konteks budaya, Kecimol adalah simbol kebersamaan dan keceriaan rakyat. Kecimol adalah seni jalanan yang tumbuh dari komunitas, bukan dari ruang akademik.
Dalam perkembangannya, Kecimol mengalami komersialisasi. Permintaan hiburan yang ramai membuat gaya penyajiannya berubah: panggungnya (jalanan dan hajatan) makin heboh, musiknya makin cepat dan variatif, dan terkadang disertai gerakan atau pakaian yang dianggap tidak pantas oleh sebagian masyarakat. Di titik inilah muncul gesekan antara “hiburan” dan “nilai budaya”.
Kritik terhadap Kecimol sebenarnya tidak muncul karena masyarakat menolak keseniannya, tapi karena cara penyajiannya yang kian lepas dari norma. Beberapa penampilan di jalan raya menimbulkan kemacetan dan keributan, sementara sebagian kelompok menilai tarian atau pakaian penarinya terlalu erotis.
Majelis adat dan para tokoh budaya pun menyarankan agar Kecimol tidak dibubarkan, melainkan diatur kembali. Mulai dari tata panggung, busana, hingga waktu pertunjukan agar tetap menghormati nilai-nilai lokal. Dengan kata lain, masalahnya bukan di musiknya, tapi di bagaimana musik itu disajikan.
Melabeli penikmat Kecimol sebagai “SDM rendah” adalah bentuk simplifikasi yang menyesatkan. Sebab di balik suara riuh dan hentakan ritmenya, Kecimol berkontribusi terhadap perpuataran ‘kehidupan’: menyerap tenaga kerja lokal, membuka lapangan usaha bagi penyedia alat musik, sound system, hingga penyanyi dan penari. Ia juga menjadi ruang belajar bagi banyak anak muda yang mungkin tidak punya akses pendidikan seni formal.
Memang, ada bagian dari pertunjukan Kecimol modern yang perlu ditata ulang agar tidak melanggar norma dan itu butuh teguran atau regulasi tegas dengan sosialisasi yang ‘keras’. Tapi solusinya bukan pembubaran, melainkan pengaturan dan edukasi budaya. Karena menjaga nilai bukan berarti mematikan ekspresi, justru di situlah tantangannya bagaimana seni rakyat bisa tetap hidup tanpa kehilangan etikanya.
Jadi, apakah selera musik menentukan SDM? Apakah penyuka Kecimol ‘fix‘ ber-SDM rendah? Tidak juga. Selera musik lebih sering mencerminkan lingkungan dan pengalaman sosial, bukan kecerdasan atau kapasitas manusia. Orang bisa berpendidikan tinggi tapi menyukai musik jalanan, dan sebaliknya, orang sederhana bisa punya apresiasi mendalam terhadap musik klasik misalnya. Yang membedakan bukan seleranya, tapi cara menghargai perbedaan itu.
Kecimol adalah potret masyarakat yang dinamis: penuh warna, ramai, terkadang berlebihan, dan kita harap juga terus belajar menata diri. Kecimol tidak perlu dibubarkan cukup diarahkan agar tetap berakar, sopan, dan selaras dengan nilai yang dijunjung bersama. Karena yang rendah bukan seleranya, tapi cara kita menghakimi tanpa memahami.
Sumber Bacaan:
- Repositori Kemendikbud. (2018). Kecimol: Seni Kolaborasi – Kajian Bentuk, Fungsi, dan Nilai di Lombok;
- Yudarta, I. G. (2020). Kecimol Music as Cultural Identification of Sasak Ethnic. Neliti;
- Rentfrow, P. J., Goldberg, L. R., & Levitin, D. J. (2011). The structure of musical preferences: A five–factor model. Journal of Personality and Social Psychology;
- Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Harvard University Press;
- IDN Times NTB. (2024). Fenomena Tarian Erotis Ale-Ale dan Kecimol di Lombok. (*)