BERITA LOKAL

Kadis Sosial NTB: Membubarkan Kecimol Bukan Solusi

Mataram (NTBSatu) – Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB, Dr. H. Ahsanul Khalik angkat bicara terkait polemik musik Kecimol. Keinginan membubarkan kesenian ini hanya akan memicu persoalan baru. Salah satunya kondusifitas daerah.

“Jangan asal bubarkan atau menolak Kecimol. Karena itu bukan menyelesaikan masalah, malah bisa menimbulkan persoalan sosial baru. Bisa berpengaruh terhadap situasi kondisi ketentraman dan ketertiban masyarakat yang tidak baik. Bahkan mengganggu kondusifitas dan keamanan daerah, karena sisi lain dari keberadaan Kecimol juga harus dipikirkan,” ujar Ahsanul Khalik kepada NTBSatu, Kamis 6 Juni 2024.

Jika yang dipersoalkan konteks erotisme, menurutnya harus dilihat dari kacamata universal. Semua pihak sepandangan soal erotisme bertentangan dengan nilai kultur dan budaya. Tapi akulturasi dari kesenian kecimol pada erotisme menurutnya tidak tepat.

“Kita juga harus pahami erotisme ini sebenanya tidak di Kecimol saja. Dulu waktu kita kecil, ada juga Jangger dengan alat musik gamelan yang bahkan erotismenya bisa melebihi tarian Kecimol saat ini. Hanya saja Jangger ini, mereka atraksinya diam di satu tempat dan dulu juga tidak ada medsos dan belum ada HP. Sehingga tidak muncul menjadi persoalan yang dipermasalahkan secara luas,” ujar birokrat asal Masbagik, Lombok Timur ini.


Sekali lagi, ia sepakat erotisme tidak boleh ada. Namun memandang persoalan tidak harus pakai “kacamata kuda”, karena hal hal sensual bukan kontroversi baru.

“Tidak saja di kecimol. Cuma yang terang benderang saat ini di depan kita adalah kecimol ini.
Tapi lagi-lagi kita tidak bisa serta merta mengambil sikap bubarkan Kecimol,” sarannya.

Kecimol dari Aspek Sosial

Kecimol dari sisi sosial, bisa jadi perekat untuk menjaga kondisi sosial yang menjamin terciptanya relasi dan interaksi sosial antar warga masyarakat. Perekat yang dinamis, selaras, dan seimbang untuk hidup berdampingan secara damai. Bahkan lebih dari itu, dinilai Kadis Sosial menjaga kesetaraan, kebersamaan, dan persaudaraan sejati.

Melihat asas manfaatnya, maka pembatasan Kecimol harus dibarengi dengan solusi. “Kalau mereka diberikan garis batasan mana yang boleh, mana yang tidak, sehingga tumbuh keserasian sosial di tengah masyarakat,” sarannya.

Kecimol juga harus disadari merupakan hasil olah seni masyarakat sasak yang merupakan pembauran antara budaya lama dengan budaya yang berkembang saat ini.

Pembauran ini tidak bisa dihindari, tapi tetap kemudian merupakan hasil karya seni yang harus dilakukan pembinaan oleh para pemangku adat. Tujuannya, kata AKA – sapaannyay – agar tidak melanggar norma adat yang dimiliki bangsa Sasak. Karena Sasak, memang memiliki adat yang adi luhung dan menempatkan nilai-nilai agama pada porsi yang tinggi.

Harus dipahami juga, lanjutnya, pada kondisi kekinian, Kecimol juga menjadi penguat ekonomi untuk penghidupan para pemainnya.

“Tugas kita sekarang adalah merumuskan aturan main bagi kecimol agar tidak erotis, agar tidak memancing perkelahian atau tidak juga tidak menimbulkan kemacetan lalu lintas saat kecimol mengiringi pengantin yang nyongkolan,” ajaknya.

Karena itu, pihak yang bisa merumuskan garis batas berupa aturan main itu, tentunya para pemangku adat yang kemudian diformalkan oleh Pemerintah.

Namun jangan lupa komunitas kecimol diajak untuk merumuskan, sehingga tidak dibuat sepihak, tanpa melibatkan komunitas kecimol.

Menurutnya, jika sudah diajak membahas, maka mereka juga akan menyepakati sanksi yang diterima jika ada pelanggaran. Lantas, secara bertahap dilakukan evaluasi dan pembinaan sehingga Kecimol menjadi hasil seni masyarakat sasak yang beradab.

“Tentu ini tidak mudah. Tapi kita harus mulai dan terus berikhtiar bersama untuk melakukan pembenahan terhadap kecimol,” pungkasnya. (HAK)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button