OpiniWARGA

Saat Tambang Lesu, Ekonomi Rakyat Justru Bangkit

Oleh: Sambirang Ahmadi, M.Si, ME. – Ketua Komisi III DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat

Di tengah angka-angka ekonomi yang terlihat suram, sesungguhnya sedang tumbuh denyut baru dalam tubuh ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB). Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pada triwulan II tahun 2025, ekonomi NTB tercatat terkontraksi –0,82 persen (y-on-y). Banyak pihak menilai ini sebagai kabar buruk. Namun jika ditelisik lebih dalam, kontraksi ini justru menyingkap cerita penting tentang pergeseran mesin ekonomi daerah — dari dominasi tambang menuju kebangkitan sektor rakyat.

Selama hampir dua dekade, sektor pertambangan menjadi penentu utama denyut ekonomi NTB. Kontribusinya bisa mencapai 15 hingga 20 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tetapi tahun ini, sektor tambang mengalami kontraksi tajam –29,9 persen, akibat transisi menuju hilirisasi dan penyesuaian produksi di masa pembangunan Smelter. Dampaknya sangat terasa: tambang yang selama ini menjadi lokomotif kini justru menjadi beban. Setiap kali tambang menurun, pertumbuhan ekonomi NTB ikut terseret turun.

Padahal, dalam waktu yang sama, sektor-sektor non-tambang justru tumbuh sehat — pertanian, perdagangan, konstruksi, dan industri pengolahan naik di atas enam persen. Artinya, ketika satu sayap melemah, sayap lainnya justru berusaha terbang lebih tinggi.

Data BPS menunjukkan sektor industri pengolahan tumbuh 37,69 persen (q-to-q) — sinyal kuat bahwa aktivitas Smelter dan manufaktur lokal mulai bergerak. Di lapangan, kita juga menyaksikan geliat IKM/UMKM, koperasi, dan ekonomi wisata yang perlahan tapi pasti memulihkan daya beli masyarakat. Inilah kabar baiknya: fondasi ekonomi rakyat NTB ternyata tangguh.

Saat tambang tersendat karena peralihan sistem dan larangan ekspor mineral mentah, masyarakat terus bekerja, berdagang, menanam, dan melayani wisatawan. Mega event seperti sport tourism MotoGp menjadi bukti betapa strategisnya multiplier effect sektor non-tambang jika terus digesah. Klaim 4,8 triliyun uang beredar selama event berlangsung relatif masuk akal. Tentu kita berharap sport event lainnya terus tumbuh di NTB, khususnya di KEK Mandalika.

Dua Mesin Pertumbuhan

Kita harus melihat dengan jernih bahwa perekonomian NTB kini hidup dengan dua mesin: mesin korporasi (tambang dan industri besar) dan mesin rakyat (non-tambang, dan ekonomi lokal (IKM/UMKM). Keduanya harus berjalan seimbang. Jika mesin tambang melambat, maka mesin rakyat harus diberi bahan bakar yang lebih kuat — melalui anggaran yang berpihak, insentif fiskal, dan percepatan belanja daerah.

Karena itu, patut kita dorong recalibrating policy: menggeser fokus dari ‘berapa banyak mineral digali’ menjadi ‘berapa banyak nilai tambah yang diciptakan. ’Proyek-proyek hilirisasi yang terhubung dengan petani, nelayan, pengusaha kecil, dan tenaga kerja lokal harus segera direalisasikan.

Pertumbuhan sejati adalah ketika ekonomi daerah tumbuh bersama rakyatnya. Pertumbuhan 6 persen sektor non-tambang adalah bukti bahwa rakyat NTB sedang bekerja keras menjaga daya tahan ekonomi.

Tugas pemerintah (termasuk DPRD) adalah memastikan mereka tidak berjalan sendirian.  Peran pemerintah dalam koordinasi lintas-sektor harus ditingkatkan. DPRD harus mendukung gagasan pembentukan Task Force Percepatan Ekonomi Non-Tambang, mempercepat realisasi belanja produktif, dan memastikan utilisasi Smelter PT AMNT mencapai 70 persen di akhir tahun.

Berhentilah Kambing Hitamkan Sektor Tambang

Kita tidak boleh menempatkan sektor tambang sebagai kambing hitam. Ia tetap sektor strategis yang menopang fiskal dan investasi daerah. Justru karena strategis, sektor ini harus di-push dengan solusi konkret: percepatan serapan smelter, pembukaan industri turunan di Maluk, dan kebijakan fiskal yang menumbuhkan semangat korporasi. Di sisi lain, larangan ekspor bahan mentah harus diimbangi dengan keberanian mendorong sektor non-tambang tumbuh di atas 8 persen — bahkan lebih dari 13 persen jika NTB ingin keluar dari zona kontraksi dan tumbuh di atas 5 persen.

Ini bukan semata urusan angka pertumbuhan, tetapi keberanian menata ulang arah ekonomi daerah. Pemerintah daerah harus memastikan dua mesin — korporasi dan rakyat — berjalan harmonis. Jika hal ini tercapai, maka NTB tidak hanya keluar dari kontraksi, tetapi akan memasuki babak baru: ekonomi yang tumbuh dari dalam, kuat karena nilai tambah, dan hidup karena kolaborasi harmonis antara sektor tambang, industri kecil dan rakyatnya. (*)

Berita Terkait

Back to top button