Pemerintahan

Dana Transfer 2026 Dipangkas Rp900 Miliar, Ancaman Capaian Triple Agenda Pemprov NTB

Mataram (NTBSatu) – Dana Transfer Umum (DTU) untuk Pemerintah Provinsi NTB tahun anggaran 2026 diproyeksikan anjlok drastis.

Berdasarkan data dari APBD NTB dan Kementerian Keuangan yang diolah oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) NTB, alokasi DTU tahun depan hanya sebesar Rp1,69 triliun.

Turun sekitar Rp900 miliar atau 34,7 persen dari tahun 2025 yang mencapai Rp2,59 triliun. Penurunan paling tajam terjadi pada Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA), merosot hingga 88 persen dari Rp476 miliar menjadi hanya Rp54,9 miliar.

Sementara itu, DBH Pajak turun 58 persen menjadi Rp123,99 miliar dan Dana Alokasi Umum (DAU) berkurang Rp310,7 miliar atau sekitar 17 persen.

Direktur Fitra NTB, Ramli Ernanda menilai, pemangkasan ini sebagai bentuk ketidakadilan fiskal yang melanggar semangat desentralisasi keuangan daerah.

“Pemangkasan DBH-SDA sebesar 88 persen sangat tidak adil bagi daerah penghasil. Ini jelas bertentangan dengan asas by origin sebagaimana dalam UU Nomor 1 Tahun 2022. Daerah seperti NTB seharusnya mendapatkan kompensasi yang layak atas eksploitasi sumber daya alam di wilayahnya,” tegas Ramli di Mataram, Jumat, 10 Oktober 2025.

Ramli mengingatkan, pemotongan dana transfer ini akan mengganggu pencapaian triple agenda Pemprov NTB. Terutama dalam hal peningkatan infrastruktur publik, layanan sosial dasar, dan penurunan kemiskinan.

“Melihat kontribusi DTU yang rata-rata mencapai 36 persen dari total belanja daerah, pengurangan ini akan menekan kemampuan fiskal daerah secara signifikan. Pemerintah daerah akan kehilangan ruang gerak untuk membiayai prioritas pembangunan,” ujarnya.

Fitra NTB mencatat, kondisi ini berpotensi memperlebar ketimpangan fiskal antara pusat dan daerah, serta menggerus kapasitas pelayanan publik.

DAU yang semakin kecil bisa jadi tidak mencukupi untuk membiayai belanja pegawai, sehingga daerah terpaksa mengandalkan PAD yang terbatas. Akibatnya, diskresi fiskal daerah semakin menyempit, dan potensi sentralisasi kebijakan keuangan akan makin kuat. Bertolak belakang dengan semangat otonomi daerah.

Selain itu, Fitra NTB memperingatkan, tekanan fiskal bisa mendorong daerah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi PAD secara agresif.

“Kalau tidak hati-hati, pemerintah daerah bisa terjebak pada kebijakan yang membebani masyarakat miskin dan dunia usaha. Bahkan bisa muncul praktik obral izin tambang dan pengelolaan kawasan yang merusak lingkungan,” ujar Ramli.

Rekomendasi Fitra NTB

Fitra NTB merekomendasikan tiga langkah strategis untuk menyikapi kondisi ini. Pertama, mendorong langkah litigasi dan non-litigasi, termasuk judicial review UU APBN 2026, sebagai upaya memperjuangkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil.

Kedua, pemerintah daerah perlu melakukan efisiensi belanja non-prioritas seperti belanja birokrasi, perjalanan dinas, serta belanja barang dan jasa yang tiap tahun cenderung meningkat di atas 10 persen.

Ketiga, optimalisasi potensi PAD secara berkeadilan, tanpa menambah beban bagi masyarakat miskin atau menimbulkan distorsi ekonomi lokal.

“Daerah harus berani menata ulang prioritas belanja dan memperkuat akuntabilitas fiskal. Jangan sampai pemangkasan dari pusat membuat pelayanan publik dan agenda pembangunan NTB justru terhenti,” tegas Ramli. (*)

Berita Terkait

Back to top button